KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur saya sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmatNya sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Pekan Makalah Peringatan
Maulid ini tepat pada waktunya.
Saya menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun senantiasa saya
harapkan demi penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
atas segala bantuan semua pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Anggi Nugraha
BAB I
Pendahuluan
Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati
untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang
berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni
dari Prancis, Jerman, dan Inggris. Umat Islam saat itu kehilangan semangat
perjuangan dan persaudaraan ukhuwah.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu
membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib
bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun
1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan
Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau
Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan
yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat)
sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut
Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul
Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar
kepala oleh anak-anak NU.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW
bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at
kepadanya di Hari Kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat
mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan
menghidupkan Islam!”.
BAB II
Peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW dalam ISLAM
A. Pengertian Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa
Arab: مولد، مولد النبي), adalah peringatan hari lahir Nabi
Muhammad SAW, yang dalam tahun Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Kata
maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid
Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi
Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan
dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
B. Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
1. Pelaksanaan
peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang pertama dan waktu pelaksanaannya
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama
kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di
Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula
yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin
sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad
SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang
terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya
memperebutkan kota Yerusalem.
2. Latar
belakang pelaksanaan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk membangkitkan
semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras
mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis,
Jerman, dan Inggris. Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The
Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan
menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat
perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah
tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai
lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi –orang Eropa menyebutnya Saladin,
seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah
para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub –katakanlah
dia setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo),
Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan
Semenanjung Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan
kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin
mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12
Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati,
kini harus dirayakan secara massal.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni
An-Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan
Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah
suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji,
agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada
masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M)
tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai
kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan
seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama
cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian
menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan
syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat
dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan
Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan
sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa
yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti
kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far
Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang
sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah
keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul.
Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta
berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil
dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin
bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan,
Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (artinya
kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad
SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu
membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib
bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun
1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan
Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau
Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai
kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat
syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi
disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan
Kalijaga bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di
halaman Masjid Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua
gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang “pengampunan” yang disebut
gapura (dari bahasa Arab ghafura, artinya Dia mengampuni).
Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud.
Kata “gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar
keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap
dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg
Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar
(menyambut Idul Adha).
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul
Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar
kepala oleh anak-anak NU. Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran
Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan
berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada yang hanya mengirimkan
masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri,
ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang
agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan
ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat
Islam.
Ada yang hanya membaca Barzanji atau Diba’ (kitab sejenis Barzanji). Bisa
juga ditambah dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian
hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’izhah
hasanah dari para muballigh kondang.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan
yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang
baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang
pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain:
berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah
sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada
acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW
bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at
kepadanya di Hari Kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat
mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan
menghidupkan Islam!”
3. Tujuan
pelaksanaan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pada saat itu
Pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi tahun 1174-1193 M atau 570-590
H (Dinasti Bani Ayyub) umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan
diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan
Inggris. Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada
tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap
Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat
perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam
harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi
mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi
Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu
begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal. Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat
keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang lengah bersiap
menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci
Jerusalem dari tangan kaum Muslimin.
4. Bentuk
pelaksanaan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
Beberapa bentuk peringatan maulid
yang sering dilaksanakan masyarakat adalah :
1. Pembacaan kalam wahyu Ilahi
Surat atau ayat yang dibacakan tergantung kepada pembaca (qari’) maupun keinginan pelaksana acara,
ayat. Pembacaannya dilaksanakan dengan hukum tajwid yang yang benar. Selain
membaca dengan tartil, Qari’ yang
dipilih biasanya memiliki suara yang merdu, sehingga bagi jemaah atau orang
yang mendengarkan dapat mengkhayatinya. Setelah itu apa yang di bacakan oleh
Qari’ bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan gaya bacaan
deklamasi.
2. Tahlilan
Tahlilan adalah seperangkat kalimah thayyibah, surat-surat pendek dari
Alquran, maupun kalimah-kalimah lain rumusan ulama yang keseluruhannya dibaca
secara berjamaah, acara tahlilan biasanya diakhiri dengan makan bersama.
3. Doa bersama
Doa biasanya dipimpin oleh seorang ulama maupun ustadz, materi doa yang
berisi hal-hal yang cukup komrehensif dalam lingkup kehidupan, yang hampir
tidak pernah ditinggalkan adalah permohonan ampunan kepada Allah, syafaat
Rasulullah, dan hasanah dunia-akhirat.
4.
Ceramah
keagamaan
Penceramah biasanya adalah ustadz ataupun tokoh masyarakat yang terkenal
keluasan ilmu pengetahuan tentang agama. Biasanya ceramah dilaksanakan di dalam
mesjid atau musholla yang luas, kadang jika keadaan tidak memungkinkan ceramah
juga dilaksanakan di tempat terbuka seperti lapangan yang sudah diberi alas
maupun tenda seadanya.
5. Manfaat/dampak/akibat pelaksanaan
peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
Diantara Manfaat yang timbul dari
peringatan Maulid adalah ;
a. Membuat
generasi muda lebih mengenal kepribadian Rasulullah SAW, perjuangan beliau yang
penuh pelajaran untuk dipetik, dan misi yang diemban beliau dari Allah SWT
kepada alam semesta.
Para sahabat kerap menceritakan pribadi Rasulullah SAW dalam berbagai
kesempatan. Salah satu misal, perkataan Sa’d bin Abi Waqash radhiyallahu anhu,
“Kami selalu mengingatkan anak-anak kami tentang peperangan yang dilakukan
Rasulullah SAW, sebagaimana kami menuntun mereka menghafal satu surat dalam
Al-Quran.”
Ungkapan ini menjelaskan bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang
terjadi dalam perang Badar, Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk
peristiwa saat perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan
b. Sebagai
sarana umat Islam untuk berkumpul dan saling menjalin silaturahim.
Masyarakat yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya
jauh bisa menjadi dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca
Maulid, dan tentunya, berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada
Allah SWT.
C. Dalil-dalil
Pelaksanaan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
1. Merayakan
maulid termasuk dalam membesarkan kelahiran para Nabi. Hal yang berkenaan
dengan kelahiran Nabi merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang lebih,
sebagaimana halnya tempat kelahiran para nabi.
Dalam Al quran sendiri juga disebutkan doa sejahtera pada hari kelahiran
para Nabi seperti kata Nabi Isa dalam firman Allah surat Maryam ayat 33:
وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ
“dan kesejahteraan atasku pada hari kelahirannku”.
Maka Rasulullah juga lebih berhak untuk mendapatkan doa sejahtera pada hari kelahiran beliau.
Maka Rasulullah juga lebih berhak untuk mendapatkan doa sejahtera pada hari kelahiran beliau.
Dalam Al Quran, Allah juga tersebut perintah untuk mengingat hari-hari bersejarah,
hari dimana Allah menurunkan nikmat yang besar pada hari tersebut, seperti
dalam firman Allah surat Ibrahim ayat 5:
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآياتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah, Sesunguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar
dan banyak bersyukur.”
Dan juga dalam surat Al Jatsiyah ayat 14:
Dan juga dalam surat Al Jatsiyah ayat 14:
قُلْ لِلَّذِينَ آمَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لا
يَرْجُونَ أَيَّامَ اللَّهِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan
orang-orang yang tiada takut hari-hari Allah”
Dalam ayat tersebut Allah menyuruh untuk mengingat hari-hari Allah, secara
dhahir hari yang dimaksud adalah hari kesabaran dan penuh syukur dan yang
diharapkan dari hari tersebut adalah barakah yang Allah ciptakan pada hari
tersebut, karena hari hanyalah satu makhluk Allah yang tidak mampu memberi
manfaat dan mudharat.
Dalam surat Yunus ayat 58:
Dalam surat Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ
فَلْيَفْرَحُوا
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira”
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk senang dengan nikmat Allah. Maka tiada rahmat dan nikmat yang lebih besar dari pada kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beliau sendiri mengatakan:
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk senang dengan nikmat Allah. Maka tiada rahmat dan nikmat yang lebih besar dari pada kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beliau sendiri mengatakan:
أنا الرحمة المهداة
Kisah lain yang menunjuki bahwa ditutntut untuk memperingati hari
bersejarah adalah kisah Nabi SAW berpuasa pada hari Asyura. Ketika Nabi masuk
kota Madinah, beliau mendapati yahudi Madinah berpuasa pada hari Asyura. Ketika
mereka ditanyakan tentang hal tersebut mereka menjawab “bahwa pada hari
tersebut Allah memberi kemenangan kepada Nabi Musa dan Bani Israil atas firaun,
maka kami berpuasa untuk mengangagungkannya” Rasulullah berkata “kami lebih
berhak dengan Musa dari pada kamu” kemudian beliau memerintahkan untuk berpuasa
pada hari Asyura. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Al
Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalany menjadikan hadis ini sebagai dalil untuk
kebolehan merayakan maulid Nabi.
2. Kisah
Suwaibah Aslamiyah yang dimerdekakan oleh Abu Lahab karena
kegembiraannya terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Setahun
setelah Abu lahab meninggal, salah satu saudaranya yang juga merupakan paman
Rasulullah, Saidina Abbas bin Abdul Muthallib bermimpi bertemu dengannya dan
menanyakan bagaimana keadaan Abu Lahab, ia menjawab “bahwa tidak mendapat
kebaikan setelahnya tetapi ia mendapat minuman dari bawah ibu jarinya pada
setiap hari senin karena ia memerdekakan Suwaibah Aslamiyah ketika mendengar
kabar gembira kelahiran Nabi Muhammad”. Hadis ini tersebut dalam Shaheh Bukhary
dengan nomor 4711. kisah ini juga disebutkan oleh Ibnu Kastir dalam kitab
beliau Al Bidayah An Nihayah jilid 2 hal273.
Ini
adalah balasan yang Allah berikan terhadap orang yang menjadi musuhNya dan
mendapat celaan dalam Al Quran. Apalagi terhadap orang-orang mukmin yang senang
terhadap kelahiran baginda Rasulullah SAW.
3. Rasulullah
sendiri pernah merayakan hari kelahiran beliau sendiri yaitu dengan berpuasa
pada hari senin. Ketika ditanyakan oleh para shahabat beliau menjawab:
فيه ولدت وفيه أُنزل عليَّ
“itu adalah hari kelahiranku dan hari diturunkan wahyu atasku”.(H.R.
Muslim)
Hadis ini tersebut dalam kitab Shaheh Muslim jilid 2 hal 819. Hadis ini menjadi landasan yang kuat untuk pelaksanaan maulid walaupun dengan cara yang berbeda bukan dengan berpuasa seperti Rasululah melainkan dengan memyediakan makanan dan berzikir dan bershalawat, namun ada titik temunya yaitu mensyukuri kelahiran Rasulullah saw. Imam As Sayuthy menjadikan hadis ini sebagai landasan dibolehkan melaksanakan maulid Nabi.
Hadis ini tersebut dalam kitab Shaheh Muslim jilid 2 hal 819. Hadis ini menjadi landasan yang kuat untuk pelaksanaan maulid walaupun dengan cara yang berbeda bukan dengan berpuasa seperti Rasululah melainkan dengan memyediakan makanan dan berzikir dan bershalawat, namun ada titik temunya yaitu mensyukuri kelahiran Rasulullah saw. Imam As Sayuthy menjadikan hadis ini sebagai landasan dibolehkan melaksanakan maulid Nabi.
4. Rasulullah
pernah menyembelih hewan untuk aqiqah untuk beliau sendiri setelah menjadi
nabi.
Sebelumnya, kakek rasulullah, Abdul Muthalib telah melakukan aqiqah untuk
Rasulullah. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqy dari Anas bin Malik. Aqiqah tidak dilakukan untuk kedua kalinya
maka perbuatan Rasulullah menyembelih hewan tersebut dimaksudkan sebagai
memperlihatkan rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan yaitu penciptaan
beliau yang merupakan rahmat bagi seluruh alam dan sebagai penjelasan syariat
kepada umat beliau.
Hadis ini oleh Imam As Sayuthy dijadikan sebagai landasan lain dalam
perayaan maulid Nabi. Maka juga disyariatkan bagi kita untuk memperlihatkan
kesenangan dengan kelahiran Rasulullah yang boleh saja kita lakukan dengan
membuat jamuan makanan dan berkumpul berzikir dan bershalawat.
5. Rasulullah
memuliakan hari jumat karena hari tersebut adalah hari kelahiran Nabi Adam AS.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh An Nasai dan Abu Daud
إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فيه خلق آدم وفيه قبض وفيه
النفخة وفيه الصعقة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي
“bahwasanya sebagian hari yang terbaik bagi kamu adalah hari jum`at,pada
hari tersebut di ciptakan Nabi Adam, wafatnya dan pada hari tersebut ditiupnya
sangkakala, maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari juma`at, karena
shalawat kamu didatangkan kepada ku ” (H.R. Abu Daud).
Rasulullah telah memuliakan hari jum`at karena pada hari tersebut Allah menciptakan bapak dari seluruh manusia, Nabi Adam. Maka hal ini juga dapat diqiyaskan kepada merayakan kelahiran Nabi Muhammad.
Rasulullah telah memuliakan hari jum`at karena pada hari tersebut Allah menciptakan bapak dari seluruh manusia, Nabi Adam. Maka hal ini juga dapat diqiyaskan kepada merayakan kelahiran Nabi Muhammad.
6. Memperingati maulid dapat meneguhkan hati manusia.
Allah
ta`ala menyebutkan kisah-kisah para anbiya didalam Al-quran seperti kisah
kelahiran Nabi Yahya, siti Maryam dan Nabi Musa AS. Allah menyebutkan
kisah-kisah kelahiran para Nabi tersebut untuk menjadi peneguh hati Rasulullah
saw sebagaimana firman Allah surat Hud ayat 120:
وَكُلّاً نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا
نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu”.
Apabila membacakan kisah para Nabi terdahulu dapat meneguhkan hati Rasulullah, maka membacakan kisah kehidupan Rasulullah sebagaimana dilakukan ketika memperingati maulid juga mampu meneguhkan hati manusia , bahkan manusia lebih membutuhkan peneguh hati ketimbang Rasulullah.
Apabila membacakan kisah para Nabi terdahulu dapat meneguhkan hati Rasulullah, maka membacakan kisah kehidupan Rasulullah sebagaimana dilakukan ketika memperingati maulid juga mampu meneguhkan hati manusia , bahkan manusia lebih membutuhkan peneguh hati ketimbang Rasulullah.
7. Maulid
merupakan satu wasilah/perantara untuk berbuat kebaikan dan taat.
Dalam
perayaan maulid Nabi, dilakukan berbagai macam amalan kebaikan berupa
bersadaqah, berzikir, bershalawat dan membaca kisah perjuangan Rasulullah dan
para Shahabat. Semua ini merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Semua hal
yang perantara bagi perbuatan taat maka hal tersebut juga termasuk taat.
8. Firman Allah
dalam surat Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ
فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan".
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk senang terhadap semua karunia dan rahmat Allah, termasuk salah satu rahmaNya yang sangat besar adalah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dalam firman Allah surat Al Anbiya ayat 107:
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk senang terhadap semua karunia dan rahmat Allah, termasuk salah satu rahmaNya yang sangat besar adalah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dalam firman Allah surat Al Anbiya ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
Bahkan
sebagian ahli tafsir mengatakan kalimat rahmat pada surat Yunus ayat 58
dimaksudkan kepada Nabi Muhammad dengan menjadikan surat Al Anbiya ayat 107
sebagai penafsirnya, sebagaimana terdapat dalam tafsir Durar Al Manstur
karangan Imam As Sayuthy, tafsir Al Alusty fi Ruh Al Ma`any dan tafsir Ibnul
Jauzy.
Jadi dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk terhadap datangnya Rasulullah SAW, kesenangan tersebut dapat diungkapkan dengan berbagai macam cara baik menyediakan makanan kepada orang lain, bersadaqah, berkumpul sambil berzikir dan bershalawat dll.
Jadi dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk terhadap datangnya Rasulullah SAW, kesenangan tersebut dapat diungkapkan dengan berbagai macam cara baik menyediakan makanan kepada orang lain, bersadaqah, berkumpul sambil berzikir dan bershalawat dll.
9. Perayaan
maulid bukanlah satu ibadah tauqifiyah
Ibadah taufiqiyah adalah ibadahyang tatacara pelaksaannya hanya dibolehkan
sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi, tapi maulid merupakan satu qurbah
(pendekatan kepada Allah) yang boleh. Dikarenakan dalam pelaksanaan maulid
mengandung hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah maka maulid itu
termasuk dalam satu qurbah.
D. Peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW di Kabupaten Banjar
1. Bentuk
pelaksanaan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
“Ratusan
sampai ribuah jemaah berjubel di Masjid Agung Al Karomah Martapura, Kabupaten
Banjar. Secara bergelombang, jemaah yang mayoritas mengenakan kemeja koko dan
peci putih itu memenuhi hampir setiap sudut masjid kebanggaan warga Martapura
itu, Kamis (9/2).
Kedatangan para jemaah yang berasal dari berbagai daerah di Kabupaten Banjar itu untuk menghadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 Hijriah. Kegiatan itu merupakan acara rutin tahunan yang digelar Pemkab Banjar, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Banjar dan Nadzir Masjid Agung Al Karamah.
Tampak hadir Bupati Banjar, Khairul Saleh, Wakil Bupati, Fauzan Saleh, Pengasuh Ponpes Darussalam Martapura, KH Khalillurrahman, para anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) Kabupaten Banjar. Terlihat hadir juga Ketua Umum PBNU, Prof DR Said Agil Syiraj untuk memberikan ceramah.
Dalam sambutannya, Bupati Banjar, Khairul Saleh mengatakan bahwa Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa cinta kepada Rasulullah.
"Dengan memperingati Maulid Nabi maka Kabupaten Banjar dan Indonesia selalu mendapat keberkahan dan ridho dari Allah SWT," kata dia.”
Kedatangan para jemaah yang berasal dari berbagai daerah di Kabupaten Banjar itu untuk menghadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 Hijriah. Kegiatan itu merupakan acara rutin tahunan yang digelar Pemkab Banjar, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Banjar dan Nadzir Masjid Agung Al Karamah.
Tampak hadir Bupati Banjar, Khairul Saleh, Wakil Bupati, Fauzan Saleh, Pengasuh Ponpes Darussalam Martapura, KH Khalillurrahman, para anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) Kabupaten Banjar. Terlihat hadir juga Ketua Umum PBNU, Prof DR Said Agil Syiraj untuk memberikan ceramah.
Dalam sambutannya, Bupati Banjar, Khairul Saleh mengatakan bahwa Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa cinta kepada Rasulullah.
"Dengan memperingati Maulid Nabi maka Kabupaten Banjar dan Indonesia selalu mendapat keberkahan dan ridho dari Allah SWT," kata dia.”
(Dikutip
dari Banjarmasinpost.co.id; 30/01/2013)
“Pelaksanaan maulid di daerah saya
(Martapura), biasanya dimulai dengan pembacaan surah Ya’sin secara berjamaah,
setelah itu membaca Maulid Habsy, tahlil, shalawat dan berbagai puji-pujian
maupun kalam ilahi, kadang juga diadakah ceramah keagamaan jika peringatan
maulid dilaksanakan secara besar-besaran. Peringatan maulid biasanya di adakah
di Mesjid, Musholla, maupun lapangan luas seperti di mesjid Da’watul Khair dan
lain-lain”
(Narasumber wawancara adalah M. Abdul Djabbar; 30/01/2013)
2. Tujuan
pelaksanaan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
“Pelaksanaan maulid bertujuan untuk
memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat, selain itu juga agar masyarakat
lebih mengenal kepribadian, jalan hidup dan liku-liku yang dilalui Rasulullah
untuk dapat membawa ISLAM hingga sekarang”
(Narasumber wawancara adalah M.Abdul Djabbar; 30/01/2013)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peringatan maulid pada awalnya bertujuan untuk menyatukan umat islam dalam
menghadapi perang salib, tujuan ini berubah seiring berjalannya waktu. Maulid
dapat menjadi sarana penyambung silaturrahmi antar warga masyarakat dan sarana
untuk memperkenalkan kepribadian dan nilai-nilai luhur yang ada pada diri
Rasulullah.
Melaksanakan peringatan Maulid Nabi
Muhammad adalah baik selama tidak menyeleweng dari aqidah dan syariat agama,
hal ini dapat dilihat dari banyaknya dalil yang memperbolehkan bahkan
menganjurkan untuk mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW.
B. Saran-saran
Sebaiknya acara maulidan tidak hanya berisi ceramah maupun doa saja, tetapi
diisi oleh hal-hal yang dapat meningkatkan kreatifitas masyarakat. misalnya
diadakan berbagai lomba, bazaar, maupun pengumpulan dana bagi orang-orang yang
membutuhkan.
Saya sebagai remaja melihat bahwa kebanyakan remaja saat ini hanya
menganggap peringatan maulid sebagai waktu luang langka dari kesibukan belajar
mereka. Membuat remaja memahami arti sebenarnya dari pelaksanaan maulid adalah PR para pendidik saat ini. saya
berharap bahwa pelaksanaan maulid yang akan datang adalah hal yang akan selalu
ditunggu siswa, bukan sebagai waktu untuk bersenang-senang tanpa mempelajari
apapun, tapi sebagai waktu untuk lebih mengenali dan memahami arti dari
pelaksanaan maulid sesungguhnya.
KETERANGAN MAULID NABI DALM QURAN
DAN HADIST
Oleh Von
Edison Alouisci
Rumah yang
dikatakan tempat kelahiran nabi Muhammad s.a.w
Rabiul Awal adalah
bulan bertabur pujian dan rasa syukur. Di bulan ini, seribu empat ratus tahun
silam, terlahir makhluk terindah yang pernah diciptakan Allah SWT. Namanya
Muhammad SAW. Kita patut memujinya, karena tiada ciptaan yang lebih sempurna
dari Baginda Nabi SAW. Berkat beliau, seluruh semesta menjadi terang benderang.
Kabut jahiliah tersingkap berganti cahaya yang memancarkan kedamaian dan ilmu
pengetahuan. Karena itu kita wajib mensyukuri. Tiada nikmat yang lebih berhak
untuk disyukuri dari nikmat wujudnya sang kekasih, Muhammad SAW.
Walau masih ada segelintir
muslimin yang alergi dengan peringatan maulid Nabi SAW, antusiasme memperingati
hari paling bersejarah itu tak pernah surut. Di seluruh belahan bumi, umat
Islam tetap semangat menyambut hari kelahiran Nabi SAW dengan beragam kegiatan,
seperti sedekah, berdzikir, shalawat, bertafakkur, atau dengan menghelat
seminar-seminar ilmiah, bahkan Rasulullah telah mengawali mereka dan memberikan
contoh dengan berpuasa setiap hari kelahiran beliau yaitu hari senin.
Negara-negara muslim, kecuali Arab Saudi, menjadikan tarikh 12 Rabiul Awal
sebagai hari libur nasional. Hari itu pun dijadikan sebagai momen pertukaran
tahni’ah (ucapan selamat) bagi sebagian pemimpin negara-negara di Sumenanjung
Arab.
Secara harfiah,
maulid bermakna hari lahir. Belakangan istilah maulid digunakan untuk sirah
Nabi SAW, karena, seperti telah dimafhumi, sejarah dimulai dengan kelahiran
atau saat-saat jelang kelahiran. Sirah, atau sejarah hidup Rasulullah SAW itu
sangat perlu dibaca dan dikaji karena penuh inspirasi dan bisa memantapkan
iman. Allah SWT berfirman,
وَكُلًّا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua
kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya kami teguhkan hatimu.. (Hud :120)”
Maulid Nabi
Isa
Dalam Al-Quran
banyak tercantum maulid para nabi. Allah SWT mengisahkan Nabi Isa A.S. secara
runtun: mulai kelahirannya, lalu diutus sebagai rasul, hingga diangkat ke
langit. Coba tengok surat Ali Imran ayat 45 sampai 50. Di situ Allah SWT
memulai kronologi kisah Nabi Isa a.s. dengan firmanNya,
إِذْ
قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ
اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ
وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ
“(ingatlah), ketika
malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan
kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang)
daripada-Nya, namanya Al masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia
dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),”
Dalam Surat Al
Maidah ayat 110, Allah SWT lagi-lagi menegaskan sekali lagi siapa sosok Isa
a.s., Allah SWT berfirman,
إِذْ
قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى
وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ
وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ
وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي
فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ
وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ
بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
“(ingatlah), ketika
Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada
ibumu di waktu Aku menguatkan dirimu dengan Ruhul qudus. kamu dapat berbicara
dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (Ingatlah)
di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah
pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung
dengan ijin-Ku, Kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung
(yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (Ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan
orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak
dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari
kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu Aku menghalangi
Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara
mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”.
Ayat-ayat di atas
mengurai sirah nabi Isa a.s. mulai jelang kelahirannya sampai diangkat ke
langit. Sebuah data yang tak bisa dibantah keontetikannya. Mengacu terminologi
maulid sebagai sirah, jalinan kisah di atas sah-sah saja bila diistilahkan
sebagai Maulid Nabi Isa a.s.
Maulid Nabi
Yahya
Selain Nabi Isa
a.s., Al-Quran juga mencatat “biografi” Nabi Zakaria dan maulid Nabi Yahya
Alaihimassalam. Dalam surat Maryam ayat 3 sampai 33, Allah mengisahkan perjalanan
hidup Nabi Zakaria dan Nabi Yahya dengan panjang lebar, dimulai dengan sebuah
doa Nabiyullah Zakariya yang penuh pengharapan.
قَالَ
رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ
أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ
وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5)
يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Ia Berkata “Ya
Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban,
dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan
Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku (pengganti) sepeninggalku, sedang
isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau
seorang putera, yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub;
dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, sebagai seorang yang diridhai”.
Kemudian Allah
menjawab permintaan rasul-Nya itu, sekaligus sebagai isyarat akan lahirnya sang
“putra mahkota”, Nabi Yahya a.s.,
يَا
زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ
قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakaria,
Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak
yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang
serupa dengannya.
Selanjutnya, dengan
bahasa yang indah, Al-Quran mengisahkan sirah Nabi Zakaria a.s. dan putranya,
Yahya a.s.. Sama seperti perjalanan hidup Nabiyullah Isa a.s., sirah Nabi Yahya
bisa pula diistilahkan sebagai Maulid Nabi Yahya karena, hakikatnya, maulid
adalah sirah. Begitu pun kisah Nabi Ibrohim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi
Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa dan lainnya.
Maulid Siti
Maryam
Tak hanya para
nabi. Al-Quran juga mendedah sejarah hidup sebagian kaum shalihin. Salah satunya
adalah Siti Maryam, sosok teladan bagi wanita sepanjang masa. Kisah wanita
mulia itu dibuka dengan sebuah nazar yang diucapkan seorang ibu yang berhati
tulus dalam surat Ali Imran ayat 35 sampai 37.
إِذْ
قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي
مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ )35(
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ
أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا
مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
)36( فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا
وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ
وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ
عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ )37(
“(ingatlah), ketika
isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku menazarkan kepada Engkau
anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul
Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
36. Maka tatkala
isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku
melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.
Sesungguhnya Aku Telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya
serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang
terkutuk.”
37. Maka Tuhannya
menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan
pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap
Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.
Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam
menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
Dan masih banyak
lagi yang tidak bisa kami sertakani karena keterbatasan ruang namun
Dari ayat-ayat di
atas bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Maulid Nabi SAW, yang memuat
sirah Rasulullah SAW, adalah semacam epigon (pengikut) bagi Al-Quranul Karim
yang memuat sirah-sirah para nabi dan shalihin. Sebagai pemimpin para nabi,
sudah sepatutnya sejarah Nabi Muhammad dibukukan dan dibaca sesering mungkin.
Pentingnya mengenang perjalanan hidup Baginda Nabi SAW sangat dirasakan umat
Islam pada periode akhir-akhir ini, tatkala berbagai figur non muslim
ditawarkan oleh media-media secara gencar.
Hari
Istimewa
Perlu diketahui,
sejatinya Allah SWT juga menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai momen
istimewa. Fakta bahwa Rasul SAW terlahir dalam keadaan sudah dikhitan
(Almustadrak ala shahihain hadits no.4177) adalah salah satu tengara. Fakta
lainnya:
Pertama, perkataan
Utsman bin Abil Ash Atstsaqafiy dari ibunya yang pernah menjadi pembantu Aminah
r.a. ibunda Nabi SAW. Ibu Utsman mengaku bahwa tatkala Ibunda Nabi SAW mulai
melahirkan, ia melihat bintang bintang turun dari langit dan mendekat. Ia
sangat takut bintang-bintang itu akan jatuh menimpa dirinya, lalu ia melihat
kilauan cahaya keluar dari Ibunda Nabi SAW hingga membuat kamar dan rumah
terang benderang (Fathul Bari juz 6/583).
Kedua, Ketika Rasul
SAW lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).
Ketiga, riwayat
yang shahih dari Ibn Hibban dan Hakim yang menyebutkan bahwa saat Ibunda Nabi
SAW melahirkan Nabi SAW, beliau melihat cahaya yang teramat terang hingga
pandangannya bisa menembus Istana-Istana Romawi (Fathul Bari juz 6/583).
Keempat, di malam
kelahiran Rasul SAW itu, singgasana Kaisar Kisra runtuh, dan 14 buah jendela
besar di Istana Kisra ikut rontok.
Kelima, padamnya
Api di negeri Persia yang semenjak 1000 tahun menyala tiada henti (Fathul Bari
6/583).
Kenapa
peristiwa-peristiwa akbar itu dimunculkan Allah SWT tepat di detik kelahiran
Rasulullah SAW?. Tiada lain, Allah SWT hendak mengabarkan seluruh alam bahwa
pada detik itu telah lahir makhluk terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya, dan
Dia SWT mengagungkan momen itu sebagaimana Dia SWT menebar salam sejahtera di
saat kelahiran nabi-nabi sebelumnya.
Hikmah
maulid
Peringatan maulid
nabi SAW sarat dengan hikmah dan manfaat. Di antaranya: mengenang kembali
kepribadian Rasulullah SAW, perjuangan beliau yang penuh pelajaran untuk
dipetik, dan misi yang diemban beliau dari Allah SWT kepada alam semesta.
Para sahabat
radhiallahu anhum kerap menceritakan pribadi Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan.
Salah satu misal, perkataan Sa’d bin Abi Waqash radhiyallahu anhu, “Kami selalu
mengingatkan anak-anak kami tentang peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW,
sebagaimana kami menuntun mereka menghafal satu surat dalam Al-Quran.”
Ungkapan ini menjelaskan
bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang terjadi dalam perang Badar,
Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat perang
Khandaq dan Bai’atur Ridhwan.
Selain itu, dengan
menghelat Maulid, umat Islam bisa berkumpul dan saling menjalin silaturahim.
Yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya jauh bisa menjadi
dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca Maulid, dan tentunya,
berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada Allah SWT.
Sempat terbesit
sebuah pertanyaan dalam benak, kenapa membaca sirah baginda rasulullah mesti di
bulan maulid saja? Kenapa tidak setiap hari, setiap saat? Memang, sebagai tanda
syukur kita sepatutnya mengenang beliau SAW setiap saat. Akan tetapi, alangkah
lebih afdhal apabila di bulan maulid kita lebih intens membaca sejarah hidup
beliau SAW seperti halnya puasa Nabi SAW di hari Asyura’ sebagai tanda syukur
atas selamatnya Nabi Musa as, juga puasa Nabi SAW di hari senin sebagai hari
kelahirannya.
Nah, sudah saatnyalah
mereka yang anti maulid lebih bersikap toleran. Bila perlu, hendaknya bersedia
bergabung untuk bersama-sama membaca sirah Rasul SAW. Atau, minimal – sebagai
muslim– hendaknya merasakan gembira dengan datangnya bulan Rabiul Awal. Sudah
sepantasnya di bulan itui kita sediakan waktu untuk mengkaji lebih dalam
sejarah hidup Rasul SAW. Jangan lagi menggugat maulid.
Peringatan Maulid Untuk Memetik Buah Cinta Nabi Muhammad SAW
Karena cinta, membiarkan diri beliau tertusuk sebatang duri pun hati tak
rela.
Allah SWT telah memberikan berbagai kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya. Puncak kenikmatan yang dirasakan adalah ketika umat manusia di akhir zaman terpilih sebagai umat Muhammad SAW, pembawa peringatan dan kabar gembira. Beliau mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, membuka mata yang buta dan telinga yang tuli, serta menggugah hati yang lalai.
Ya, karunia terbesar yang telah Allah berikan kepada umat manusia, bahkan bagi alam semesta, adalah diutusnya nabi yang merupakan makhluk termulia dari seluruh makhluk ciptaan-Nya itu. Beliau memperhatikan nasib umatnya, bukan hanya di dunia, tapi juga sampai di akhirat kelak.
Karunia tersebut tak ternilai harganya. Syari’at yang dibawa Nabi telah mengangkat harkat kaum wanita dari sejarah kelam umat manusia yang selama berabad-abad telah menghinakan mereka. Lewat syari’at yang dibawanya pula, derajat seorang ibu di hadapan anaknya diletakkan dalam kedudukan yang amat mulia. Anak-anak yatim menempati kelas terhormat sebagai kesayangan beliau, sedangkan yang menyayangi mereka kelak akan mendampingi beliau di surga. Para budak pun berangsur-angsur terbebaskan dari cengkeraman kezhaliman yang telah lama mendera.
Tak terhitung banyaknya manusia yang terangkat derajatnya berkat kehadiran dan kedudukan beliau di sisi Rabb-nya. Ya, beliau memang seorang manusia tapi tidak seperti manusia kebanyakan. Beliau manusia istimewa.
Kehadiran manusia istimewa ini di alam dunia tentunya berawal dari saat kelahirannya. Kelahirannya itu populer dengan sebutan “Maulid Nabi”.
Media Pengingat Umat
Bila kepergian manusia biasa beroleh penghormatan sedemikian rupa, misalnya di beberapa event hari besar nasional lewat seremoni mengheningkan cipta untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah merebut atau mempertahankan kemerdekaan negara, apakah kehadiran manusia agung pilihan Allah SWT yang senantiasa berupaya melindungi umatnya sejak di dunia hingga akhirat kelak tidak lebih utama untuk dihormati? Wajar saja bila para pecinta Nabi memperingati hari kelahiran beliau, sebagai salah satu bentuk ekspresi cinta dan penghormatan yang mereka berikan.
Di samping itu, agar tak lupa, manusia memang harus banyak diingatkan. Sebab, manusia adalah tempatnya khilaf dan alpa. Apatah lagi, seiring berjalannya waktu, semakin jauh pula jarak kehidupan Nabi dengan umatnya. Namun demikian, jarak waktu antara generasi sekarang dan generasi beliau bukanlah halangan dalam mengenal pribadi nan sempurna itu. Sebab, segala ucapan dan tindakannya dikenang dan diamati oleh orang-orang yang hidup pada masanya dan disampaikan dari generasi ke generasi. Di kemudian hari ucapan dan tindakan beliau dibukukan menjadi kumpulan hadits. Tak dapat disangkal, tak ada manusia yang pernah mendapat perhatian dan dikenang seperti itu sepanjang umur dunia.
Diadakannya sebuah peringatan adalah salah satu cara untuk mengatasi kelupaan. Dalam kaitan ini, peringatan Maulid Nabi dapat menjadi media pengingat umat Islam agar senantiasa mencintai beliau, menaati syari’at yang dibawanya, dan meneladani akhlaq terpuji yang menghiasi dirinya sehari-hari. Hal-hal tersebut selalu dan harus selalu menjadi tema utama setiap majelis peringatan Maulid Nabi.
Karena itulah, dalam pendapatnya yang disiarkan secara luas melalui media online pribadinya, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, ulama besar dunia zaman sekarang yang kini menjabat ketua Persatuan Ulama Internasional, membolehkan perayaan Maulid Nabi sekaligus menyanggah anggapan bahwa merayakan Maulid Nabi SAW masuk dalam kategori bid’ah.
Perayaan seperti itu dibolehkan, guna mengingat kembali sirah perjuangan Rasulullah SAW, kepribadian beliau yang agung, dan misi yang dibawa beliau kepada alam semesta. Dalam fatwanya, Al-Qaradhawi melandaskan pendapatnya dengan mengatakan bahwa memperingati kelahiran Rasulullah SAW adalah mengingatkan umat Islam terhadap nikmat luar biasa kepada mereka. “Mengingat nikmat Allah adalah sesuatu yang disyari’atkan, terpuji, dan memang diperintahkan. Allah SWT memerintahkan kita untuk mengingat nikmat Allah SWT,” ujarnya.
Suka Cita Umat Rasulullah
Sejak dulu, Maulid Nabi memang selalu dikenang dengan beragam cara. Bahkan pada saat detik-detik Maulid Nabi sendiri, Allah SWT Yang Maha Berkehendaklah yang telah mengisyaratkan momentum tersebut sebagai momentum yang begitu bernilai dan layak dimuliakan.
Saat beliau dilahirkan, singgasana Raja Kisra terjungkal. Di belahan bumi lainnya, api abadi sesembahan kaum Persia yang selama ribuan tahun tak pernah redup, tiba-tiba mati begitu saja. Di kemudian hari, bahkan Rasulullah SAW sendiri memperingati Maulid-nya, dengan berpuasa di hari Senin, hari saat beliau dilahirkan.
Saat mengomentari berbagai peristiwa di atas yang dikaitkan dengan kelahiran Rasulullah SAW, Al-Qaradhawi mengatakan, karenanya, semangat memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada dasarnya adalah semangat dalam menyambut kehadiran Islam itu sendiri.
Benar yang dikatakannya, sebab singgasana raja Kisra dan api sesembahan Persia adalah simbol-simbol kebathilan yang akan disingkirkan oleh cahaya hidayah yang memancar dari ajaran syari’at yang dibawa Rasulullah SAW.
Maka, dari waktu ke waktu, dengan cara-cara baik dan berbeda-beda, setidaknya sekali dalam setahun, umat Islam pun mengenang dan memperingati Maulid Nabi sebagai momentum yang amat istimewa. Bahkan disebutkan, momentum hari kelahiran beliau merupakan hari raya terbesar umat Islam, melebihi kebesaran hari-hari raya Islam lainnya. Sebab, tanpa hari Maulid Nabi, bagaimana mungkin ada ‘Idul Adha maupun ‘Idul Fithri.
Hari istimewa itu memang selalu mendapat tempat istimewa di hati umat Islam. Mereka senantiasa mengenang dan merayakannya dengan penuh suka cita.
Kehadiran beliau merupakan hadiah terindah. Sehingga, merugilah setiap orang yang tidak berupaya mengambil hadiah itu. Sedangkan Rasulullah SAW sendiri mengatakan, “Aku adalah rahmat Allah yang dihadiahkan untuk kalian.”
Dari sini jelaslah, segenap upaya yang dikerahkan dalam memperingati Maulid Nabi SAW merupakan usaha untuk meraih hikmah dari kenikmatan besar yang telah Allah SWT berikan. Dari sini pula muncullah kecintaan dan ketaatan di hati kepada beliau sebagai tanda keimanan. Mengimaninya adalah tameng keselamatan dari kebingungan di dunia dan akhirat. Sementara, berpaling dari ajarannya adalah kegelapan tak berujung yang menimbulkan kesengsaraan dan kehinaan selamanya.
Buah Cinta yang Harus Dipetik
Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW akan membuahkan hasil dan faedah yang amat banyak. Yang terbesar dari faedah yang akan didapat terdapat pada tiga hal.
Pertama, ketaatan dan peneladanan, serta cermat saat melaksanakannya. Tidak jarang orang yang akan menaati perintahnya justru terjerumus masuk dalam dosa karena tidak cermat memahami maksud perintah itu.
Contoh kecil, taat pada suami dan orangtua adalah wajib, tetapi akan menjadi dosa ketika perintahnya berisi agar istri atau putrinya menanggalkan jilbab. Saling menasihati adalah perintah agama, tapi jika nasihat itu tidak diucapkan dengan santun, bukan pahala yang diterima, melainkan justru dosa yang tanpa disadari akan didapat. Hal-hal seperti ini tidak akan terjadi kalau kecintaan kepada Nabi SAW tumbuh secara tulus, memahami agama ini dengan bimbingan para ulama, dan selalu mengevaluasi diri atas tindak-tanduk sikap dan ucapan yang dilakukan setiap saat.
Seperti telah disebutkan, merayakan kelahiran Muhammad SAW memang merupakan amaliyah mulia dan bermanfaat sebagai media pengingat bagi umat. Tapi dalam beramal, termasuk mengadakan acara-acara keagamaan, tidaklah cukup bila hanya didasarkan niat baik. Bila karena penyelenggaraannya menyebabkan kepentingan umum terabaikan, kesan negatif terhadap Islam dan umatnya dapat saja muncul. Karenanya, seperangkat syarat berdakwah memang harus diperhatikan dan terpenuhi. Bila tidak, dakwah bukan hanya menjadi tidak efektif, malah dikhawatirkan menjadi modus yang tanpa disadari mencemarkan nama baik ajaran Rasulullah SAW itu sendiri, terutama di mata mereka yang belum memahami kemuliaan syari’at Islam.
Umat Islam di berbagai tempat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai cara mereka dalam mengekpresikan rasa cinta kepada manusia teragung sepanjang zaman itu. Berbagai aktivitas kebaikan dilakukan di dalamnya. Melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, memperdengarkan riwayat hidup Nabi yang sarat keteladanan, membaca shalawat bersama, menyampaikan nasihat-nasihat agama untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, hingga menyediakan hidangan makanan untuk memuliakan para tamu dan sebagai ungkapan rasa suka cita bersama dalam mengenang hari yang amat mulia.
Setelah itu, dapatkah kita, para pecinta Maulid, mengambil hikmah sepulangnya dari menghadiri acara tersebut? Apakah kita semua meneladani seluruh perilaku dan tindakan beliau SAW?
Itulah sebabnya para ulama mengatakan, momentum Maulid selayaknya bukan hanya diperingati setiap tahun, tetapi setiap saat, di setiap langkah kehidupan manusia di alam dunia ini. Dengan menghadirkan makna Maulid, sebagai media pengingat, setiap saat di hati pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan selalu terngiang, sebagai kendali kehidupan dalam menapaki jalan kebenaran menuju keridhaan Ilahi.
Oleh sebab itu pula, faedah kedua terbesar dari buah kecintaan pada Rasulullah SAW yang seharusnya dapat dipetik adalah keinginan sekuat tenaga agar kita keluar dari segala nafsu serta segala keangkuhannya. Nafsu adalah perusak segala ketaatan. Seseorang akan menolak kebenaran yang sebenarnya dia ketahui, enggan untuk mendengar nasihat, karena merasa bersih dan berilmu. Semua itu karena nafsu.
Dalam beribadah pun, nafsu ikut menunggangi tanpa diundang. Iman menjadi tidak sempurna. Bahkan, dapat saja ibadah menjadi gugur kalau seseorang menjadikan hawa nafsunya itu sebagai imamnya. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga ia mengalahkan hawa nafsunya, mengikuti ajaran yang aku bawa.”
Ketika rasa cinta kepada Rasulullah SAW benar-benar tumbuh di hati secara tulus, ia akan mengikuti seluruh ajaran yang beliau bawa. Hingga, ia pun berusaha sekuatnya menghindar dari hawa nafsunya. Tidaklah mungkin rasa cinta yang tulus akan terkalahkan oleh hawa nafsunya.
Faedah ketiga bagi mereka yang di hatinya benar-benar tumbuh rasa cinta kepada Rasulullah SAW adalah kesiapan untuk mengorbankan jiwa dan raga, zhahir dan bathin, untuk membela agama yang beliau bawa. Meski hidup kita tak semasa dengan kehidupan beliau, ketidakrelaan pada peremehan hukum-hukum Allah SWT merupakan salah satu bentuk ekpresi rasa cinta kepada Rasulullah SAW.
Demikian pula, perjuangan guru dengan ilmunya, yang kaya dengan hartanya, yang miskin dengan tenaga dan doanya, para pejabat dengan jabatannya, dan seterusnya pada setiap profesi yang dijalani masing-masing, harus berpadu padan dalam berkorban, sebagai ungkapan cinta kepada Rasulullah SAW. Dengan itu semua, barulah hati beliau menjadi senang dan rela. Bukankah mencintai seseorang berarti kesiapan untuk berkorban agar hati orang yang dicintai menjadi senang karenanya?
Terlepas dari itu, yang penting untuk diingat, sesungguhnya umat beliaulah yang lebih butuh untuk mencintai beliau, bukan sebaliknya. Sayyidina Umar bin Khaththab bercerita, “Aku dan beberapa sahabat lain berjalan bersama Rasulullah SAW.
Kemudian beliau memegang tanganku seraya melanjutkan perjalanan.
Saat itu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, demi Allah aku mencintaimu.’
Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya kepadaku, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada anakmu, wahai Umar?’
‘Ya,’ jawabku.
Beliau kembali bertanya, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada keluargamu?’
‘Ya,’ jawabku.
Beliau bertanya lagi, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada hartamu?’
‘Ya,’ jawabku.
Kemudian beliau bertanya, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada dirimu sendiri?’
‘Aku mencintai dirimu dari segala sesuatu kecuali atas diriku,’ jawabku.
Maka beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman seorang di antara kalian hingga diriku lebih kalian cintai dari kecintaan kalian pada diri kalian sendiri.’
Beberapa waktu kemudian aku kembali kepada beliau dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’
Rasulullah mengatakan, ‘Baru sekarang, wahai Umar’.”
Saat diceritakan tentang hal itu, Abdullah bin Umar putranya sempat bertanya, “Ayahku, apa yang telah kau lakukan sehingga kau kembali guna menyatakan hal tersebut?”
Umar menjawab, “Wahai anakku, aku keluar dan bertanya pada diriku sendiri, siapa yang lebih membutuhkan pada hari Kiamat nanti? Aku, ataukah Rasulullah? Aku sadar, aku lebih butuh kepada beliau daripada beliau kepadaku. Aku ingat bagaimana tadinya aku berada dalam kesesatan, kemudian Allah menyelamatkan diriku melaluinya.”
Tak Kenal, maka tak Cinta
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyah menuturkan sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas RA. Rasulullah SAW bersabda, “Semua nabi kelak di hari Kiamat akan didudukkan di mimbar mereka masing-masing yang terbuat dari cahaya. Mereka menduduki mimbar mereka, kecuali aku yang tidak mendudukinya. Aku berdiri di hadapan Allah karena hatiku diliputi perasaan takut, aku akan dibawa ke surga, sementara umatku aku tinggalkan.
Lalu aku berkata kepada Allah, ‘Ya Allah, umatku. Ya Allah, umatku.’
Allah berfirman, ‘Ya Muhammad, apa yang akan Aku lakukan kepada umatmu?’
Aku berkata, ‘Ya Allah, percepatlah hisab umatku’.”
Maka setelah itu umat Nabi Muhammad segera dipanggil untuk dihisab. “Di antara mereka ada yang masuk surga dengan rahmat Allah. Di antara mereka ada juga yang masuk surga karena syafa’atku.”
Beliau melanjutkan, “Aku terus memberikan syafa’atku kepada umatku, sampai-sampai aku diberikan daftar nama umatku yang mereka sudah digiring menuju neraka, hingga Malaikat Malik penjaga pintu neraka berkata kepadaku, ‘Ya Rasulullah. Tampaknya kau tidak akan memberikan (membiarkan) satu pun dari umatmu untuk mendapatkan adzab Allah SWT’.”
Demikianlah sosok manusia teragung yang amat besar kasih sayang dan perhatiannya kepada umat. Kesadaran untuk mencintai diri beliau akan terbangun bila kita mengenal secara mendalam keagungan pribadi beliau dan memahami kemuliaan kedudukan beliau di sisi-Nya. Majelis Maulid Nabi adalah salah satu ajang yang amat baik untuk menumbuhkembangkan kesadaran umat untuk mencintai beliau. Kesadaran itulah yang dahulu kala telah menghiasi hati para sahabat Nabi.
Sebuah kisah diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik RA, “Di tengah-tengah berkecamuknya Perang Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi SAW terbunuh, hingga terdengarlah isak tangis di penjuru kota Madinah.
Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya.
Di tengah-tengah jalan, ia diberi tahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya, dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang.
Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan.
“Siapakah ini?” tanya wanita itu.
“Bapakmu, saudaramu, suamimu, dan anakmu,” jawab orang-orang yang ada di situ.
Wanita itu segera menyahut, “Apa yang terjadi pada diri Rasulullah?”
Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.”
Maka wanita itu bergegas menuju Rasulullah SAW dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tak akan mempedulikan (apa pun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!”
Bicara masalah cinta kepada Nabi, para sahabat adalah contoh terdepan dalam perwujudan cinta kepada beliau SAW. Cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan. Dan para sahabat Rasulullah SAW adalah orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan beliau SAW.
Hal tersebut sebagaimana tergambarkan dalam suatu peristiwa ketika Abu Sufyan bin Harb, sebelum masuk Islam, bertanya kepada sahabat Zaid bin Ad-Datsinah RA, yang tertawan kaum musyrikin dan dikeluarkan penduduk Makkah dari Tanah Haram untuk dibunuh, “Ya Zaid, maukah kalau posisimu sekarang digantikan oleh Muhammad untuk kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?”
Serta merta Zaid menjawab, “Demi Allah! Aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!”
Abu Sufyan pun berkata, “Tak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!”
Karena cinta, membiarkan diri beliau tertusuk sebatang duri pun hati tak rela. Karena itu, seseorang yang rajin menghadiri Maulid Nabi di sana-sini, dan mengaku mencintai beliau, selalu berharap akan syafa’at beliau, dan gemar menyenandungkan pujian kepada beliau, tidaklah pantas menyakiti hati beliau lewat perilaku sehari-hari yang tak terpuji.
Sejarah Berulang
Al-Quran telah merekam sebuah zaman yang sangat gelap. Kebodohan dan kesombongan menjadi kebanggaan. Anak-anak kecil laki-laki yang baru lahir dibunuh begitu saja. Fir’aun, yang pada waktu itu paling berkuasa, mengaku dirinya tuhan. Saat itu, lahirlah seorang bayi bernama Musa. Kelak ia terpilih sebagai nabi yang membawa ajaran kebenaran, membangkitkan kemanusiaan, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan. Selain kisah Musa AS, baik sebelum maupun sesudahnya, kisah-kisah dibangkitkannya seorang nabi memenuhi lembaran-lembaran sejarah di setiap zaman.
Pertengahan abad keenam Masehi, zaman seperti itu muncul kembali. Syaikh An-Nadwi melukiskannya sebagai puncak zaman hancurnya kemanusiaan. Akal, yang Allah berikan kepada mereka, digusur dengan minuman keras, yang sangat merajalela. Manusia pada waktu itu tidak lagi berjalan dengan akalnya, melainkan disetir oleh hawa nafsu kebinatangannya. Yang kuat memeras yang lemah. Wanita tidak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan semata-mata simbol seks dan pemuas hawa nafsu. Aqidah yang dibawa para nabi sebelumnya, lenyap ditelan kebodohan. Mereka tidak lagi menyembah Allah, Pencipta alam semesta, melainkan menyembah patung-patung yang mereka ciptakan sendiri. Buku-buku suci yang dibawa para nabi, mereka gerogoti kewahyuannya.
Jazirah Arab waktu itu benar-benar dalam puncak kegelapan dan kerendahan moral. Sayyid Quthub menggambarkan, kezhaliman pada saat itu menjadi suatu keharusan. Jika tidak berbuat zhalim, pasti dizhalimi. Minuman yang memabukkan bukan hanya kebiasaan, melainkan sebuah kebanggaan. Berganti-ganti pasangan merupakan hal biasa. Wanita hanya dijadikan tempat pelampiasan nafsu bejat kaum lelaki. Kemanusiaan di Jazirah Arab saat itu benar-benar berada pada titik nadir.
Pada zaman itu, seseorang bernama Abrahah tiba-tiba berniat untuk menghancurkan Ka’bah, tempat yang sangat Allah sucikan. Suatu tindakan kebodohan yang demikian jelas. Abrahah benar-benar ingin menghancurkan Rumah Allah itu.
Ia dan pasukan gajahnya sudah berangkat dari Yaman menuju Makkah. Namun Allah Mahatahu akan niat jahat Abrahah. Sebelum mereka mencapai tujuannya, Allah segera mengirimkan burung-burung Ababil, menyebarkan kepada mereka batu-batu api neraka yang menghanguskan.
Pada tahun yang sama dengan peristiwa tersebut, terlahirlah seorang bayi nan mulia bernama Muhammad dari rahim suci seorang ibu bernama Aminah. Hari itu tepatnya tanggal 12 Rabi’ul Awal, tahunnya kemudian dikenal dengan Tahun Gajah.
Muhammad, dialah yang kemudian Allah pilih sebagai rasul pembawa risalah Islam. Kepadanya Allah turunkan Al-Quran sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Setelah melewati berbagai gejolak perjuangan yang banyak menumpahkan darah dan air mata, muncul zaman baru yang sangat mengagumkan bagi bangkitnya kemanusiaan. Manusia yang benar-benar manusia, tunduk kepada Allah, Pencipta segala makhluk. Keadilan benar-benar ditegakkan, dan kezhaliman dihancurkan. Wanita dihargai kemanusiannya, minuman keras dilarang, karena merusak akal dan pikiran. Kejahiliyahan pun diperangi dan dimusnahkan.
Islam adalah agama yang mengatur hidup dan kehidupan manusia. Ajaran-ajarannya menjadi acuan bagi siapa saja, pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk meniti kehidupan yang lebih baik dan harmonis dalam ridha Sang Pencipta. Rambu-rambunya diletakkan untuk dijadikan pedoman perjalanan hidup untuk selamat sampai tujuan.
Jika ada rambu yang dilanggar, akibat buruk akan menimpa pelanggar itu, dan tak jarang juga menimpa orang lainnya. Lihatlah, sebuah kecelakaan di jalan raya, korbannya tidak hanya pelaku pelanggaran, tapi juga menimpa pengguna jalan yang lain.
Demikianlah. Zaman berganti zaman. Tujuh abad setelah masa keemasan Islam, umat manusia kembali diliputi kegelapan. Mereka banyak meninggalkan ajaran-ajaran agama yang telah menyelematkan kaum terdahulu dari kebinasaan. Kerusakan semakin menjadi-jadi. Hingga saat ini.
Potret kehidupan masyarakat zaman modern sekarang kembali penuh dengan proses penghancuran kemanusiaan, mirip dengan zaman Jahiliyah sebelum Nabi SAW dilahirkan.
Minuman keras disahkan, aurat wanita dipertontonkan, kezhaliman merajalela di sana-sini. Yang kuat memeras dan menghancurkan yang lemah. Ajaran Allah tidak dihiraukan, bahkan ditinggalkan. Orang-orang yang mencintai Allah dicemooh dan mendapatkan banyak tentangan, atau minimal banyak yang tidak menghiraukan ajakannya.
Jangan Kalian Lupakan
Dalam konteks seperti inilah Maulid Nabi memiliki peran sentral untuk menyadarkan umat akan nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada mereka, agar mereka dapat membangkitkan semangat untuk kembali menghidupkan sunnah-sunnah nabinya. Al-Qaradhawi mengatakan, “Ketika berbicara tentang peristiwa Maulid, kita sedang mengingatkan umat akan nikmat pemberian yang sangat besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan kenabian. Dan berbicara atau membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syari’at, dan sangat dibutuhkan.
Allah SWT memerintahkan demikian kepada kita dalam banyak firman-Nya. Misalnya, ‘Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikuruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang kamu tidak dapat melihatnya. Dan adalah Allah Maha melihat akan apa yang kamu kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan (penggambaran bagaimana hebatnya perasaan takut dan gentar) dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.’ (QS Al-Ahzab: 9-10).
Allah SWT memerintahkan kita mengingat suatu peperangan, misalnya Perang Khandaq atau Perang Ahzab, di mana kafir Quraisy dan Suku Ghathfan mengepung Rasulullah SAW. Dalam kondisi serba sulit ini, Allah SWT menurunkan bala bantuannya berupa angin kencang dan bantuan malaikat.
Ingatlah peristiwa itu. Ingatlah, jangan kalian lupakan itu semua. Ini jelas menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mengingat nikmat, dan tidak melupakannya. Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, ‘Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya, dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.’ (QS Al-Anfal: 30).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ telah besepakat untuk mengkhianati Rasulullah SAW. Di Madinah, mereka membuat makar atau siasat, namun makar Allah SWT lebih kuat dan lebih cepat dari mereka. Allah SWT sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya, ‘…Allah sebaik-baik pembuat makar’.”
Lewat nada bertanya Al-Qaradhawi menegaskan, perayaan Maulid Nabi bukan sesuatu yang bid’ah, bahkan dianjurkan. Katanya, “Peringatan Maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah SAW, mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah tegaskan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ketika acara Maulid seperti demikian, atas alasan apa Maulid Nabi masih disebut bid’ah?”
Fatwa Al-Qaradhawi tersebut dikeluarkannya untuk menjawab sejumlah pertanyaan umat Islam, antara lain, “Apa hukum merayakan Maulid Nabi SAW dan perayaan Islam lainnya, seperti perayaan tahun baru Hijriyah, Isra Mi’raj, dan lainnya?”
Di antara jawaban Al-Qaradhawi lainnya, “Termasuk hak kami adalah mengingat sirah perjalanan Rasulullah SAW dalam ragam peringatan. Ini bukan peringatan yang bid’ah. Karena kita mengingatkan manusia dengan sirah Nabawiyah, yang mengikatkan mereka dengan misi Muhammad SAW. Ini adalah kenikmatan luar biasa. Adalah dahulu para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – kerap mengingat Rasulullah SAW di berbagai kesempatan.”
Di antara contohnya, Al-Qaradhawi menyebutkan, perkataan seorang sahabat, Sa’d bin Abi Waqash RA, “Kami selalu mengingatkan anak-anak kami dengan peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW sebagaimana kami menjadikan mereka menghafal satu surah dalam Al-Quran.” Ungkapan ini, menurut Dr. Qaradhawi, menjelaskan bahwa para sahabat kerap menceritakan apa yang terjadi dalam Perang Badar, Uhud, dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat Perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan.
Persatuan Umat
Persatuan umat dianggap sejajar dengan inti tegaknya agama, yaitu taqwa dan penghambaan. “Sesungguhnya umat kalian ini adalah satu umat dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya’: 92). Persatuan umat adalah jalan menuju kemenangan, “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS Al-Fath: 26).
Guna mewujudkan persatuan umat, yang diperlukan adalah adanya tekad kolektif dan kesabaran, “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah bantuan melalui kesabaran dan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang penyabar.” (QS Al-Baqarah: 153). “Bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar.” (QS Ar-Rum: 60).
Melihat persatuan umat, musuh-musuh Islam merasa tersiksa. Loyalitas sahabat kepada Nabi SAW yang diwariskan kepada tabi’in serta ulama dan para pencinta beliau sangat meresahkan mereka. Maka mulailah mereka merancang untuk menjauhkan mereka dari Rasullah SAW dan ajarannya.
Dengan segala upaya yang bisa dirasakan, langkah itu sangat kuat aromanya, dengan munculnya perilaku yang tidak santun dan ekstrem dalam berpendapat tanpa mau mendengar hujah dan argumentasi orang lain. Pengkafiran, pensyirikan, pembid’ahan adalah syiarnya.
Mungkin dapat dimaklumi ketika itu hanya sebatas pembahasan dan kajian. Tapi kondisinya kini sudah mulai menjurus pada tindakan untuk membunuh saudara-saudaranya sendiri yang seiman. Kuman perpecahan ini sudah tampak nyata menyebar di Pakistan dan Irak. Mereka memecah belah umat dengan kebodohan orang-orang yang semangatnya membela agama tanpa didasari ilmu dan akhlaq yang mencukupi. Hingga, bukan pahala yang mereka dapatkan atau kejayaan agama, melainkan tepuk tangan musuh-musuh Islam.
Ditemukannya bom rakitan di Masjid Agung Cirebon pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tempo hari, yang alhamdulillah tidak sampai meledak berkat perlindungan Allah SWT, menjadi bukti: umat Islam di Indonesia pun berada dalam bahaya perpecahan, adu domba antar-sesama muslimin, menebarnya benih permusuhan sesama saudara seiman. Dampaknya tentu sangat merugikan umat secara keseluruhan.
Apabila umat ini rukun dan bersatu, tentu Nabi akan senang dan Allah pun akan ridha. Kalau umat bermusuhan, kekuatan pun akan hilang, musuh-musuh Islam kembali menari kegirangan. Umat Islam harus memilih: keridhaan Allah dan Rasul-Nya, atau kegembiraan musuh-mush Allah, yang akan senang dengan perpecahan umat.
Memuliakan Majelis Maulid
Memperingati hari lahirnya manusia mulia yang dimuliakan oleh Dzat Yang Mahamulia adalah bentuk ungkapan rasa cinta yang mendalam dari lubuk hati para pencinta Nabi. Syiar kecintaan ini menjadikan orang yang lalai dapat mengingat, mengenang, serta meneladani kembali akhlaq Rasulullah SAW.
Namun yang perlu diingat, dalam memperingatinya, hendaknya tetap tidak keluar dari bimbingan para ulama. Dengan demikian, amal baik yang dilakukan tidak terkontaminasi oleh ketidaktahuan cara pengungkapan rasa cinta itu sendiri.
Sebagaimana dituturkan Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq, pengasuh Ponpes Al-Khairat Bekasi, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam peringatan Maulid Nabi SAW adalah seperti terjadinya ikhtilath, yaitu perbauran antara laki-laki dan perempuan dalam satu majelis. Banyak ditemui adanya wanita yang melantunkan bacaan Al-Quran atau membaca saritilawah di tengah kerumunan pria. “Ini dilarang agama,” katanya tegas.
Selain itu, para penceramah di majelis Maulid hendaknya juga tidak membawakan hadits-hadits maudhu’ (palsu) sebagai dalil yang mendukung Maulid Nabi. “Hal itu dapat menjadi celah bagi para pembenci Maulid untuk menentang kegiatan peringatan Maulid Nabi. Rasulullah sendiri bersabda, ‘Barang siapa berbohong atasku (memalsukan haditsku), persiapkanlah tempatnya di neraka.’ Kita tidak butuh hadits-hadits itu sebagai hujjah penguat bagi Maulid. Banyak ayat dan hadits shahih sebagai dalil yang benar terkait bolehnya perayaan Maulid,” katanya lagi.
Selain itu ia juga mengingatkan agar majelis Maulid tidak larut dalam gelak tawa yang tak terkontrol atau dengan bahasa yang tak layak diungkapkan di majelis yang mulia tersebut. Nabi sendiri melarang hal-hal tersebut. Hendaknya, pembicaraan pun tak keluar dari tema mahabbah kepada Nabi, rahmat, keteladanan, dan segala yang terkait pada kesempurnaan akhlaq beliau, serta penjelasan kepada orang awam tentang dalil peringatan Maulid, agar mereka memahami dengan jelas apa yang mereka lakukan. Inilah yang dilakukan para salaf, seperti dapat dibaca dari ceramah-ceramah Habib Ali Al-Habsyi, penyusun kitab Maulid Shimtud Durar, dan yang lainnya.
Yang terakhir, “Jauhkan acara ini dari kepentingan-kepentingan sesaat, seperti untuk kepentingan partai dan kelompok-kelompok yang bertujuan menggalang massa dengan membeli dan membodohi para ulama yang mempunyai pengikut banyak dengan harga yang murah. Berapa pun uang itu sangatlah tidak sebanding dengan kesucian acara itu sendiri,” kata Ustadz Muhammad.
Semoga dengan kejujuran dan ketulusan dalam mencintai sang kekasih Allah ini, kita bisa menerima dengan lapang dada segala nasihat dari mana pun datangnya. Cinta yang tulus akan terbukti dengan keteladanan, bukan dengan hawa nafsu, apalagi sekadar menjalankan tradisi semata. Maulid Nabi harus menjadi mata air pelajaran yang jernih bagi umat dalam mengenal sosok Nabi Muhamammad SAW. Agar kemudian umat mendapatkan keberkahannya, meraih cintanya, meneladani akhlaqnya, hingga akhirnya kelak beroleh syafa’atul ‘uzhma, syafa’at teragung.
Allah SWT telah memberikan berbagai kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya. Puncak kenikmatan yang dirasakan adalah ketika umat manusia di akhir zaman terpilih sebagai umat Muhammad SAW, pembawa peringatan dan kabar gembira. Beliau mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, membuka mata yang buta dan telinga yang tuli, serta menggugah hati yang lalai.
Ya, karunia terbesar yang telah Allah berikan kepada umat manusia, bahkan bagi alam semesta, adalah diutusnya nabi yang merupakan makhluk termulia dari seluruh makhluk ciptaan-Nya itu. Beliau memperhatikan nasib umatnya, bukan hanya di dunia, tapi juga sampai di akhirat kelak.
Karunia tersebut tak ternilai harganya. Syari’at yang dibawa Nabi telah mengangkat harkat kaum wanita dari sejarah kelam umat manusia yang selama berabad-abad telah menghinakan mereka. Lewat syari’at yang dibawanya pula, derajat seorang ibu di hadapan anaknya diletakkan dalam kedudukan yang amat mulia. Anak-anak yatim menempati kelas terhormat sebagai kesayangan beliau, sedangkan yang menyayangi mereka kelak akan mendampingi beliau di surga. Para budak pun berangsur-angsur terbebaskan dari cengkeraman kezhaliman yang telah lama mendera.
Tak terhitung banyaknya manusia yang terangkat derajatnya berkat kehadiran dan kedudukan beliau di sisi Rabb-nya. Ya, beliau memang seorang manusia tapi tidak seperti manusia kebanyakan. Beliau manusia istimewa.
Kehadiran manusia istimewa ini di alam dunia tentunya berawal dari saat kelahirannya. Kelahirannya itu populer dengan sebutan “Maulid Nabi”.
Media Pengingat Umat
Bila kepergian manusia biasa beroleh penghormatan sedemikian rupa, misalnya di beberapa event hari besar nasional lewat seremoni mengheningkan cipta untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah merebut atau mempertahankan kemerdekaan negara, apakah kehadiran manusia agung pilihan Allah SWT yang senantiasa berupaya melindungi umatnya sejak di dunia hingga akhirat kelak tidak lebih utama untuk dihormati? Wajar saja bila para pecinta Nabi memperingati hari kelahiran beliau, sebagai salah satu bentuk ekspresi cinta dan penghormatan yang mereka berikan.
Di samping itu, agar tak lupa, manusia memang harus banyak diingatkan. Sebab, manusia adalah tempatnya khilaf dan alpa. Apatah lagi, seiring berjalannya waktu, semakin jauh pula jarak kehidupan Nabi dengan umatnya. Namun demikian, jarak waktu antara generasi sekarang dan generasi beliau bukanlah halangan dalam mengenal pribadi nan sempurna itu. Sebab, segala ucapan dan tindakannya dikenang dan diamati oleh orang-orang yang hidup pada masanya dan disampaikan dari generasi ke generasi. Di kemudian hari ucapan dan tindakan beliau dibukukan menjadi kumpulan hadits. Tak dapat disangkal, tak ada manusia yang pernah mendapat perhatian dan dikenang seperti itu sepanjang umur dunia.
Diadakannya sebuah peringatan adalah salah satu cara untuk mengatasi kelupaan. Dalam kaitan ini, peringatan Maulid Nabi dapat menjadi media pengingat umat Islam agar senantiasa mencintai beliau, menaati syari’at yang dibawanya, dan meneladani akhlaq terpuji yang menghiasi dirinya sehari-hari. Hal-hal tersebut selalu dan harus selalu menjadi tema utama setiap majelis peringatan Maulid Nabi.
Karena itulah, dalam pendapatnya yang disiarkan secara luas melalui media online pribadinya, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, ulama besar dunia zaman sekarang yang kini menjabat ketua Persatuan Ulama Internasional, membolehkan perayaan Maulid Nabi sekaligus menyanggah anggapan bahwa merayakan Maulid Nabi SAW masuk dalam kategori bid’ah.
Perayaan seperti itu dibolehkan, guna mengingat kembali sirah perjuangan Rasulullah SAW, kepribadian beliau yang agung, dan misi yang dibawa beliau kepada alam semesta. Dalam fatwanya, Al-Qaradhawi melandaskan pendapatnya dengan mengatakan bahwa memperingati kelahiran Rasulullah SAW adalah mengingatkan umat Islam terhadap nikmat luar biasa kepada mereka. “Mengingat nikmat Allah adalah sesuatu yang disyari’atkan, terpuji, dan memang diperintahkan. Allah SWT memerintahkan kita untuk mengingat nikmat Allah SWT,” ujarnya.
Suka Cita Umat Rasulullah
Sejak dulu, Maulid Nabi memang selalu dikenang dengan beragam cara. Bahkan pada saat detik-detik Maulid Nabi sendiri, Allah SWT Yang Maha Berkehendaklah yang telah mengisyaratkan momentum tersebut sebagai momentum yang begitu bernilai dan layak dimuliakan.
Saat beliau dilahirkan, singgasana Raja Kisra terjungkal. Di belahan bumi lainnya, api abadi sesembahan kaum Persia yang selama ribuan tahun tak pernah redup, tiba-tiba mati begitu saja. Di kemudian hari, bahkan Rasulullah SAW sendiri memperingati Maulid-nya, dengan berpuasa di hari Senin, hari saat beliau dilahirkan.
Saat mengomentari berbagai peristiwa di atas yang dikaitkan dengan kelahiran Rasulullah SAW, Al-Qaradhawi mengatakan, karenanya, semangat memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada dasarnya adalah semangat dalam menyambut kehadiran Islam itu sendiri.
Benar yang dikatakannya, sebab singgasana raja Kisra dan api sesembahan Persia adalah simbol-simbol kebathilan yang akan disingkirkan oleh cahaya hidayah yang memancar dari ajaran syari’at yang dibawa Rasulullah SAW.
Maka, dari waktu ke waktu, dengan cara-cara baik dan berbeda-beda, setidaknya sekali dalam setahun, umat Islam pun mengenang dan memperingati Maulid Nabi sebagai momentum yang amat istimewa. Bahkan disebutkan, momentum hari kelahiran beliau merupakan hari raya terbesar umat Islam, melebihi kebesaran hari-hari raya Islam lainnya. Sebab, tanpa hari Maulid Nabi, bagaimana mungkin ada ‘Idul Adha maupun ‘Idul Fithri.
Hari istimewa itu memang selalu mendapat tempat istimewa di hati umat Islam. Mereka senantiasa mengenang dan merayakannya dengan penuh suka cita.
Kehadiran beliau merupakan hadiah terindah. Sehingga, merugilah setiap orang yang tidak berupaya mengambil hadiah itu. Sedangkan Rasulullah SAW sendiri mengatakan, “Aku adalah rahmat Allah yang dihadiahkan untuk kalian.”
Dari sini jelaslah, segenap upaya yang dikerahkan dalam memperingati Maulid Nabi SAW merupakan usaha untuk meraih hikmah dari kenikmatan besar yang telah Allah SWT berikan. Dari sini pula muncullah kecintaan dan ketaatan di hati kepada beliau sebagai tanda keimanan. Mengimaninya adalah tameng keselamatan dari kebingungan di dunia dan akhirat. Sementara, berpaling dari ajarannya adalah kegelapan tak berujung yang menimbulkan kesengsaraan dan kehinaan selamanya.
Buah Cinta yang Harus Dipetik
Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW akan membuahkan hasil dan faedah yang amat banyak. Yang terbesar dari faedah yang akan didapat terdapat pada tiga hal.
Pertama, ketaatan dan peneladanan, serta cermat saat melaksanakannya. Tidak jarang orang yang akan menaati perintahnya justru terjerumus masuk dalam dosa karena tidak cermat memahami maksud perintah itu.
Contoh kecil, taat pada suami dan orangtua adalah wajib, tetapi akan menjadi dosa ketika perintahnya berisi agar istri atau putrinya menanggalkan jilbab. Saling menasihati adalah perintah agama, tapi jika nasihat itu tidak diucapkan dengan santun, bukan pahala yang diterima, melainkan justru dosa yang tanpa disadari akan didapat. Hal-hal seperti ini tidak akan terjadi kalau kecintaan kepada Nabi SAW tumbuh secara tulus, memahami agama ini dengan bimbingan para ulama, dan selalu mengevaluasi diri atas tindak-tanduk sikap dan ucapan yang dilakukan setiap saat.
Seperti telah disebutkan, merayakan kelahiran Muhammad SAW memang merupakan amaliyah mulia dan bermanfaat sebagai media pengingat bagi umat. Tapi dalam beramal, termasuk mengadakan acara-acara keagamaan, tidaklah cukup bila hanya didasarkan niat baik. Bila karena penyelenggaraannya menyebabkan kepentingan umum terabaikan, kesan negatif terhadap Islam dan umatnya dapat saja muncul. Karenanya, seperangkat syarat berdakwah memang harus diperhatikan dan terpenuhi. Bila tidak, dakwah bukan hanya menjadi tidak efektif, malah dikhawatirkan menjadi modus yang tanpa disadari mencemarkan nama baik ajaran Rasulullah SAW itu sendiri, terutama di mata mereka yang belum memahami kemuliaan syari’at Islam.
Umat Islam di berbagai tempat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai cara mereka dalam mengekpresikan rasa cinta kepada manusia teragung sepanjang zaman itu. Berbagai aktivitas kebaikan dilakukan di dalamnya. Melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, memperdengarkan riwayat hidup Nabi yang sarat keteladanan, membaca shalawat bersama, menyampaikan nasihat-nasihat agama untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, hingga menyediakan hidangan makanan untuk memuliakan para tamu dan sebagai ungkapan rasa suka cita bersama dalam mengenang hari yang amat mulia.
Setelah itu, dapatkah kita, para pecinta Maulid, mengambil hikmah sepulangnya dari menghadiri acara tersebut? Apakah kita semua meneladani seluruh perilaku dan tindakan beliau SAW?
Itulah sebabnya para ulama mengatakan, momentum Maulid selayaknya bukan hanya diperingati setiap tahun, tetapi setiap saat, di setiap langkah kehidupan manusia di alam dunia ini. Dengan menghadirkan makna Maulid, sebagai media pengingat, setiap saat di hati pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan selalu terngiang, sebagai kendali kehidupan dalam menapaki jalan kebenaran menuju keridhaan Ilahi.
Oleh sebab itu pula, faedah kedua terbesar dari buah kecintaan pada Rasulullah SAW yang seharusnya dapat dipetik adalah keinginan sekuat tenaga agar kita keluar dari segala nafsu serta segala keangkuhannya. Nafsu adalah perusak segala ketaatan. Seseorang akan menolak kebenaran yang sebenarnya dia ketahui, enggan untuk mendengar nasihat, karena merasa bersih dan berilmu. Semua itu karena nafsu.
Dalam beribadah pun, nafsu ikut menunggangi tanpa diundang. Iman menjadi tidak sempurna. Bahkan, dapat saja ibadah menjadi gugur kalau seseorang menjadikan hawa nafsunya itu sebagai imamnya. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga ia mengalahkan hawa nafsunya, mengikuti ajaran yang aku bawa.”
Ketika rasa cinta kepada Rasulullah SAW benar-benar tumbuh di hati secara tulus, ia akan mengikuti seluruh ajaran yang beliau bawa. Hingga, ia pun berusaha sekuatnya menghindar dari hawa nafsunya. Tidaklah mungkin rasa cinta yang tulus akan terkalahkan oleh hawa nafsunya.
Faedah ketiga bagi mereka yang di hatinya benar-benar tumbuh rasa cinta kepada Rasulullah SAW adalah kesiapan untuk mengorbankan jiwa dan raga, zhahir dan bathin, untuk membela agama yang beliau bawa. Meski hidup kita tak semasa dengan kehidupan beliau, ketidakrelaan pada peremehan hukum-hukum Allah SWT merupakan salah satu bentuk ekpresi rasa cinta kepada Rasulullah SAW.
Demikian pula, perjuangan guru dengan ilmunya, yang kaya dengan hartanya, yang miskin dengan tenaga dan doanya, para pejabat dengan jabatannya, dan seterusnya pada setiap profesi yang dijalani masing-masing, harus berpadu padan dalam berkorban, sebagai ungkapan cinta kepada Rasulullah SAW. Dengan itu semua, barulah hati beliau menjadi senang dan rela. Bukankah mencintai seseorang berarti kesiapan untuk berkorban agar hati orang yang dicintai menjadi senang karenanya?
Terlepas dari itu, yang penting untuk diingat, sesungguhnya umat beliaulah yang lebih butuh untuk mencintai beliau, bukan sebaliknya. Sayyidina Umar bin Khaththab bercerita, “Aku dan beberapa sahabat lain berjalan bersama Rasulullah SAW.
Kemudian beliau memegang tanganku seraya melanjutkan perjalanan.
Saat itu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, demi Allah aku mencintaimu.’
Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya kepadaku, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada anakmu, wahai Umar?’
‘Ya,’ jawabku.
Beliau kembali bertanya, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada keluargamu?’
‘Ya,’ jawabku.
Beliau bertanya lagi, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada hartamu?’
‘Ya,’ jawabku.
Kemudian beliau bertanya, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada dirimu sendiri?’
‘Aku mencintai dirimu dari segala sesuatu kecuali atas diriku,’ jawabku.
Maka beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman seorang di antara kalian hingga diriku lebih kalian cintai dari kecintaan kalian pada diri kalian sendiri.’
Beberapa waktu kemudian aku kembali kepada beliau dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’
Rasulullah mengatakan, ‘Baru sekarang, wahai Umar’.”
Saat diceritakan tentang hal itu, Abdullah bin Umar putranya sempat bertanya, “Ayahku, apa yang telah kau lakukan sehingga kau kembali guna menyatakan hal tersebut?”
Umar menjawab, “Wahai anakku, aku keluar dan bertanya pada diriku sendiri, siapa yang lebih membutuhkan pada hari Kiamat nanti? Aku, ataukah Rasulullah? Aku sadar, aku lebih butuh kepada beliau daripada beliau kepadaku. Aku ingat bagaimana tadinya aku berada dalam kesesatan, kemudian Allah menyelamatkan diriku melaluinya.”
Tak Kenal, maka tak Cinta
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyah menuturkan sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas RA. Rasulullah SAW bersabda, “Semua nabi kelak di hari Kiamat akan didudukkan di mimbar mereka masing-masing yang terbuat dari cahaya. Mereka menduduki mimbar mereka, kecuali aku yang tidak mendudukinya. Aku berdiri di hadapan Allah karena hatiku diliputi perasaan takut, aku akan dibawa ke surga, sementara umatku aku tinggalkan.
Lalu aku berkata kepada Allah, ‘Ya Allah, umatku. Ya Allah, umatku.’
Allah berfirman, ‘Ya Muhammad, apa yang akan Aku lakukan kepada umatmu?’
Aku berkata, ‘Ya Allah, percepatlah hisab umatku’.”
Maka setelah itu umat Nabi Muhammad segera dipanggil untuk dihisab. “Di antara mereka ada yang masuk surga dengan rahmat Allah. Di antara mereka ada juga yang masuk surga karena syafa’atku.”
Beliau melanjutkan, “Aku terus memberikan syafa’atku kepada umatku, sampai-sampai aku diberikan daftar nama umatku yang mereka sudah digiring menuju neraka, hingga Malaikat Malik penjaga pintu neraka berkata kepadaku, ‘Ya Rasulullah. Tampaknya kau tidak akan memberikan (membiarkan) satu pun dari umatmu untuk mendapatkan adzab Allah SWT’.”
Demikianlah sosok manusia teragung yang amat besar kasih sayang dan perhatiannya kepada umat. Kesadaran untuk mencintai diri beliau akan terbangun bila kita mengenal secara mendalam keagungan pribadi beliau dan memahami kemuliaan kedudukan beliau di sisi-Nya. Majelis Maulid Nabi adalah salah satu ajang yang amat baik untuk menumbuhkembangkan kesadaran umat untuk mencintai beliau. Kesadaran itulah yang dahulu kala telah menghiasi hati para sahabat Nabi.
Sebuah kisah diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik RA, “Di tengah-tengah berkecamuknya Perang Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi SAW terbunuh, hingga terdengarlah isak tangis di penjuru kota Madinah.
Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya.
Di tengah-tengah jalan, ia diberi tahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya, dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang.
Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan.
“Siapakah ini?” tanya wanita itu.
“Bapakmu, saudaramu, suamimu, dan anakmu,” jawab orang-orang yang ada di situ.
Wanita itu segera menyahut, “Apa yang terjadi pada diri Rasulullah?”
Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.”
Maka wanita itu bergegas menuju Rasulullah SAW dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tak akan mempedulikan (apa pun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!”
Bicara masalah cinta kepada Nabi, para sahabat adalah contoh terdepan dalam perwujudan cinta kepada beliau SAW. Cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan. Dan para sahabat Rasulullah SAW adalah orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan beliau SAW.
Hal tersebut sebagaimana tergambarkan dalam suatu peristiwa ketika Abu Sufyan bin Harb, sebelum masuk Islam, bertanya kepada sahabat Zaid bin Ad-Datsinah RA, yang tertawan kaum musyrikin dan dikeluarkan penduduk Makkah dari Tanah Haram untuk dibunuh, “Ya Zaid, maukah kalau posisimu sekarang digantikan oleh Muhammad untuk kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?”
Serta merta Zaid menjawab, “Demi Allah! Aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!”
Abu Sufyan pun berkata, “Tak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!”
Karena cinta, membiarkan diri beliau tertusuk sebatang duri pun hati tak rela. Karena itu, seseorang yang rajin menghadiri Maulid Nabi di sana-sini, dan mengaku mencintai beliau, selalu berharap akan syafa’at beliau, dan gemar menyenandungkan pujian kepada beliau, tidaklah pantas menyakiti hati beliau lewat perilaku sehari-hari yang tak terpuji.
Sejarah Berulang
Al-Quran telah merekam sebuah zaman yang sangat gelap. Kebodohan dan kesombongan menjadi kebanggaan. Anak-anak kecil laki-laki yang baru lahir dibunuh begitu saja. Fir’aun, yang pada waktu itu paling berkuasa, mengaku dirinya tuhan. Saat itu, lahirlah seorang bayi bernama Musa. Kelak ia terpilih sebagai nabi yang membawa ajaran kebenaran, membangkitkan kemanusiaan, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan. Selain kisah Musa AS, baik sebelum maupun sesudahnya, kisah-kisah dibangkitkannya seorang nabi memenuhi lembaran-lembaran sejarah di setiap zaman.
Pertengahan abad keenam Masehi, zaman seperti itu muncul kembali. Syaikh An-Nadwi melukiskannya sebagai puncak zaman hancurnya kemanusiaan. Akal, yang Allah berikan kepada mereka, digusur dengan minuman keras, yang sangat merajalela. Manusia pada waktu itu tidak lagi berjalan dengan akalnya, melainkan disetir oleh hawa nafsu kebinatangannya. Yang kuat memeras yang lemah. Wanita tidak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan semata-mata simbol seks dan pemuas hawa nafsu. Aqidah yang dibawa para nabi sebelumnya, lenyap ditelan kebodohan. Mereka tidak lagi menyembah Allah, Pencipta alam semesta, melainkan menyembah patung-patung yang mereka ciptakan sendiri. Buku-buku suci yang dibawa para nabi, mereka gerogoti kewahyuannya.
Jazirah Arab waktu itu benar-benar dalam puncak kegelapan dan kerendahan moral. Sayyid Quthub menggambarkan, kezhaliman pada saat itu menjadi suatu keharusan. Jika tidak berbuat zhalim, pasti dizhalimi. Minuman yang memabukkan bukan hanya kebiasaan, melainkan sebuah kebanggaan. Berganti-ganti pasangan merupakan hal biasa. Wanita hanya dijadikan tempat pelampiasan nafsu bejat kaum lelaki. Kemanusiaan di Jazirah Arab saat itu benar-benar berada pada titik nadir.
Pada zaman itu, seseorang bernama Abrahah tiba-tiba berniat untuk menghancurkan Ka’bah, tempat yang sangat Allah sucikan. Suatu tindakan kebodohan yang demikian jelas. Abrahah benar-benar ingin menghancurkan Rumah Allah itu.
Ia dan pasukan gajahnya sudah berangkat dari Yaman menuju Makkah. Namun Allah Mahatahu akan niat jahat Abrahah. Sebelum mereka mencapai tujuannya, Allah segera mengirimkan burung-burung Ababil, menyebarkan kepada mereka batu-batu api neraka yang menghanguskan.
Pada tahun yang sama dengan peristiwa tersebut, terlahirlah seorang bayi nan mulia bernama Muhammad dari rahim suci seorang ibu bernama Aminah. Hari itu tepatnya tanggal 12 Rabi’ul Awal, tahunnya kemudian dikenal dengan Tahun Gajah.
Muhammad, dialah yang kemudian Allah pilih sebagai rasul pembawa risalah Islam. Kepadanya Allah turunkan Al-Quran sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Setelah melewati berbagai gejolak perjuangan yang banyak menumpahkan darah dan air mata, muncul zaman baru yang sangat mengagumkan bagi bangkitnya kemanusiaan. Manusia yang benar-benar manusia, tunduk kepada Allah, Pencipta segala makhluk. Keadilan benar-benar ditegakkan, dan kezhaliman dihancurkan. Wanita dihargai kemanusiannya, minuman keras dilarang, karena merusak akal dan pikiran. Kejahiliyahan pun diperangi dan dimusnahkan.
Islam adalah agama yang mengatur hidup dan kehidupan manusia. Ajaran-ajarannya menjadi acuan bagi siapa saja, pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk meniti kehidupan yang lebih baik dan harmonis dalam ridha Sang Pencipta. Rambu-rambunya diletakkan untuk dijadikan pedoman perjalanan hidup untuk selamat sampai tujuan.
Jika ada rambu yang dilanggar, akibat buruk akan menimpa pelanggar itu, dan tak jarang juga menimpa orang lainnya. Lihatlah, sebuah kecelakaan di jalan raya, korbannya tidak hanya pelaku pelanggaran, tapi juga menimpa pengguna jalan yang lain.
Demikianlah. Zaman berganti zaman. Tujuh abad setelah masa keemasan Islam, umat manusia kembali diliputi kegelapan. Mereka banyak meninggalkan ajaran-ajaran agama yang telah menyelematkan kaum terdahulu dari kebinasaan. Kerusakan semakin menjadi-jadi. Hingga saat ini.
Potret kehidupan masyarakat zaman modern sekarang kembali penuh dengan proses penghancuran kemanusiaan, mirip dengan zaman Jahiliyah sebelum Nabi SAW dilahirkan.
Minuman keras disahkan, aurat wanita dipertontonkan, kezhaliman merajalela di sana-sini. Yang kuat memeras dan menghancurkan yang lemah. Ajaran Allah tidak dihiraukan, bahkan ditinggalkan. Orang-orang yang mencintai Allah dicemooh dan mendapatkan banyak tentangan, atau minimal banyak yang tidak menghiraukan ajakannya.
Jangan Kalian Lupakan
Dalam konteks seperti inilah Maulid Nabi memiliki peran sentral untuk menyadarkan umat akan nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada mereka, agar mereka dapat membangkitkan semangat untuk kembali menghidupkan sunnah-sunnah nabinya. Al-Qaradhawi mengatakan, “Ketika berbicara tentang peristiwa Maulid, kita sedang mengingatkan umat akan nikmat pemberian yang sangat besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan kenabian. Dan berbicara atau membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syari’at, dan sangat dibutuhkan.
Allah SWT memerintahkan demikian kepada kita dalam banyak firman-Nya. Misalnya, ‘Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikuruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang kamu tidak dapat melihatnya. Dan adalah Allah Maha melihat akan apa yang kamu kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan (penggambaran bagaimana hebatnya perasaan takut dan gentar) dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.’ (QS Al-Ahzab: 9-10).
Allah SWT memerintahkan kita mengingat suatu peperangan, misalnya Perang Khandaq atau Perang Ahzab, di mana kafir Quraisy dan Suku Ghathfan mengepung Rasulullah SAW. Dalam kondisi serba sulit ini, Allah SWT menurunkan bala bantuannya berupa angin kencang dan bantuan malaikat.
Ingatlah peristiwa itu. Ingatlah, jangan kalian lupakan itu semua. Ini jelas menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mengingat nikmat, dan tidak melupakannya. Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, ‘Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya, dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.’ (QS Al-Anfal: 30).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ telah besepakat untuk mengkhianati Rasulullah SAW. Di Madinah, mereka membuat makar atau siasat, namun makar Allah SWT lebih kuat dan lebih cepat dari mereka. Allah SWT sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya, ‘…Allah sebaik-baik pembuat makar’.”
Lewat nada bertanya Al-Qaradhawi menegaskan, perayaan Maulid Nabi bukan sesuatu yang bid’ah, bahkan dianjurkan. Katanya, “Peringatan Maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah SAW, mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah tegaskan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ketika acara Maulid seperti demikian, atas alasan apa Maulid Nabi masih disebut bid’ah?”
Fatwa Al-Qaradhawi tersebut dikeluarkannya untuk menjawab sejumlah pertanyaan umat Islam, antara lain, “Apa hukum merayakan Maulid Nabi SAW dan perayaan Islam lainnya, seperti perayaan tahun baru Hijriyah, Isra Mi’raj, dan lainnya?”
Di antara jawaban Al-Qaradhawi lainnya, “Termasuk hak kami adalah mengingat sirah perjalanan Rasulullah SAW dalam ragam peringatan. Ini bukan peringatan yang bid’ah. Karena kita mengingatkan manusia dengan sirah Nabawiyah, yang mengikatkan mereka dengan misi Muhammad SAW. Ini adalah kenikmatan luar biasa. Adalah dahulu para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – kerap mengingat Rasulullah SAW di berbagai kesempatan.”
Di antara contohnya, Al-Qaradhawi menyebutkan, perkataan seorang sahabat, Sa’d bin Abi Waqash RA, “Kami selalu mengingatkan anak-anak kami dengan peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW sebagaimana kami menjadikan mereka menghafal satu surah dalam Al-Quran.” Ungkapan ini, menurut Dr. Qaradhawi, menjelaskan bahwa para sahabat kerap menceritakan apa yang terjadi dalam Perang Badar, Uhud, dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat Perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan.
Persatuan Umat
Persatuan umat dianggap sejajar dengan inti tegaknya agama, yaitu taqwa dan penghambaan. “Sesungguhnya umat kalian ini adalah satu umat dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya’: 92). Persatuan umat adalah jalan menuju kemenangan, “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS Al-Fath: 26).
Guna mewujudkan persatuan umat, yang diperlukan adalah adanya tekad kolektif dan kesabaran, “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah bantuan melalui kesabaran dan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang penyabar.” (QS Al-Baqarah: 153). “Bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar.” (QS Ar-Rum: 60).
Melihat persatuan umat, musuh-musuh Islam merasa tersiksa. Loyalitas sahabat kepada Nabi SAW yang diwariskan kepada tabi’in serta ulama dan para pencinta beliau sangat meresahkan mereka. Maka mulailah mereka merancang untuk menjauhkan mereka dari Rasullah SAW dan ajarannya.
Dengan segala upaya yang bisa dirasakan, langkah itu sangat kuat aromanya, dengan munculnya perilaku yang tidak santun dan ekstrem dalam berpendapat tanpa mau mendengar hujah dan argumentasi orang lain. Pengkafiran, pensyirikan, pembid’ahan adalah syiarnya.
Mungkin dapat dimaklumi ketika itu hanya sebatas pembahasan dan kajian. Tapi kondisinya kini sudah mulai menjurus pada tindakan untuk membunuh saudara-saudaranya sendiri yang seiman. Kuman perpecahan ini sudah tampak nyata menyebar di Pakistan dan Irak. Mereka memecah belah umat dengan kebodohan orang-orang yang semangatnya membela agama tanpa didasari ilmu dan akhlaq yang mencukupi. Hingga, bukan pahala yang mereka dapatkan atau kejayaan agama, melainkan tepuk tangan musuh-musuh Islam.
Ditemukannya bom rakitan di Masjid Agung Cirebon pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tempo hari, yang alhamdulillah tidak sampai meledak berkat perlindungan Allah SWT, menjadi bukti: umat Islam di Indonesia pun berada dalam bahaya perpecahan, adu domba antar-sesama muslimin, menebarnya benih permusuhan sesama saudara seiman. Dampaknya tentu sangat merugikan umat secara keseluruhan.
Apabila umat ini rukun dan bersatu, tentu Nabi akan senang dan Allah pun akan ridha. Kalau umat bermusuhan, kekuatan pun akan hilang, musuh-musuh Islam kembali menari kegirangan. Umat Islam harus memilih: keridhaan Allah dan Rasul-Nya, atau kegembiraan musuh-mush Allah, yang akan senang dengan perpecahan umat.
Memuliakan Majelis Maulid
Memperingati hari lahirnya manusia mulia yang dimuliakan oleh Dzat Yang Mahamulia adalah bentuk ungkapan rasa cinta yang mendalam dari lubuk hati para pencinta Nabi. Syiar kecintaan ini menjadikan orang yang lalai dapat mengingat, mengenang, serta meneladani kembali akhlaq Rasulullah SAW.
Namun yang perlu diingat, dalam memperingatinya, hendaknya tetap tidak keluar dari bimbingan para ulama. Dengan demikian, amal baik yang dilakukan tidak terkontaminasi oleh ketidaktahuan cara pengungkapan rasa cinta itu sendiri.
Sebagaimana dituturkan Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq, pengasuh Ponpes Al-Khairat Bekasi, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam peringatan Maulid Nabi SAW adalah seperti terjadinya ikhtilath, yaitu perbauran antara laki-laki dan perempuan dalam satu majelis. Banyak ditemui adanya wanita yang melantunkan bacaan Al-Quran atau membaca saritilawah di tengah kerumunan pria. “Ini dilarang agama,” katanya tegas.
Selain itu, para penceramah di majelis Maulid hendaknya juga tidak membawakan hadits-hadits maudhu’ (palsu) sebagai dalil yang mendukung Maulid Nabi. “Hal itu dapat menjadi celah bagi para pembenci Maulid untuk menentang kegiatan peringatan Maulid Nabi. Rasulullah sendiri bersabda, ‘Barang siapa berbohong atasku (memalsukan haditsku), persiapkanlah tempatnya di neraka.’ Kita tidak butuh hadits-hadits itu sebagai hujjah penguat bagi Maulid. Banyak ayat dan hadits shahih sebagai dalil yang benar terkait bolehnya perayaan Maulid,” katanya lagi.
Selain itu ia juga mengingatkan agar majelis Maulid tidak larut dalam gelak tawa yang tak terkontrol atau dengan bahasa yang tak layak diungkapkan di majelis yang mulia tersebut. Nabi sendiri melarang hal-hal tersebut. Hendaknya, pembicaraan pun tak keluar dari tema mahabbah kepada Nabi, rahmat, keteladanan, dan segala yang terkait pada kesempurnaan akhlaq beliau, serta penjelasan kepada orang awam tentang dalil peringatan Maulid, agar mereka memahami dengan jelas apa yang mereka lakukan. Inilah yang dilakukan para salaf, seperti dapat dibaca dari ceramah-ceramah Habib Ali Al-Habsyi, penyusun kitab Maulid Shimtud Durar, dan yang lainnya.
Yang terakhir, “Jauhkan acara ini dari kepentingan-kepentingan sesaat, seperti untuk kepentingan partai dan kelompok-kelompok yang bertujuan menggalang massa dengan membeli dan membodohi para ulama yang mempunyai pengikut banyak dengan harga yang murah. Berapa pun uang itu sangatlah tidak sebanding dengan kesucian acara itu sendiri,” kata Ustadz Muhammad.
Semoga dengan kejujuran dan ketulusan dalam mencintai sang kekasih Allah ini, kita bisa menerima dengan lapang dada segala nasihat dari mana pun datangnya. Cinta yang tulus akan terbukti dengan keteladanan, bukan dengan hawa nafsu, apalagi sekadar menjalankan tradisi semata. Maulid Nabi harus menjadi mata air pelajaran yang jernih bagi umat dalam mengenal sosok Nabi Muhamammad SAW. Agar kemudian umat mendapatkan keberkahannya, meraih cintanya, meneladani akhlaqnya, hingga akhirnya kelak beroleh syafa’atul ‘uzhma, syafa’at teragung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar