DUNIA TASAWWUF
Secara tinjauan literal semantik,
istilah sufisme (tashawwuf) disinyalir berasal dari derivasi kata Arab
ash-shofa' yang berarti bening atau jernih sebagai simbol langkah mistikus yang
menempuh jalan penyucian nurani. Nabi saw. bersabda;
"Kejernihan dunia telah sirna
dan tinggallah kekeruhannya, maka hari ini, kematian adalah penghargaan bagi
setiap Muslim". (HR. Ad-Dâruquthny)
Atau berasal dari ash-shuffah yang
dinisbatkan pada Ahli Shuffah (serambi), yaitu sekitar 400 sahabat Muhâjirîn
yang fakir dan tidak memiliki tempat tinggal dan sanak keluarga di masa Nabi
yang menentap dan beribadah di masjid Nabi, Madinah. Atau berasal dari
ash-shaff (barisan) yang seolah hati mereka berada di barisan terdepan dalam
kehadiran di hadapan Allah. Namun pendekatan isytiqâqy (derivasi) ash-shûfiy
(sufi) pada ketiga kata tersebut, menurut aL-Qusyairy dinilai tidak tepat
secara teori analogi harfiah. Sebab jika dari ash-shofa' sangat jauh bentuk
subjek (fa'il)-nya menjadi ash-shufiy, jika dari ash-shuffah maka menjadi
ash-shafwiy, dan jika dari ash-shaff (barisan) —meskipun memiliki kebenaran
secara makna, namun— kata ash-shufiy bukanlah bentuk subjeknya. Bahkan
menurutnya, sufisme juga tidak berasal dari akar kata ash-shauf (wol), sebab
pakaian tersebut bukan performance asli kaum sufi. Jadi menurut aL-Qusyairy,
sebutan ash-shufiy diberikan lebih hanya sebagai gelar (laqab). Namun menurut
Ibn Khaldun, kendati ash-shauf bukan pakaian khusus para mistikus, namun karena
keidentikan tradisi mereka yang menggunakan pakaian dari wol sebagai ekspresi
kezuhudannya, istilah tashawwuf lebih dekat berasal dari akar kata ash-shauf.
Meski demikian, acuan paling mendasar etimologis sufisme, sebenarnya lebih
berasal dari sikap mistikus yang secara total berusaha memadamkan hasrat
duniawi dari kehidupannya dengan menenggelamkan seluruh himmahnya dalam
samudera ukhrowi. Lantaran itulah kaum mistikus cukup dikenal dengan sebutan
ash-shufiy dan tidak perlu mencari analogi atau turunan akar kata untuk sebutan
mereka.
Istilah-istilah yang menjadi
termenologi dalam Tasawuf, juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam
sejarah periode Islam awal. Bahkan dizaman Nabi kata sufi, kata Syari”at
Hakikat ataupun Thariqat, tidak di munculkan sebagai istilah tersendiri dalam
prakyek keagamaan. Semata, karena para sahabat dan Tabi”I, adalah sekaligus
para pelaku Syari”at, Thariqat dan Hakikat, dalam kesehariannya. Hanya satu
setengah abad kemudian, istilah-istilah itu muncul dengan termenologi
tersendiri, dalam kerangka memudahkan praktek ke Islaman yang sebenarnya.
Untuk melihat sejarah Tasawuf,
definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu
alur hitoris itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi saw, kita mengenal istilah
yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan.
Dalam riwayat Al- Bukhari, disebut oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya:
“hendaknya engkau manyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka
apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R.Bukhari)
Istilah Al-Ihsan tersebut, dalam
prakteknya, memunculkan tradisi agung dalam Islam, yaitu amaliyah batin yang
kekal membangun suatu akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat
Allah dan Allah melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba
Allah disaat sang hamba berhubunga denganNya. Proses-proses berhubungan itulah
yang kemudian diatur dalam praktek Tasawuf. Karena dalam setiap tradisi
Thariqat Tasawuf yang mempunyai sanad sampai kepada Rasulullah saw, kelak
disebut dengan Thariqat Mu’tabarah- menunjukkan bahwa tradisi sufistik sudah
berlangsung sejak zaman Rasulullh saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak
terpublikasi secara massif mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik,
dimana tidak semua khayalak menerimanya. Doktrin-doktrin Dzikir dan
pelaksanaannya yang dilakukan melalui baiat pada Rasulullah saw, menggambarkan
hubungan-hubunga psikhologis antara Rasul saw, ketika itu dengan sahabat dan
Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi
Taswuf nantinya melahirkan produk-produk penafsiran esoteric atau metafisik,
terhadap hasanah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain Al-Qur’an secara khusus
punya penekanan terhadap soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan
Al-Qur’an juga mengandung dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan
sama sekali untuk menolak Tasawuf, hanya karena beralasan bahwa Tasawuf tidak
ada dalam Al-Qur’an. Padahal seluruh kandungan Al-Qur’an tersebut mengandung
dua hal : Dzahir dan batin , syari’at dan hakikat.
Banyak sekali definisi tasawuf yang
telah dikemukakan, dan masing-masing berusaha menggambarkan apa yang dimaksud
dengan tasawuf. Tetapi pada umumnya definisi yang dikemukakan hanya menyentuh
sebagian dari keseluruhan bangunan tasawuf yang begitu besar dan luas.
Imam al-Qusyairi dalam
al-Risalah-nya mengutip 50 definisi dari ulama Salaf; sementara Imam Abu Nu'aim
al-Ishbahani dalam "Ensiklopedia Orang-Orang Suci"-nya Hikayat
al-awliya' mengutip sekitar 141 definisi, antara lain:
"Tasawuf adalah
bersungguh-sungguh melakukan suluk yaitu perjalanan' menuju malik al muluk
`Raja semua raja' (Allah `azza wa jalla)."
"Tasawuf adalah mencari wasilah
'alat yang menyampaikan' ke puncak fadhilah 'keutamaan'."
Definisi paling panjang yang dikutip
Abu Nu'aim berasal dari perkataan Imam al-Junaid ra. ketika ditanya orang
mengenai makna tasawuf:
"Tasawuf adalah sebuah istilah
yang menghimpun sepuluh makna:
1. tidak terikat dengan semua yang
ada di dunia sehingga tidak berlomba- lomba mengerjarnya.
2. Selalu bersandar kepada Allah `azza
wa jalla,.
3. Gemar melakukan ibadah ketika
sehat.
4. Sabar kehilangan dunia (harta).
5. Cermat dan berhati-hati
membedakan yang hak dan yang batil.
6. Sibuk dengan Allah dan tidak
sibuk dengan yang lain.
7. Melazimkan dzikir khafi (dzikir
hati).
8. Merealisasikan rasa ikhlas ketika
muncul godaan.
9. Tetap yakin ketika muncul
keraguan dan
10. Teguh kepada Allah dalam semua
keadaan. Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak
menyandang istilah ini; dan jika tidak, maka ia adalah pendusta. [Hilayat
al-Awliya]
Beberapa fuqaha 'ahli fikih' juga
mengemukakan definisi tasawuf dan mengakui keabsahan tasawuf sebagai ilmu
kerohanian Islam. Di antara mereka adalah: Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Jazi
al-Kalabi al-Gharnathi (w. 741 H.) dalam kitabnya al Qawanin al Fiqhiyyah li
Ibn Jazi hal. 277 menegaskan:
"Tasawuf masuk dalam jalur
fiqih, karena ia pada hakikatnya adalah fiqih batin (rohani), sebagaimana fiqih
itu sendiri adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan perilaku lahir."
Imam `Abd al-Hamid al-Syarwani,
dalam kitabnya Hawasyi al-Syarwani juz VII, menyatakan: "Ilmu batin
(kerohanian), yaitu ilmu yang mengkaji hal ihwal batin (rohani), yakni yang
mengkaji perilaku jiwa yang buruk dan yang baik (terpuji),itulah ilmu
tasawuf."
Al-Husayn bin Mansur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan
Dzat”.
Abu Hamzah al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia
menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal.
Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin , menjadi
obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur
setelah tersembunyi”.
Amr bin Utsman al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat
sesuai dengan apa yang paling baik sa’at itu”. Muhammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlaq mulia, dari
orang yang mulia di tenga-tengah kaum yang mulia”. Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak
memiliki apapun, tidak pula dimiliki apapun”.
Ruwaim bin Ahmad :
“Tasawuf artinya menyerahkan diri
kepada Allahdalam setiap keada’an apapun yang dikehendakiNya”.
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat:
memeluk kemiskinandan kefekiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi,dengan
medahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan
meninggalkan sifat kontra, dan memilih “. Ma’ruf Al-karky:
“Tasawuf artinya , memihak pada
hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
Hamdun al-Qashshar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi,
karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mema’afkan perbuatan-perbuatan
yang tak baik,dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baikpun bukan suatu yang
besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu”.
Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang
mengalami kelapanganjiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka
kehilangan sega-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di
hatinya, ingatlah, menangislahkalian karena kami”.
Sahl bin Abdullah :
“Sufi adalah orang yang memandang
darah dan hartanya tumpah secara gratis”. Ahmad An-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela
manakala tidak punya,dan peduli orang lain ketika ada”.
Muhammad bin Ali Kattany: “Tasawuf
adalah akhlak yang baik, barang siapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik,
berarti ia melebihimu dalam Tasawuf”.
Ahmad bin Muhammad ar- Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal dipintu Sang
Kekasih, sekalipun engkau diusir”.
“ “Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub,
setelah kotornya setelah berjauhan denganNya”.
Abu bakr asy-syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah
swt,tanpa hasrat”.
“Sufi terpisah dari manusia, dan
bersambung dengan Allah swt. Sebagaiana difirmankan Allah swt, kepada Musa,
“Dan aku telah memilihmu untuk DiriKu” (Thoha: 41) dan memisahkannya dari yang
lain. Kemudian Allah swt ,berfirman kepadanya , “Engkau tak akan bias melihatKu”.
“ Para Sufi adalah anak-anak di
pangkuan TuhanYang Haq”.
“Tasawuf adalah kilat yang menyala,
dan Tasawuf terlindung dari memandang mahluq “.
“ Sufi disebut sufi karena adanya
sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukandemiian halnya, niscaya tidak
akan ada nama yang dilekatkan pada mereka”.
Al-Jurairy :
“Tasawuf berarti kesadaran atas diri
sendiri dan berpegang pada adab”.
Al-Muzayyin:
“ Tasawuf adalah kepasrahan kepada
Al-haq”.
As-kar an-Nakhsyaby:
“ Orang Sufi tidaklah dikotori suatu
apapun, tetapi menyucikan segalanya”.
Dzun Nuun Al-Mishry:
“ Kaum Sufi adalah mereka yang
mengutamakan Allah swt diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di
atas segala makhluk yang ada”.
Muhammad Al-Wasithy:
“ Mula-mula para Sufi diberi
isyarat, kemudian menjadi geraan-garakan,dan sekarang tak ada sesuatu yang
tinggal selain kesedihan”.
Abu Nash as-Sarrajath-Thusy:
“ Aku bertanya kepada Ali al-Hushry,
siapakah, yang menurutmu Sufi itu ?” Lalu ia menjawab, “Yang tidak dibawa di
bumi dan tidak dinaungi langit”. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk
kepada kelaburan”.
Ahmad ibnul Jalla:
“ Kita tidak mengenal mereka melalui
persyaratan ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang
miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah
swt tanpa terikat pada suatu tempat, tetapi Allah swttidak menghakangi dari
mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi”.
Abu Ya’qub al-Madzabily:
“ Tasawuf adalah keadaan dimana
semua atribut kemanusiaan terhapus”.
Abu Hasan as-Sirwany:
“ Sufi yang bersama ilham,bukan
dengan wirid yang menyertainya”.
Abu Ali Ad-Daqqaq:
“ yang terbaik untuk diucapkan
tentang masalah ini adalah, Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum
yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang”.
“Seandainya sang fakir tak punya
apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkan pada anjing-anjing di
pintu ini, niscaya tak seekorpun yang menaruh perhatian padanya”.
Abu Sahl ash-sha’luky:
“Tasawuf adalah berpaling dari
sifkap menentang ketetapan Allah”.
Imam Muhammad `Amim al-Ihsan dalam
kitabnya Qawa'id al-Fiqih, dengan mengutip pendapat Imam al-Ghazali,
menyatakan:
"Tasawuf terdiri atas dua hal:
Bergaul dengan Allah secara benar dan bergaul dengan manusia secara baik. Setiap
orang yang benar bergaul dengan Allah dan baik bergaul dengan mahluk, maka ia
adalah sufi."
Definisi-definisi tersebut pada
dasarnya saling melengkapi satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang
tersimpul dalam satu ikatan: "Tasawuf adalah perjalanan menuju Tuhan
melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullah".
Penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs)
merupakan ruh dari takwa, sementara takwa merupakan sebaik-baik bekal (dalam
perjalanan menuju Allah), sehingga dikatakan oleh Imam Muhammad Zaki Ibrahim,
pemimpin tarikat sufi Al-Asyirah Al-Muhammadiyyah di Mesir, bahwa "tasawuf
adalah takwa. Takwa tidak hanya berarti "mengerjakan semua perintah Allah
dan meninggalkan semua larangan-Nya. Takwa juga meliputi "cinta, ikhlas,
sabar, zuhud, qana'ah, tawadhu', dan perilaku-perilaku batin lainnya yang masuk
ke dalam kategori makarim al-akhlaq (alkhlak yang mulia) atau al-akhlaq
al-mahmudah (akhlak yang terpuji)".
Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila tasawuf juga sering didefinisikan sebagai akhlak, yaitu akhlak bergaul
dengan Allah dan akhlak bergaul dengan semua makhluk-Nya. Imam Muhammad ibn
`Ali al-Kattani, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qusyairi dalam
al-Risalah-nya, menegaskan bahwa "tasawuf adalah akhlak". Imam Abu
Nu'aim al-Ishbahani juga mengutip definisi senada dalam Hilyat al-Awliya-nya:
"Tasawuf adalah berakhlak
dengan akhlak (orang-orang ) mulia."
Definisi terakhir di atas sejalan
dengan keberadaan Nabi SAW yang diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia sebagaimana ditegaskan oleh beliau sendiri dalam sebuah sabdanya yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal
"Sesungguhnya aku diutus hanya
untuk menyempurnakan akhlak yang baik." Para perawi hadis ini adalah para
perawi sahih (rijal al-shahih). (Majma' al-Zawaid, juz VIII hal.188)
Akhlak itu sendiri merupakan
perilaku batin yang melahirkan berbagai perbuatan secara otomatis tanpa melalui
pertimbangan yang disengaja, atau dalam definisi Imam al-Ghazali diungkapkan
dengan redaksi: "Akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi yang berakar
kuat dalam jiwa; dari kondisi itu lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikirkan dan pertimbangan."
Apa pun definisi yang dikemukakan
para ulama mengenai tasawuf, satu hal pasti adalah bahwa tasawuf merupakan sisi
rohani Islam yang sangat fundamental dan esensial; bahkan ia merupakan inti
ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Pernyataan Imam Muhammad Zaki
Ibrahim barangkali sudah cukup sebagai penjelasan terakhir: "Meskipun
terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi tasawuf, semua definisi yang ada
mengarah kepada satu titik yang sama, yaitu taqwa dan tazkiyah. Tasawuf adalah
hijrah menuju Allah SWT, dan pada hakikatnya semua definisi yang ada bersifat
saling melengkapi." (Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islami, atau Tasawuf
Salafi, hal 7)
Tidak satu definisi-pun yang mampu
menggambarkan secara utuh apa yang disebut dengan tasawuf. Demikian pula, tidak
ada satu penjelasan pun yang mampu menggambarkan apa yang disebut denga ihsan
'beribadah seolah-olah melihat Allah', karena hal itu menyangkut soal
"rasa dan pengalaman" bukan "penalaran atau pemikiran".
Pemahaman yang utuh mengenai tasawuf dan sekaligus ihsan hanya muncul setelah
seseorang "mengalami" dan tidak sekadar "membaca"
definisi-definisi yang dikemukakan orang.
GENERASI SUFI
As-sulami dalam Thabaqat, merinci
sebuah nama besar dari seluruh periode, dengan lima generasi. Generasi ini
menurut As-Sulamy adalah generasi terbaik, yang meletakkan dasar-dasar utama
Sufi, dan masuk dalam kategori sabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik ummat manusia
adalah generasi abadku,kemudian generasi abad berikutnya, lalu generasi abad
berikutnya …” (H.R. Bukhari) . Generasi inilah yang juga pernah di prediksi
oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya : “Ummatku senantiasa ada empat puluh
orang, berperilaku dengan budi pakerti Ibrahim Al-Khalil Alaihissalam, manakala
ada suatu perkara datang, mereka diserahi”. Generasi pertama sampai generasi
kelima, berjumlah 100 tokoh Sufi, masung-masing generasi terdiri 20 tokoh:
Generasi pertama : Al-Fudhail bin ‘Iyadh ,Dzun-Nun, al-mishry,Ibrahim bin Adam,
Bisyr Al-Harfy, Sary As-Saqathy, Al-harits Al-muhasiby, Syaqiq al-Balqhy, Abu
yazid al-Busthomy, Abu Sulaiman ad-Darany, Ma’ruf al-Karky, Hatim al-Asham ,
Ahmad bin Hadrawary, Yahya bin Mu’adz ar-Razy , Abu Hafsan-Naisyabury, Hamdun
al-Qashar, Manshur bin Ammar , Ahmad bin Ashim al-Anthaky, Abdullah bin Khubaik
al-Anthaky, dan Abu Turab an-Nakhsyaby.
Generasi kedua :
Abul Qasim al-Junaid, Abul husayn
an-Nury, Abu Utsman al-Hiry an-Naysabury, Abu Abdullah ibnu jalla, Ruwaim bin
Ahmad al-Baghdady, Yusuf bin Ibnul Husain ar-Razy, Syah al-Kirmani , Samnun bin
Hamzah al-Muhibb, Amr bin Utsman al-makky, Sahl bin Abdullah at-Tustary,
Muhammad bin Fadhl al-balkhy, Muhammad bin Ali at-Turmudzy, Abu Bakar
al-Warraq,Abu Sa’id al-Kharraz, Ali bin Sahl al-Ashbahany, Abul Abbas bin
Masruq ath-thusy, Abu Abdullah al-Maghriby, Abu Ali az-Zujajany, Muhammad dan
Ahmad,kedua putra AbulWard, Abu Abdullah as-Sijzy.
Generasi ketiga :
Abu Muhammad al-Jurairy, Abul Abbas
bin Atha’ al-Adamy, Mahfud bin Mahmud an-Naysabury, Thahir al-Muqaddasy, Abu
Amr ad-Dimasyqy, Abu Bakr bin Hamidat-Turmudzy,Abu Ishaq Ibrahim al-Khawash,
Abdullah bin Muhammad al-Kharraz ar-Razy, Bunan bin Muhammad al-Jamal, Abu
Hamzah al-Baghdady al-Bazzaz, Abul Husayn al-Waraq an-Naysaburi, Abu Bakr
al-Wasithy,al-Husayny bin Mashur al-Hallaj, Abul Husainy bin as-Shaigh
ad-Dainury Mumsyadz ad-Dinawary Ibrahim al-Qashshar, Khairun Nasaj, Abu Hanzah
al-Kurasany, Abu Abdullah ash-Shubaihy, Abu Ja’far bin Sinan.
Generasi keempat :
Abu Bakr asy-Syibly , Abu Muhammad
al-Murtaisy, Abu Ali ar-Rudzbary, Abu Ali ats-tsaqafi Abdullah bin Muhammad bin
Manazil, Abul Khair al-Aqtha’ at-Tinaty, Abu Bakr al-Kattany, Abu Ya’kub
an-Nahrajury Abul Hasan al-Muzayyin, Abul ali Ibnul Katib, Abul Husayn bin
Banan, Abu Bakr bin Thahir al-Abhury,Mudzaffar al-Qurminisainy, Abu Bakr bin
Yazdaniyaz, Abu Ishaq Ibrahim Ibnul Maulid, Abu Abdullah bin Alyan an-Nasyawy,
Abu Bakr bin Abi Sa’dan.
Generasi kelima:
Abu Sa’id ibnul A’raby, Abu Amr
az-Zujajy, Ja’far bin Muhammad al-Khuldy , Abul Abbas al-Qasim as-Sayyary, Abu
Bakr Muhammad bin Dawud ad-Duqqy, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad
asy-Sya’any, Abu Amr Ismail bin Nujaid , Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Busyanjy,
Abu Abdullah Muhammad bin Khafif, Bundar ibnu Husayn as-Syirazy, Abu Bakr
at-Timistany, Abul Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dainury, Abu Utsman Sa’id bin
Salman al-Maghriby, Abul Qasim Ibrahim bin Muhammad an-Nashruabadzy, Abul Hasan
Ali bin Ibrahim al-Hushry, Abu Abdullah at-Targhundy, Abul Hasan Ali bin Bundar
ash-Syairafy, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad asy-Syabahy, Abu BakrMuhammad bin
Ahmad al-Farra’, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Muqry, Abu Muhammad
Abdullah bin Muhammad ar-Rasy, Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Khaliq
ad-Dinawary.
Setelah periode As-Sulamy muncul
beberapa sufi seperti Abul Qasim al-Qusayry, disusul prestasi puncak pada Abu
Hamid Al-Ghazali (yang bergelar Hujjatul Islam ), kemudian Syaikh Abdul Qadir
al- Jailany,Ibnul Araby , dan Sulthanul A’uliya’Syaikh Abul Hasan Asyadzily.
POINT SERTA ISTILAH DALAM AJARAN
TASAWUF
Di dalam dunia Tasawuf muncul
sejumlah istilah-istilah yang sangat popular, dan menjadi terminology
tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya
merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih
dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, Semuanya didasarkan pada Ql-Qur’an dan
HadistNabi. Karena di butuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk memahami
sejumlahterminologinya, sebagaimana dibawah ini, yaitu: Ma’rifatullah Al-Waqt,
Maqam, Haal, Qadh dan Bast, Haibah dan Uns, Tawajud –Wajd –Wujud, Jam’ dan
Farq, Fana dan Baqa’. Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan syukr, Dzauq dan Syurb,
Mahw dan Istbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’,
Buwadah dan Hujum , Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat,
Nafas, Al-Khawatir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid,
Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya .
Kemudian istilah-istilah yang masuk
kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara lain : Taubat, Mujahadah ,
Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf Raja’, Huzn, Lapar dan
Meninggalkan Syahwat, Khusu’ dan Tawadu’, Jihadun, Nafs, Dengki, Pergunjingan,
Qana’ah, Tawakal, Syukur, Yaqin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah,
Ikhlas, Kejujuran, Malu, kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firisat, Akhlaq,
Kedermawa’n, Do’a, Kefakiran, Tasawuf, Adab, Persahabatan, Tauhid, Keluar dari
dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karamah, Mimpi, Tharekat,
Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.
Seluruh istilah tersebut biasamya
menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf, karena perilaku para Sufi tidak
lepas dari subtansi dibalik istilah-istilah itu semua, dan nantinya di balik
istilah tersebut selain bermuatan subtansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan
ruhani itu sendiri.
TUDUHAN-TUDUHAN NEGATIF PADA TASAWUF
Demi objektifitas, menilai apakah
tasawuf melenceng dari ajaran Islam apa tidak, kita harus melewati beberapa
kriteria di bawah ini. Dengan kriteria ini secara otomatis kita bisa mengukur
hakikat tasawuf.
Pertama sekali, penilaian harus
melampaui tataran kulit, dan langsung masuk pada substansi materi dan
tujuannya.
Lantas apa substansi materi tasawuf?
Seperti dijelaskan di atas tujuan tasawuf adalah dalam rangka membersihkan
hati, mengamalkan hal-hal yang baik, dan meninggalkan hal-hal yang jelek.
Seorang sufi dituntut selalu ikhlas, ridha, tawakal, dan zuhud - tanpa sama
sekali mengatakan bahwa kehidupan dunia tidak penting.
Kedua, Menilai secara objektif, jauh
dari sifat tendensius dan menggenalisir masalah.
Sikap ini sangat penting. Karena
pembacaan terhadap sebuah kasus yang sudah didahului oleh kesimpulan paten akan
menghalangi objektifitas, dan memburamkan kebenaran sejati.
Ketiga, memahami istilah atau
terminologi yang biasa digunakan para sufi, sehingga kita tidak terjebak kepada
ketergesa-gesaan dalam memvonis sebuah masalah.
Misalnya dalam dunia sufi dikenal
istilah zuhud. Kemudian orang sering salah mengartikan bahwa zuhud adalah benci
segala hal duniawi. Zuhud identik dengan malas kerja, dst. Padahal kalau kita
teliti dengan sedikit kesabaran tentang apa itu arti zuhud yang dimaksud para
sufi, maka kita akan menemukan bahwa zuhud yang dimaksud tidak seperti persepsi
di atas. Abu Thalib al-Maki, seorang tokoh sufi, misalnya, punya pandangan
bahwa bekerja dan memiliki harta sama sekali tidak mengurangi arti zuhud dan
tawakal.
Keempat, dalam vonis hukum, kita
perlu membedakan antara hukum sufi yang mengucapkan kata-kata dalam keadan
ecstasy dan dalam keadaan sadar.
Konsep ini penting sekali, supaya
kita tidak terjebak pada sikap ekstrim seperti memvonis kafir, musyrik, fasik,
dll.
Kenyataan di atas sama sekali tidak
berarti mau mengatakan bahwa sejarah sufi, putih bersih. Ada masa-masa dimana
ada oknum kaum sufi melenceng dari hakikat ajaran Islam, terutama setelah
berkembangnya tasawuf falsafi.
Beberapa penyimpangan oknum kaum
sufi falsafi:
- Menyepelekan kehidupan duniawi
- Terjebak pada pola pandang
jabariah
- Mengaku-ngaku bahwa Allah Swt
telah membebaskannya dari hukum taklif, seperti shalat, puasa, dll. Dan semua
hal bagi dirinya halal.
KESIMPULAN
Setelah mengetahui hakikat ajaran
tasawuf di atas jelaslah bahwa ajaran tasawuf, adalah bagian dari kekayaan
khazanah Islam. Ia bukanlah aliran sesat. Bahwa ada penyimpang oknum sufi itu
tidak berarti tasawuf itu jelek dan sesat. Kita jangan sekali-kali terjebak
apada generalisir masalah. Karena sejatinya, tokoh-tokoh sufi berpendapat
ajaran tasawuf harus bersendikan al-Qur'an dan Hadis. Diluar itu ditolak!
Tasawuf, seperti dinyatakan Syeikh
Yusuf al-Qardhawi, adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Karena misi
tasawuf memperbaiki akhlak. Dan akhlak jelas sekali bagian dari Islam. Karena
Nabi Muhamad saw diutus untuk menyempurnakan akhlak.