Jumat, 17 Januari 2014

Golongan-golongan,niat,rumah di surga, menuntut ilmu,dan dikehendaki kebaikan



Tabi’at Waktu dan Cara Memanfaatkannya


dakwatuna.com - Begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia. Di antara nikmat itu adalah menetapnya Iman di dalam hati yang merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan di antara nikmat adalah kehidupan dan kematian yang Allah jadikan sebagai ujian untuk manusia. Kehidupan menjadi wadah kegiatan dan amal perbuatan manusia. Sedangkan kematian menjadi kontrol agar manusia bersiap menghadapinya untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya.
Kehidupan dan kematian ini dijembatani oleh umur. Umur adalah rangkaian waktu dari setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap pekan, setiap bulan, dan setiap tahun yang dilalui manusia sejak dia lahir (hidup) sampai mati. Rasulullah saw. pernah menyampaikan bahwa manusia tidak akan beranjak kakinya pada hari kiamat sehingga ia ditanya 4 hal, salah satunya umurnya dia habiskan untuk apa? Hal ini berarti manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan seumur hidupnya. Semakin panjang umurnya, maka makin banyak yang harus dia pertanggungjawabkan.
Dengan demikian berarti waktu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahkan waktu itu nantinya akan bersaksi atas amal perbuatan manusia. Mereka yang taat semasa hidupnya akan berbahagia. Sedangkan mereka yang ingkar dan banyak berbuat maksiat akan merugi yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut al-akhsarina a’mala (yang paling rugi amalannya).
Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai seorang muslim untuk memperhatikan masalah waktu. Dan supaya tidak tertipu oleh waktu, maka kita perlu mengetahui tabi’at waktu. DR. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan ada 3 tabi’at waktu, yaitu waktu cepat berlalu, waktu yang berlalu tidak dapat dikembalikan dan waktu adalah aset yang amat berharga.
Pertama, bahwa waktu yang kita jalani sangat cepat berlalu. Menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, bahkan tahun demi tahun begitu cepat berlalu. Hal ini dapat dirasakan dengan melihat umur kita. Banyak dari kita suatu waktu terhenyak dan baru tersadar ternyata umurnya telah mencapai 30 tahun, 40 tahun, 50 tahun dan seterusnya padahal amal kebaikan belum banyak.
Ini pula yang dirasakan oleh Ashabul Kahfi. Mereka telah tidur selama 309 tahun, namun mereka merasakan seolah baru setengah atau satu hari saja (Al-Kahfi: 19 dan 25). Demkian pula yang dirasakan oleh seorang yang bertanya bagaimana Allah menghidupkan negeri yang mati? Lalu Allah matikan (tidurkan) dia selama 100 tahun. Ketika ia dibangunkan dan ditanya tentang berapa lama ia tidur? Dia menjawab hanya setengah atau satu hari saja (Al-Baqarah: 259).
Kedua, bahwa waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali lagi. Hasan Al-Bashri berkata: “Tidak ada waktu yang menampakkan fajarnya kecuali ia berkata: ‘Wahai anak Adam, aku adalah harimu yang baru yang akan menjadi saksi atas amal perbuatanmu. Maka carilah bekal dariku sebanyak-banyaknya, karena jika aku telah berlalu maka aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.’”
Waktu dalam kehidupan kita bagaikan kereta, ia datang dan pergi sesuai jadwal. Dan ketika telah berlalu maka ia tidak akan kembali lagi. Al-Qur’an menceritakan tentang penghuni neraka yang memohon kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia supaya dapat memperbaiki amal perbuatan mereka, namun Allah menolak.
Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”. ( As-Sajdah: 12)
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” (Fathir: 37).
Ketiga, bahwa waktu adalah aset yang sangat berharga. Waktu menjadi berharga karena padanyalah terekam seluruh aktivitas kehidupan kita. Segala perbuatan, yang baik maupun yang buruk tercatat di dalamnya. Maka waktu menjadi penting untuk kita perhatikan karena ia akan membeberkan semua perbuatan kita di dunia, bahkan sesuatu yang dahulu kita sembunyikan dari orang lain.
Hasan Al-Bashri berkata: “Saya mendapati orang-orang yang memberikan perhatian lebih terhadap waktu daripada terhadap dinar dan dirham.” Karena waktu adalah harta yang tak ternilai, ia tak dapat dibeli oleh apapun. Maka ketika seseorang memiliki waktu hendaknya ia pergunakan sebaik-baiknya. Karena selamat atau celaka dirinya bergantung bagaimana ia memanfaatkan waktunya.
Inilah tiga tabi’at waktu yang harus diperhatikan seorang muslim. Karena muslim yang baik adalah yang dapat memanfaatkan waktunya untuk memperbanyak amal kebaikan. Lalu bagaimana cara memanfaatkan waktu? Setidaknya ada tiga hal dapat dilakukan.
Pertama, melakukan hal yang bermanfaat dan meninggalkan yang tidak bermanfaat. Rasulullah saw. bersabda: “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” Maksud “manfaat” di sini mencakup kebaikan dunia dan akhirat.
Kedua, memanfaatkan waktu luang. Rasulullah saw. bersabda: “Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu olehnya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” Karena manusia jika tidak sibuk dengan kebaikan, maka ia akan sibuk dengan kemaksiatan. Sering seseorang merasa bingung memanfaatkan waktu luang, lalu setan membisikkan kepadanya untuk berbuat sesuatu yang tidak ada manfaatnya bahkan kemaksiatan. Padahal mereka juga sering mengeluh karena kesibukan yang mereka jalani dan tidak punya banyak waktu untuk beribadah.
Ketiga, memanfaatkan waktu untuk menjalankan kewajiban dan memenuhi hak dengan seimbang.
Rasulullah saw. pernah menasehati seorang sahabatnya yang gemar puasa sepanjang hari dan qiyamul lail sepanjang malam. Beliau bersabda: “Jangan begitu, puasalah dan berbukalah sholatlah dan tidurlah. Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, istrimu memiliki hak atasmu, dan tetanggamu memiliki hak atasmu.”
Dengan mengetahui tabi’at waktu dan memahami cara memanfaatkannya seorang muslim diharapkan dapat memaksimalkan umurnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dia harus waspada agar jangan sampai terkena tipu daya setan yang menjadikan usianya berlalu dengan sia-sia.
Wallahu a’lam bish shawab.


MEMANF
AATKAN WAKTU
D
ALAM MENSYUKURI NI’MAT UMUR
Oleh :
Adawiyah, S.H.I
Calon Penyuluh Agama
Kemenag Kota Lubuklinggau*
Waktu adalah milik manusia yang paling berharga
, oleh karena itu
pergunakanlah waktu sebaik mungkin, karena waktu jika telah lewat tidak dapat
diharapkan kembali, berbeda dengan sesuatu barang, jika hilang, masih mungkin dapat
ditemukan kembali. Suatu proses alami yang selalu berubah manusia dari bayi tumbuh
menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati itulah hidup yang kita jalani, sehingga
manusia harus dapat memampatkan waktu selagi sehat, begitupun juga waktu
mengalami proses, dari hari berganti hari, dari bulan berganti bulan, dari tahun berganti
tahun.
Manusia yang berakal, ia tidak akan menyianyiakan waktu, selalu berusaha
mempergunakan waktu dengan memamfatkan waktu yang ada, adapun proses alamiah
manusia, dari bayi tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati, Allah
SWT berfirman dalam Q.S. Al ‘Ashr yaitu :
Artinya :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran
.”
Khallid Abdurrahman Al’Akk dalam kitabnya Shofwatul Bayan Tafsir
Juz’amma menjelaskan Tafsir dari
demi masa) : Allah
SWT bersumpah dengan menyebut masa atau zaman kenabian ,
 ( sesungguhnya manusia itu) : Jenis manusia, ini merupakan jawaban dari Qasam alias
sumpah tadi,
 (benar-benar berada dalam kerugian): Merugi,
kekurangan dan binasa.
 ( Nasihat-
menasihati supaya menaati kebenaran ) : semua kebaikan dengan keyakinan dan amal
perbuatan .
Nasehat-menasehati
supaya menetapi kesabaran ) : dalam menjauhi kedurhakaan dan mengerjakan ketaatan
serta menghadapi cobaan .
Maka termasuk orang-orang yang beriman bila memanfaatkan umur untuk
beribadat menjalankan perintah Allah SWT dengan ikhlash dan tekun, serta berbuat
baik terhadap masyarakat, selalu berbuat amal shalih, saling mengingatkan untuk
berbuat kebenaran dan berlaku sabar, bila umur dipergunakan untuk berbuat maksiat
dan berbuat kerusakan maka termasuk orang yang tidak dapat memanfaatkan waktu
(termasuk orang yang merugi).
Manusia hendaklah
menyadari dirinya, bahwa dalam hidup ini, akan melalui
perjalanan hari, bulan dan tahun yang terus menerus berjalan sambung menyambung
hendaklah waktu itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, semua perbuatan yang baik
atau yang buruk ketika ada didunia, di akhirat akan dihitung semua perbuatan manusia.
Allah SWT berfirman
dalam Q.S. An Nazi’at 46, yaitu :
Artinya :
“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan
tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.”
Perasaan semacam ini
, menghinggapi orang-orang yang menduga bahwa hidup
didunia ini kekal dan mereka menghubungkan tempat kembalinya dengan tanah,
perasaan ini mungkin benar kalau hari-hari dunia diukur dengan hari-hari akhirat yang
tidak ada hentinya, tetapi sungguh mereka keliru besar, karena hari-hari didunia ini ada
batasnya, sekarang masih hidup, tetapi besok pagi mungkin sudah tiada, orang yang
menganggap bahwa hidup kekal itu keliru, umur selalu dilewati oleh waktu dengan
perhitungan hari, bulan dan tahun, sehingga manusia harus dapat memanfaatkan waktu
selagi masih hidup, selagi masih sehat, sebelum kematian menghampiri manusia, jika
ajal telah datang, maka penyesalan tidak berguna lagi, sebab kesempatan beramal sudah
tidak ada lagi.
Sebagai Muslim, hendaknya sadar bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat
berharga, karena waktu adalah umurnya, perjalanan hidup manusia melaju cepat kepada
Allah SWT, oleh karena itu manusia hendaklah menginterospeksi diri (bermuhasabah)
agar menyadari apa yang sudah dilakukan pada waktu yang lalu dan apa yang wajib
dikerjakan pada masa yang akan datang, selama didunia hendaklah banyak
memafa’atkan waktu untuk beramal, berbuat kebajikan. Firman Allah SWT dalam Q.S.
Yunus A. 6 :
Artinya :
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang
diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-
Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.”
Orang yang lalai terhadap hari esok, Islam menganggap mereka sebagai
orang
yang tenggelam dalam hari ini, yang mudah tergiur oleh kesenangan dunia yang fana
dan mereka termasuk orang-orang yang bodoh dan merugi, sungguh kepergian manusia
ke akhirat itu kekal, yang tidak akan kembali lagi kedunia, harus mempersiapkan
berbagai bekal, untuk ini bekal yang paling utama ialah taqwa kepada Allah SWT.
Allah SWT, senantiasa mencurahkan ni’matNya kepada manusia, dengan
bermacam-macam ni’mat
yang tidak dapat dihitung tiap-tiap hari , Karena itu wajib
bagi kita mensyukuri ni’mat yang diberikan Allah SWT kepada kita, manusia tidak
dapat menghitung nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita yang dipergunakan
setiap hari mulai dari sejak terbitnya matahari sampai terbenam matahari.
Dalam hal ini Allah berfirman :
Artinya :
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
(Q.S. An Nahl A. 18)
Diantara sekian banyak nikmat Allah SWT
, termasuklah nikmat umur, Umur
adalah salah satu nikmat yang tak terhitung nilainya, oleh karena itu hendaklah kita
memanfaatkan umur yang ada, dengan mengabdi kepada Allah SWT sebagai pencipta,
mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya serta
menjalankan semua syariat yang ditentukan Allah SWT, dan berbuat baik kepada
masyarakat, dengan niat yang tulus, ikhlash karena Allah, untuk itulah kita harus bisa
memampatkan waktu atas nikmat umur yang ada pada manusia.
Semakin bertambah umur , semakin dekat kepada ajal, karena umur adalah
rahasia Ilahi yang tidak dapat kita ketahui, hendaklah umur yang ada sekarang ini dapat
dipergunkan sebaik-baiknya sebelum kematian datang menghampiri manusia, Umur
yang ada pada kita, akan dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT nantinya
diakhirat, manusia yang diberi umur panjang oleh Allah SWT hendaklah dapat
memampaatkan umur dengan selalu berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, dan
janganlah jadi manusia yang merugi yaitu manusia yang diberi umur panjang tetapi
tidak dapat memanfaatkannya, selama didunia hanya berbuat kejahatan dan kerusuhan.
Bagi manusia yang beriman kepada Allah, pasti mempercayai bahwa pada suatu
saat yang telah ditentukan umurnya akan bercerai dengan badan bila ajalnya sudah
datang dan berpulang kerahmatulah akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan
manusia, bila kepercayaan ini sudah menjadi keyakinan yang kuat, masing-masing
manusia tentu akan mampu memanfaatkan waktu terhadap umurnya, sebelum ajalnya
untuk mencapai husnul khatimah yaitu penghabisan umur yang baik
Sebaiknya kita hendaklah ingat pesan dari Nabi Muhammad SAW, mengenai
penggunaan segala kesempatan dalam hidup ini, yang diriwayatkan oleh Baihaqi, yaitu :
“Pergunakanlah lima kesempatan sebelum datangnya lima kesempitan : pertama,
pergunakanlah kesehatan sehatmu sebelum datang sakitmu, kedua, pergunakanlah
kesempatan lapangmu sebelum datang kesempitanmu, ketiga, pergunakanlah hari
mudamu sebelum datang hari tuamu, keempat, pergunakanlah kesempatan waktu
engkau kaya sebelum datang kemiskinanmu, kelima, pergunakanlah kesempatan masa
hidupmu sebelum datang kematianmu.”
Ketika manusia itu sehat, hendaklah memanfaatkan kesehatan itu dengan sebaik-
baiknya, dengan tubuh yang sehat, dapat melakukan semua aktivitas, beribadah hanya
kepada Allah SWT serta berbuat baik terhadap sesama manusia, jangan ketika sakit
baru ingat kepada Allah, inilah termasuk orang yang tidak dapat memanfaatkan waktu,
manusia harus dapat memanfaatkan kesempatan waktu yang ada dengan
bersilahturahmi, berbuat baik sesama manusia.
Pergunakanlah waktu, ketika umur manusia masih muda dengan kegiatan yang
positif, usia muda beraktivitas masih enerjik, masih kuat, cepat dan gesit, lain dengan
usia yang sudah tua, beraktivitas tidak enerjik lagi, tidak kuat lagi, lambat untuk
berusaha dan beraktivitas. Maka, pergunakanlah usia mudamu sebelum datang usia tua.
Manusia yang kaya, hendaklah selalu membantu oarng yang miskin, dengan cara
sedekah, zakat, adapun orang yang kaya, sebaiknya membuka lapangan pekerjaan untuk
orang yang mempunyai keinginan untuk maju, yang ingin mengalami perubahan, yang
mempunyai keahlian tapi tidak mempunyai modal, adapun pergunakanlah waktu hidup
dengan selalu beribadah, mengabdi kepada Allah SWT, sebelum datang kematian



Allah akan mengajak bicara hamba-hambaNya kelak pada hari kiamat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ
“Tidak ada seorangpun dari kamu kecuali akan diajak bicara oleh Rabbnya ‘Azza wa Jalla tanpa ada penterjemah antara ia dan Allah.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Namun diantara hambaNya ada yang diajak bicara oleh Allah dengan keras dan penghinaan, akibat perbuatan dosa yang mereka lakukan. Allah tidak melihat mereka dengan penglihatan kasih sayang, namun dengan kemurkaan. Tentu orang seperti ini akan mendapat adzab yang pedih. Na’udzu billah min dzalik.
Lalu siapakah mereka yang tidak diajak bicara oleh Allah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan dalam empat hadits tentang mereka. Yaitu:
 ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ » قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَ مِرَارٍ. قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian tiga kali. Abu Dzarr berkata, “Merugi sekali, siapa mereka wahai Rasulullah ?” Beliau bersabda, “Musbil (orang yang memakai kain melebihi mata kakinya), dan orang yang selalu mengungkit pemberiannya, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim).
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ – قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ – وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِر
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan tidak akan mensucikannya.. Abu Mu’awiyah berkata, “Dan Tidak akan dilihat oleh allah.” Dan bagi mereka adzab yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja yang suka berdusta, dan orang miskin yang sombong.” (HR Muslim).
ثَلاَثٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلاَةِ يَمْنَعُهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ لَهُ بِاللَّهِ لأَخَذَهَا بِكَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا وَفَى وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا لَمْ يَفِ
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Seseorang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, namun ia mencegahnya dari ibnussabil yang membutuhkannya. Dan orang yang berjual beli dengan orang lain di waktu ‘Ashar, lalu ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia mengambilnya segini dan segini, lalu orang itu mempercayainya padahal tidak demikian keadaannya. Dan orang yang membai’at pemimpinnya karena dunia, bila ia diberi oleh pemimpin ia melaksanakan bai’atnya, dan bila tidak diberi maka ia tidak mau melaksanakan bai’atnya.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ رَجُلٌ حَلَفَ عَلَى سِلْعَةٍ لَقَدْ أَعْطَىَ بِهَا أَكْثَرُ مِمَّا أَعْطَى وَهُوَ كَاذِبٌ وَرَجُلٌ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ كَاذِبَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ مَاءٍ فَيَقُوْلُ اللهُ الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ فَضْلِيْ كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ تَعْمَلْ يَدَاكَ (رواه البخاري)
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan Allah tidak akan melihat mereka, yaitu orang yang bersumpah untuk (melariskan) dagangannya bahwa ia telah memberi (harga) lebih banyak dari (harga) yang ia berikan padanya, padahal ia berdusta. Dan orang yang bersumpah palsu setelah ‘Ashar untuk mengambil harta milik seorang muslim. Dan orang yang mencegah kelebihan airnya, maka Allah akan berfirman, “Hari ini aku akan mencegah karuniaKu kepadamu sebagaimana kamu dahulu pernah mencegah kelebihan air yang bukan usaha tanganmu.” (HR Al Bukhari).
Dari empat hadits di atas, kita dapati ada sembilan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan dilihat dan disucikan, dan baginya adzab yang pedih, yaitu:
1. Orang yang memakai kain melebihi mata kaki (musbil).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang isbal dalam hadits yang banyak, namun sebagian orang ada yang mempunyai pendapat yang tidak tepat, yaitu bahwa larangan berbuat isbal itu bila disertai dengan kesombongan, berdasarkan hadits:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang menyeret kainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Dan hadits Abu Bakar Ash Shiddiq:
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة ) . قال أبو بكر يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه ؟ فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( لست ممن يصنعه خيلاء )
“Dari Abdullah bin Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menyeret kainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, sesuangguhnya salah satu bagian kainnya melorot tetapi aku berusaha untuk menjaganya (agar tidak melebihi mata kaki).” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau tidak melakukannya karena sombong.” (HR Al Bukhari).
Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits ini mengikat kemutlakan larangan isbal, artinya bahwa isbal itu dilarang bila disertai kesombongan, namun bila tidak disertai kesombongan maka hukumnya boleh.
Inilah fenomena kedangkalan dalam pemahaman. Karena bila kita perhatikan hadits Abu bakar di atas, tampak kepada kita bahwa Abu bakar tidak melakukan itu dengan sengaja, oleh karena itu Nabi menyatakan bahwa Abu bakar tidak melakukannya karena sombong. Ini menunjukkan bahwa orang yang melorotkannya dengan sengaja melebihi mata kakinya adalah orang yang sombong walaupun pelakunya mengklaim dirinya tidak sombong. Karena isbal itu sendiri adalah kesombongan sebagaimana dalam hadits:
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّ إِسْبَالَ الْإِزَارِ مِنْ الْمَخِيلَةِ
“Jauhilah olehmu isbal (memakai kain melebihi mata kaki), karena isbal itu termasuk kesombongan”. (HR Abu dawud).[1]
Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqolani rahimahullah berkata, “Isbal itu berkonsekwensi kepada menyeret kain, dan menyeret kain itu berkonsekwensi kepada kesombongan walaupun orang yang melakukannya tidak bermaksud sombong.” (Fathul Baari 10/275).
Imam Ibnul ‘Arobi Al maliki rahimahullah berkata, “Tidak boleh bagi seorangpun untuk memakai kain melebihi mata kakinya dan berkata, “Aku tidak sombong.” Karena larangan isbal telah mencakupnya secara lafadz dan illatnya.” (‘Aridlotul Ahwadzi 7/238).
Jadi klaim bahwa larangan isbal itu diikat dengan kesombongan adalah pendapat yang ganjil dan aneh, karena isbal itu sendiri sudah termasuk kesombongan walaupun pelakunya tidak bermaksud sombong sebagaimana yang katakan oleh Al Hafidz ibnu hajar tadi. Terlebih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingkari beberapa shahabat yang kainnya melebihi mata kaki tanpa bertanya, “Apakah kamu melakukannya karena sombong?” diantaranya adalah hadits ibnu Umar ia berkata:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَفِى إِزَارِى اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ « يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ ». فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ « زِدْ ». فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ.  
“Aku melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sementara kainku melorot. Beliau bersabda, “Wahai Abdullah, angkat kainmu.” Akupun mengangkatnya. Beliau bersabda, “Tambah!” Akupun menambah (mengangkat)nya. Semenjak itu aku selalu menjaganya.” (HR Muslim).
Dari ‘Amru bin Syariid dari ayahnya berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَ رَجُلًا مِنْ ثَقِيفٍ حَتَّى هَرْوَلَ فِي أَثَرِهِ حَتَّى أَخَذَ ثَوْبَهُ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ وَاتَّقِ اللَّه قَالَ فَكَشَفَ الرَّجُلُ عَنْ رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَحْنَفُ وَتَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengikuti seseorang dari Tsaqif sehingga beliau berjalan dengan cepat lalu beliau memegang bajunya dan bersabda, “Angkat kainmu! bertakwalah kamu kepada Allah” Lalu orang itu membuka kedua lututnya dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ahnaf (yang berkaki bengkok berbentu X), dan kedua lututku beradu.” Beliau bersabda, “Setiap ciptaan Allah Azza wa Jalla itu indah.” (HR Ahmad dan lainnya).[2]
Lihatlah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya terlebih dahulu apakah kamu sombong atau tidak? Ternyata tidak. Ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan isbal dengan sengaja adalah orang yang sombong walaupun pelakunya merasa tidak sombong.

2. Orang yang suka mengungkit pemberiannya.
Mengungkit pemberian adalah perkara yang dapat membatalkan amal, Allah Ta’ala berfirman:
ياأيها الذين ءامنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى كالذي ينفق ماله رئاء الناس ولا يؤمن بالله واليوم الأخر
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membatalkan sedekah kalian dengan mengungkit dan menyakiti, seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya ingin dilihat manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.” (Al baqarah: 264).
Hendaklah seorang muslim bertakwa kepada Allah dan tidak mengungkit kebaikan-kebaikannya kepada orang lain, baik kepada teman, anak, atau kaum fuqoro. Karena pemberiannya itu adalah untuk kebaikan dirinya sendiri dan pahala untuk persiapan menuju kematiannya.

3. Orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu.
Melariskan dagangan dengan sumpah dusta adalah modal orang-orang yang bangkrut dan mencabut keberkahan dagangannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang yang sedang berjual beli itu punya khiyar (pilihan) selama keduanya belum berpisah, jika keduanya jujur dan menjelaskan maka jual belinya akan diberkahi. Dan jika keduanya menyembunyikan (aib) dan berdusta maka akan dicabut keberkahannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim).

4. Orang tua yang berzina.
5. Raja yang suka berdusta.
6. Orang miskin yang sombong.
Tiga orang ini amat memalukan, karena tidak ada sesuatu yang mendorong mereka melakukan hal tersebut. Ini menunjukkan kepada tabiat yang buruk dan sengaja ingin berbuat maksiat. Al Qadli ‘Iyadl rahimahullah berkata:
خصص المذكورون بالوعيد لان كلا منهم التزم المعصية مع عدم ضرورته إليها وضعف داعيتها عنده فأشبه إقدامهم عليها المعاندة والاستخفاف بحق الله وقصد معصيته لا لحاجة غيرها فإن الشيخ ضعفت شهوته عن الوطء الحلال فكيف بالحرام وكمل عقله ومعرفته لطول ما مر عليه من الزمان  …والامام لا يخشى من أحد وإنما يحتاج إلى الكذب من يريد مصانعة من يحذره والعائل قد عدم المال الذي هو سبب الفخر والخيلاء فلماذا يستكبر ويحتقر غيره ؟
“Mereka dikhususkan dengan ancaman, karena mereka berpegang kepada maksiat padahal tidak ada perkara yang mendorongnya, dan pendorongnya amat lemah. Ini menunjukkan bahkan perbuatan mereka itu karena ‘ienad (menentang) dan meremehkan hak Allah dan tujuannya hanya untuk berbuat maksiat bukan karena ada sesuatu yang lain.
Orang yang telah tua renta telah lemah syahwatnya untuk menjimai yang halal terlebih yang haram, ia telah sempurna akal dan pengetahuannya karena telah banyak makan garam… Seorang raja tidak perlu takut kepada siapapun, karena dusta biasanya dilakukan agar terhindar dari keburukan orang yang ia takuti. Dan orang fakir tidak punya harta yang merupakan sebab kesombongan dan keangkuhan, lantas mengapa ia sombong dan menganggap remeh orang lain? (Ad Diibaaj syarah shahih Muslim 1/122).

7. Orang yang bersumpah palsu di waktu ashar untuk mengambil harta muslim dengan tanpa hak.
Perbuatan ini berkumpul tiga keburukan, yaitu bersumpah palsu, dilakukan di waktu yang mulia yaitu waktu ashar, dan mengambil harta muslim. Sumpah palsu sendiri adalah termasuk dosa besar, dan menjadi lebih besar lagi bila dilakukan di waktu yang mulia, dan waktu ashar adalah waktu yang mulia di sisi Allah. Berdasarkan hadits ini dan dalil lainnya.
Bagaimana jadinya bila ternyata disertai mengambil harta muslim, padahal harta seorang muslim itu haramnya sama dengan keharaman bulan haram di negeri yang haram dan di hari yang mulia (Arofah). Sebagaimana dalam hadits:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram atas kalian seperti keharaman hari ini, di bulan ini dan di negeri ini.” (HR Al Bukhari dan Muslim).

8. Orang yang yang mempunyai kelebihan air di padang pasir, namun mencegahnya dari orang yang membutuhkannya.
Perbuatan ini akibat kekikiran yang sangat sehingga mencegah ia untuk memberikan kelebihan air kepada ibnussabil yang amat membutuhkannya. dan sifat kikir itu seringkali menimbulkan perbuatan yang dimurkai oleh Allah Azza wa jalla, dalam hadits:
إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخَلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا
“Jauhilah Syuhh (kikir yang sangat), sesungguhnya syuhh membinasakan orang-orang sebelum kalian. Syuhh menyuruh mereka untuk bakhil, menyuruh untuk untuk memutuskan tali silaturahim, dan menyuruh untuk berbuat kejahatan, merekapun melakukannya.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani).

9. Orang yang membai’at pemimpin karena dunia.
Membai’at pemimpin yang sah adalah perkara yang diperintahkan oleh islam. Kewajiban rakyat adalah mentaati pemimpinnya dengan penuh keikhlasan karena mengharap keridlaanNya. Orang yang membai’at pemimpinnya dengan ikhlas, ia akan menjalankan hak pemimpinnya walaupun ia tidak diberi, bahkan walaupun ia dizalimi. Sebagaimana dalam hadits:
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قُلْتُ : كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ :« تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Akan ada setelahku pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku, dan akan ada pemimpin yang hatinya bagaikan hati setan pada tubuh manusia.” Aku berkata, “Apa yang harus aku lakukan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun tubuhmu dipukul dan hartamu diambil, tetaplah mendengar dan taat.” (HR Muslim).
Membai’at karena dunia adalah sumber fitnah. Sebab orang yang demikian tidak akan mau mentaati pemimpin jika ia tidak diberi harta atau kedudukan. Bahkan ia akan berusaha dengan berbagai cara untuk memburukkan pemimpinnya karena ia tidak diberi. Seperti yang terjadi di zaman ini, terutama dari kalangan wartawan yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka.


Akibat Niat yang Rusak
            Niat yang rusak berakibat fatal bagi seorang hamba, karena tempat niat adalah di hati dan hati adalah raja untuk anggota badan, bila ia baik maka seluruh anggota akan baik dan bila ia buruk maka seluruh anggota badan akan buruk sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara akibat buruk niat yang rusak adalah :
1.      Tidak Sah Ibadahnya.
Telah kita bahas di bab pertama bahwa niat adalah syarat sahnya amal, keabsahan sebuah amal amat tergantung kepada niat. Bila kita perhatikan ada tiga sebab batalnya amal ditinjau dari sisi niat, yaitu :
Pertama: Kehilangan salah satu dari syarat sah niat menjadikan amal tersebut tidak sah. Seperti orang yang berazam (berniat kuat) untuk memutuskan sebuah ibadah, maka ibadahnya batal dan tidak sah, atau orang yang tidak men-ta’yin (menentukan) niat dalam ibadah yang wajib ditentukan, atau orang yang mempersekutukan niat dalam ibadah yang tidak boleh dipersekutukan sebagaimana telah kita bahas di bab pertama, silahkan pembaca rujuk kembali.
Kedua: Adanya tujuan-tujuan yang dilarang oleh syariat seperti seseorang yang menikahi wanita yang telah ditalaq tiga dengan tujuan agar wanita tersebut menjadi halal kembali untuk suaminya yang pertama, maka pernikahannya tidak sah karena tujuan tersebut dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita tersebut tetap tidak halal untuk suaminya yang pertama sebagaimana telah kita bahas.
Ketiga: Adanya tuduhan atau tanda yang menunjukkan bahwa tujuannya tidak dibenarkan. Seperti orang yang mentalaq istrinya ketika ia sakit menuju kematian, maka talaqnya tidak sah karena disitu ada tanda yang menunjukkan bahwa ia menceraikannya agar istrinya tidak mendapat bagian warisan darinya dan ini adalah perbuatan zalim yang tercela.
2.      Menghapus Amal
Allah Ta’ala mengancam orang yang beribadah dengan niat bukan karena-Nya dengan ancaman yang berat yaitu dihapus amalnya dan mendapatkan api neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ {15} أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ {16}
 “Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan balasan atas pekerjaan mereka di dunia, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16).
3.      Rusaknya Hati
Niat yang rusak menimbulkan dosa yang memberikan noda-noda hitam di hati sehingga apabila noda hitam tersebut telah memenuhi ruangan hati maka hati pun akan menjadi hitam dan kelam sulit untuk menerima cahaya hidayah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ { كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ }
Seorang hamba apabila melakukan sebuah dosa, akan diberikan di hatinya noda hitam dan jika ia memohon ampun dan bertaubat, maka akan kembali bening hatinya. Jika ia kembali kepada dosa tersebut, maka akan ditambah noda hitamnya sampai memenuhi hatinya. Itulah ron yang disebutkan oleh Allah “Sekali-kali tidak, justru ron telah memenuhi hatinya disebabkan apa yang mereka lakukan.” (HR. At Tirmidzi).[1]
4.      Rusak Pemahamannya
Niat yang rusak akan menimbulkan pemahaman yang rusak, karena apabila seorang hamba mempunyai keinginan untuk memperturutkan hawa nafsunya akan berpengaruh kepada pemahamannya. Ia akan memahami dalil sesuai dengan hawa nafsunya dan ro’yu-nya (logika) sehingga dalil itu tampaknya mendukung perbuatannya namun pada hakikatnya tidak demikian dan ini diketahui oleh orang yang diberikan oleh Allah pemahaman yang dalam dan ilmu yang kuat.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Orang yang buruk pemahamannya dan buruk maksudnya akan jatuh ke dalam macam-macam ta’wil sesuai dengan keburukan pemahaman dan maksudnya, terkadang keduanya berkumpul dan terkadang menyendiri dan apabila keduanya berkumpul akan menimbulkan kebodohan terhadap kebenaran, memusuhi ahlul haq dan menganggap halal apa yang Allah haramkan.”[2]

 

Mempunyai rumah indah dan nyaman adalah keinginan setiap manusia. Di dunia ini, untuk mempunyai rumah yang indah dan nyaman harus memeras keringat dahulu mencari uang, karena harganya yang mahal. Berbeda dengan membangun rumah di surga. Yang diperlukan adalah kekuatan untuk beramal shalih dan menahan hawa nafsu. Tentu rumah di surga jauh lebih indah dan nyaman, tak mungkin dapat digambarkan oleh pikiran kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada umatnya tentang amalan-amalan yang apabila dilakukan oleh manusia, maka Allah akan membangunkan sebuah rumah untuknya di surga. Yaitu:
1. Membangun masjid walaupun hanya sedikit.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 من بنى لله مسجداً، ولو كمفحص قطاةٍ أو أصغر بنى الله له بيتاً في الجنة  .
Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya sebesar sangkar burung atau lebih kecil dari itu, Allah akan bangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR Ibnu majah dari hadits Jabir, dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani).
2. Menjaga sholat dluha empat raka’at dan qobliyah dzuhur 4 raka’at.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 من صلى الضحى أربعاً، وقبل الأولى أربعاً بُنى له بيتٌ في الجنة) (حسن رواه طبراني في الأوسط.
Barangsiapa yang shalat dluha empat raka’at dan qobliyah dzuhur empat raka’at, akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR Ath Thabrani dan dihasankan oleh Syaikh Al AlBani dalam silsilah shahihah no 2346).
3. Menjaga sholat sunnah rawatib 12 raka’at.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 من صلى في اليوم الليلة اثنتي عشرة ركعةً تطوعاً، بنى الله له بيتاً في الجنة
Barangsiapa yang shalat (rawatib) sehari semalam 12 raka’at, maka Allah akan bangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR Muslim, An nasai, Abu dawud, ibnu majah dari Ummu Habibah).
Shalat 12 raka’at itu adalah dua raka’at qobliyah shubuh, empat sebelum dzuhur dan dua setelahnya, dua setelah maghrib, dan dua setelah ‘isya sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam At Tirmidzi.
4. Membaca surat al ikhlash sepuluh kali.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 من قرأ (قل هو الله أحد) عشر مرات بنى الله له بيتاً في الجنة .
“Barangsiapa yang membaca “Qulhuwallahu ahad” sepuluh kali, Allah akan bangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR Ahmad dari Mu’adz bin Anas dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam shahih Jami’ no 6472).
5. Membaca do’a masuk pasar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 من دخل السوق فقال لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد يحيي ويميت وهو حي لا يموت بيده الخير، وهو على كل شيء قدير كتب الله له ألف ألف حسنة، ومحا عنه ألف ألف سيئة ورفع له ألف ألف درجة، وبنى له بيتاً في الجنة .
“Siapa yang masuk pasar lalu mengucapkan, “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku walahulhamdu yuhyii wayumiitu wahuwa hayyun laa yamuutu biyadihil khoir wahuwa ‘alaa kulli syain qodiir.” Allah akan menuliskan untuknya sejuta kebaikan, menghapus darinya sejuta keurukan, mengangkat untuknya sejuta derajat, dan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR At Tirmidzi, Ahmad, Ibnu majah, dan Al Hakim dari ibnu Umar. Dihasankan oleh Syaikh Al AlBani rahimahullah).
6. Mengucapkan alhamdulillah dan istirja’ ketika anak kita wafat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 إذا مات ولد العبد، قال الله تعالى لملائكته: قبضتم ولد عبدي؟ فيقولون: نعم فيقول قبضتم ثمرة فؤاده؟ فيقولون نعم: فيقول: ماذا قال عبدي؟ فيقولون، حمدك واسترجع، فيقول الله تعالى: ابنوا لعبدي بيتاً في الجنة، وسموه بيت الحمد) (حسن ترمذي عن أبي موسى).
“Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada malaikatNya, “Kalian telah mencabut nyawa anak hambaku?” Mereka berkata, “Benar.” Allah berfirman, “kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?” Mereka menjawab, “Benar.” Allah berfirman, “Apa yang diucapkan oleh hambaku?” Mereka berkata, “Ia memujimu dan mengucapkan istirja’ (innaa lilaahi wa innaa ilaihi rooji’uun).” Allah berfirman, “Bangunkan untuk hambaku di surga, dan namai ia rumah pujian.” (HR At Tirmidzi dari Abu musa Al Asy’ari dan dihasankan oleh Syaikh Al AlBani rahimahullah).
7. Akhlak yang mulia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 أنا زعيم بيت ربض الجنة، لمن ترك المراء وإن كان محقاً، وبيت وسط الجنة لمن ترك الكذب وإن كان مازحاً، وبيت في أعلى الجنة لمن حسن خلقُه) (حسن رواه أبو داود والضياء عن أبي أمامة).
“Aku menjamin dengan rumah di pinggir surga bagi orang yang meninggalkan pertengkaran walaupun ia dipihak yang benar. Aku  menjamin dengan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun untuk ketika bercanda. Aku menjamin dengan rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR Abu dawud dari Abu Umamah dan dihasankan oleh Syaikh Al AlBani rahimahullah).
8. Iman, islam, hijrah dan jihad.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 أنا زعيم لمن آمن بي وأسلم وهاجر ببيت في ربض الجنة، وبيت في وسط الجنة، وبيت في أعلى غرف الجنة، وأنا زعيم لمن آمن بي وأسلم وجاهد في سبيل الله ببيت في ربض الجنة، وبيت في وسط الجنة، وبيت في أعلى غرف الجنة، فمن فعل ذلك لم يدع للخير مطلباً، ولا من الشر مهرباً، يموت حيث شاء أن يموت .
“Aku menjamin orang yang beriman kepadaku, masuk islam dan berhijrah dengan sebuah rumah di pinggir surga, di tengah surga, dan surga yang paling tingggi. Aku menjamin orang yang beriman kepadaku, masuk islam dan berjihad dengan rumah di pinggir surga, di tengah surga dan di surga yang paling tinggi. Barangsiapa yang melakukan itu, ia tidak membiarkan satupun kebaikan, dan lari dari semua keburukan, ia meninggal, di mana saja Dia kehendaki untuk meninggal.” (HR An Nasai, ibnu Hibban dan Al Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani rahimahullah).

Itu adalah amalan-amalan untuk membangun rumah di surga. Namun sebuah rumah butuh kamar-kamar dan kebun sehingga menjadi lebih sejuk dan nikmat dipandang mata. Adapun untuk membuat kamar-kamar yang istimewa, Rasulullah bersabda:
إن في الجنة غرفا يرى ظاهرها من باطنها وباطنها من ظاهرها فقال أبو مالك الأشعري لمن هي يا رسول الله قال هي لمن أطاب الكلام وأطعم الطعام وبات قائما والناس نيام
“Sesungguhnya di surga ada kamar-kamar yang luarnya tampak dari dalam, dan dalamnya tampak dari luar.” Abu Musa Al Asy’ari berkata, “Untuk siapa ia wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Untuk orang yang baik ucapannya, memberi makan dan shalat di waktu malam.” (HR Ath thabrani dan Al hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani rahimahullah).
Adapun untuk menanam pohon di surga, ia adalah dzikir kepada Allah sebagaimana dalam hadits:
لقيت إبراهيم عليه السلام ليلة أسري بي فقال يا محمد أقرىء أمتك مني السلام وأخبرهم أن الجنة طيبة التربة عذبة الماء وأنها قيعان وأن غراسها سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
“Aku bertemu dengan Ibrahim di malam isra mi’raj. Ia berkata kepadaku, “Hai Muhammad, sampaikan salamku untuk umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya baik, airnya tawar, dan kini tanahnya masih kosong, dan tanamannya adalah subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha illallahu, wallahu akbar.” (HR At Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al AlBani rahimahullah).
Subhanallah! Rumah itu kini mempunyai kamar-kamar yang istimewa, dan kebun-kebun yang indah. Untuk inilah kita berlomba-lomba. Ya Rabb, beri kami kekuatan untuk senantiasa beramal shalih, dan istiqomah di jalanMu sampai akhir hayat kami. Aamiiin


 



IKMAH MENUNTUT ILMU DALAM ISLAM

Manusia dilahirkan dan datang ke dunia ini dalam keadaan polos, buta ilmu pengetahuan, walaupun ia dibekali dengan kekuatan dan panca indera yang dapat menyiapkannya untuk mengetahui dan belajar.

Allah swt. berfirman:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl 78).

Di antara bimbingan yang telah Rasulullah Saw. berikan kepada umatnya adalah anjuran pentingnya menuntut ilmu Allah. Beberapa hikmah menuntut ilmu dalam Islam adalah:

1. Berada di jalan Allah
“Barang siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu, berarti dia berada di jalan Allah hingga pulang” (HR Turmudzi)

2. Mendapatkan pahala yang mengalir terus menerus
“Jika anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecualai 3 hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.”(HR Muslim)

3. Agar tidak terlaknat
“Dunia dan seisinya terlaknat, kecuali yang memanfaatkannya demi kepentingan dzikrullah dan yang serupa dengan itu, para ulama dan orang-orang yang menuntut ilmu.” (HR Turmudzi)

4. Ditinggikan derajatnya
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.

5. Dimudahkan jalan menuju surga
“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu agama, pasti Allah membuat mudah baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim)

Manfaat Menuntut Ilmu

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kejadian-kejadian yang akan menimpa umatnya di akhir zaman, dan tentunya beliau pun telah memberikan bimbingan untuk umatnya dalam menghadapi fitnah dan kerusakan-kerusakan yang terjadi di zaman itu, karena beliau adalah seorang Nabi yang sangat sayang kepada umatnya, Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berta terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (hidayah) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang kepada orang-orang mu’min.” (QS. At Taubah : 128)
Di antara bimbingan yang telah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berikan kepada umatnya yang akan hidup di akhir zaman adalah:

Menuntut Ilmu Allah

Telah kita sebutkan pada tulisan sebelumnya tentang datangnya zaman yang penceramahnya banyak dan ulamanya sedikit dimana menuntut ilmu di zaman tersebut lebih baik dari beramal. Dan telah datang zamannya sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kita lihat para penceramah sangat banyak bahkan diadakan kursus-kursus untuk menjadi khathib Jumat dalam waktu yang singkat dan menjadi sebab banyaknya penceramah, sementara ulamanya sangat sedikit.
Maka di zaman ini menuntut ilmu lebih baik dari beramal, namun bukan maksudnya ilmu tersebut tidak diamalkan karena ini akan menjadi bumerang untuk pemiliknya pada hari kiamat. Dengan ilmu kita dapat mengetahui suatu fitnah yang datang, kemudian mengambil sikap yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kita pun selamat dan tidak menjadi penyebab semakin tersulutnya api fitnah.
Kita yang hidup di zaman ini seringkali mendapatkan peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa umat Islam yang membuat hati kita panas bercampur geram. Keadaan ini merupakan cobaan untuk para penuntut ilmu untuk segera menilai dengan keilmuan yang dalam bukan sebatas semangat yang membabi buta, agar tidak menimbulkan madharat yang lebih besar untuk Islam dan kaum muslimin.
Seorang penuntut ilmu tidak mudah tertipu dengan berita dan kabar yang disiarkan dalam sebuah media, lebih-lebih media-media di zaman ini telah dikuasai kaum kuffar terutama Yahudi -semoga Allah menghancurkan mereka-.
Orang yang membaca kisah terbunuhnya Utsman bin Affan akan mengambil pelajaran berharga darinya, bagaimana sang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba pura-pura masuk Islam dan melakukan konspirasi besar untuk menghancurkan khilafah Utsman dengan memprovokasi masa dan membakar perasaan mereka melalui kabar-kabar yang dipalsukan. Ini menjadikan kita lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam menerima berita dari media.

Manfaat Menuntut Ilmu
Dengan menuntut ilmu, seorang hamba memperhatikan berbagai macam sisi kemashlahatan dan kemadharatan yang akan timbul dan membaca situasi dan kondisi kaum muslimin di zaman ini sebelum mengambil sikap, cobalah renungkan apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika beliau membahas tentang hikmah adanya ayat makkiyah dan madaniyah:
“Ayat-ayat makkiyah itu berlaku untuk setiap mukmin yang lemah untuk menolong Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan kemampuan yang ada yaitu hati dan yang semisalnya dan ayat-ayat yang menyuruh meremehkan kaum mu’ahadin (orang-orang kafir) berlaku pada setiap mukmin yang kuat dan mempunyai kemampuan untuk membela Allah dan Rasul-Nya dengan tangan dan lisannya. Dengan ayat-ayat seperti ini kaum muslimin mempraktikannya di akhir usia Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan di zaman khulafa rasyidin.
Barang siapa yang berada di suatu negeri atau waktu ia menjadi lemah, hendaklah ia mempraktikan ayat-ayat sabar dan memaafkan orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan kaum musyrikin. Adapun kaum muslimin yang mempunyai kekuatan, hendaknya mereka mempraktikan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi para imam kekafiran yang ingin merusak agama, dan memerangi ahli kitab sampai mereka memberikan jizyah dalam keadaan mereka terhina.”(Ash Shorimul Maslu,l Hal. 221).[1]
Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu hafizhahullah berkata, “Yang menguatkan pendapat Syaikhul Islam adalah firman Allah Ta’ala,
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ اللهِ لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut akan hari-hari Allah, karena Dia akan membalas suatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Jatsiyah: 14).
Allah menyuruh kaum muslimin yang lemah itu agar memaafkan orang-orang kafir yang menyakiti mereka dan jangan membalasnya dengan perbuatan yang semisal dan ini menunjukkan bahwa memberi maaf dalam keadaan kaum muslimin lemah adalah disyariatkan.
Andaikan jamaah-jamaah Islam di zaman ini mempraktikan apa yang ada di dalam Alquran yang menyeru kepada sikap sabar dan memaafkan sampai Allah mendatangkan pertolongannya.”[2]
Dengan menuntut ilmu seorang hamba berusaha memahami hakikat sesuatu sebelum memberikan vonis kepadanya atau kepada jamaah tertentu, mengamalkan sebuah kaidah : “Al Hukmu ‘ala syain far’un ‘an tashowwurihi“. Artinya menghukumi sesuatu itu mengikuti pemahaman tentang hakikat sesuatu tersebut.
Contohnya apabila kita ingin menghukumi suatu jamaah, apakah ia sesat atau tidak, maka kita wajib mengetahui hakikat jamaah tersebut; bagaimana aqidah dan manhajnya? bagaimana pokok-pokok pemikirannya? Agar kita tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan yang akibatnya akan menimbulkan penyesalan.
Demikian pula apabila kita ingin mengetahui hukum jual beli murabahah misalnya, maka kewajiban kita adalah memahami dahulu hakikat murabahah secara jelas bagaimana tata caranya, kemudian melihat dalil-dalil syariat dan fatawa para ulama, sehingga kita tidak salah dalam memvonis sesuatu.
Dengan menuntut ilmu, seorang hamba dapat mengetahui kapan dan kepada siapa ia berbicara, karena tidak semua ilmu yang kita ketahui dapat kita sampaikan kepada setiap orang, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah engkau mengajak bicara suatu kaum dengan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal mereka kecuali akan menjadi fitnah untuk sebagian mereka.”[3]
Abu Hurairah berkata, “Aku hafal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dua bejana, yang satu bejana aku sampaikan dan yang satu lagi apabila aku sampaikan maka tenggorokanku akan diputus.”[4]
Yang disembunyikan oleh Abu Hurairah adalah hadis-hadis mengenai fitnah dan hadis-hadis tentang Bani Umayah, sengaja Abu Hurairah tidak sampaikan agar tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan karena orang-orang pada waktu itu kembali bersatu di bawah kepemimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Menyembunyikan ilmu bila dikhawatirkan timbulnya madharat yang lebih besar adalah perkara yang diidzinkan oleh syariat. Sebagaimana di sebutkan dalam hadis Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
يَا مُعَاذُ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah? Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaklah mereka menyembah Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberi kabar gembira (dengan hadis ini)?” Beliau bersabda, “Jangan, karena khawatir mereka hanya bersandar dengan ini saja (tidak mau beramal).” (HR Bukhari dan Muslim)[5]
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengidzinkan Mu’adz untuk mengabarkannya kepada orang lain karena khawatir akan menimbulkan madharat yang lebih besar yaitu akan dipahami oleh orang-orang yang bodoh dengan pemahaman yang salah yaitu cukup bagi seseorang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dan meninggalkan beramal shalih karena sebatas mengandalkan hadis ini saja. Berbeda jika madharat yang timbul adalah cercaan dan makian manusia akibat kita menyampaikan kebenaran, maka kita tetap diperintahkan menyampaikannya dan tidak perlu takut dengan cercaan orang yang mencerca.



Siapakah diantara kita yang tidak ingin diberikan kebaikan oleh Allah? Namun di sana, ada orang-orang yang diinginkan kebaikan oleh Allah Azza waJalla. Semoga kita termasuk dari mereka:
1. Dibukanya pintu amal sebelum kematian menjelang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا أراد الله بعبد خيرا استعمله قيل : ما يستعمله ؟ قال : يفتح له عملا صالحا بين يدي موته حتى يرضي عليه من حوله
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan jadikan ia beramal.” Dikatakan, “Apakah dijadikan beramal itu?” Beliau bersabda, “Allah bukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridla kepadanya.” (HR Ahmad dan Al Hakim dari Amru bin Al Hamq).[1]
2. dipercepat sanksinya di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة في الدنيا و إذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافي به يوم القيامة
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hambaNya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hambaNya, Allah akan membiarkan dosanya (di dunia) sampai Allah membalasnya pada hari kiamat.” (HR At Tirmidzi dan Al Hakim dari Anas bin Malik).[2]
Namun kita tidak diperkenankan untuk meminta kepada Allah agar dipercepat sanksi kita di dunia, karena kita belum tentu mampu menghadapinya.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَادَ رَجُلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ خَفَتَ فَصَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هَلْ كُنْتَ تَدْعُو بِشَىْءٍ أَوْ تَسْأَلُهُ إِيَّاهُ ». قَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِى بِهِ فِى الآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِى فِى الدُّنْيَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « سُبْحَانَ اللَّهِ لاَ تُطِيقُهُ – أَوْ لاَ تَسْتَطِيعُهُ – أَفَلاَ قُلْتَ اللَّهُمَّ آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ». قَالَ فَدَعَا اللَّهَ لَهُ فَشَفَاهُ.
“Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjenguk seseorang dari kaum muslimin yang telah kurus bagaikan anak burung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu berdo’a dengan sesuatu atau kamu memintanya?” Ia berkata, “Ya, aku berdo’a, “Ya Allah siksa yang kelak Engkau berikan kepadaku di akhirat segerakanlah untukku di dunia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Subhanallah, kamu tidak akan mampu itu. Mengapa kamu tidak berkata, “Ya Allah berikan kepada kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan dan peliharalah kami dari adzab Neraka.” Maka orang itupun berdo’a dengannya. Allah pun menyembuhkannya.” (HR Muslim). 
3. Diberikan cobaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من يرد الله به خيرا يصب منه
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah.” (HR Ahmad dan Al Bukhari dari Abu Hurairah).
Cobaan pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu janji Allah:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
“Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (QS Al Baqarah: 155).
Cobaan itu untuk menggugurkan dosa dan mengangkat derajat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ أَوْ الْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَفِي مَالِهِ وَفِي وَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada jasadnya, harta dan anaknya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR Ahmad dengan sanad yang hasan).
4. Difaqihkan dalam agama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” HR Al Bukhari dan Muslim).
Kefaqihan adalah pemahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang lurus terhadap Al Qur’an dan hadits berasal dari kebeningan hati dan aqidah yang shahih. Karena hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan dapat memahami Al Qur’an dan hadits dengan benar. Sebagaimana yang dikabarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kaum khawarij yang membaca Al Qur’an:
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِى يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَىْءٍ وَلاَ صَلاَتُكُمْ إِلَى صَلاَتِهِمْ بِشَىْءٍ وَلاَ صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَىْءٍ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ
“Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka membaca Al Qur’an. Bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan Al Qur’an mereka, shalat dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an dan menyangka bahwa Al Qur’an mendukung mereka padahal Al Qur’an tidak mendukung mereka.” (HR Muslim).
Itu semua akibat kedangkalan ilmu dan mengikuti hawa nafsu, sehingga mereka tidak diberikan pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan hadits. Mereka mengira bahwa ayat Al Qur’am mendukung perbuatan mereka, padahal tidak demikian. Tentu yang memahaminya adalah orang-orang yang Allah faqihkan dalam agama dan selamatkan dari hawa nafsu.
5. Diberikan kesabaran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
و ما أعطي أحد عطاء خيرا و أوسع من الصبر
“Tidaklah seseorang diberikan dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Kesabaran dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala, demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya amat membutuhkan kesabaran. Karena Iblis dan balatentaranya tak pernah diam untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Tidak ada yang diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan tidak ada yang diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fushilat: 35).
Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang Engkau inginkan kebaikan padanya, beri kami kesabaran untuk menjalani perintahMu dan menjauhi laranganMu, beri kami kesabaran dalam menghadapi musibah yang menerpa, beri kami kefaqihan dalam agama dan bukakan untuk kami pintu amal shalih sebelum wafat kami. Aamiin.

 



Tidak ada komentar: