MAKNA PERGANTIAN TAHUN
Di
antara pelajaran itu adalah bahwa sesungghunya sebagian waktu dan kesempatan
yang diperuntukkan kepada kita telah semakin berkurang dan mendekati masa
berakhirnya yang tidak kita ketahui kapan akan terjadi. Sehubungan dengan
itu, Allah SWT sebagaimana di banyak ayat al_qur`an mengingatkan akan
pentingnya memperhatikan waktu tersebut. Di antaranya sebagaimana firman-Nya
وهو الذى جعل اليل والنهار خلفة لمن أراد أن يذكر أو
أراد شكورا *
(Dialah Allah yang menjadikan malam dan siang silih
berganti untuk memberi kesempatan kepada orang yang ingin mengingat (mengambil
pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur (Al-Furqan : 62)
Menurut Qurasy Syihab, kata djakkara (mengingat/mengambil pelajaran)
pada ayat di atas berkaitan dengan masa lampau, dan menuntut introspeksi dan
kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga mengantarkan
manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan. Sedangkan kata syukura
(bersyukur), dalam definisi agama ialah “menggunakan segala potensi yang
dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan penganugerahannya” dan ini menuntut
upaya kerja keras.
Banyak ayat al-Qur`an yang berbicara tentang peristiwa masa lampau, kemudian
diakhiri dengan pernyataan, “maka ambillah pelajaran dari peristiwa itu”.
Demikian pula ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapai masa
depan, atau berpikir, dan menilai hal yang telah dipersiapakannya demi masa
depan. Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema itu adalah:
يأيها الذين أمنوا التق الله والتنظر نفس ما قدمت لغد
Wahai oranag-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (QS Al-Hasyr (59): 18).
Menarik untuk dicermati bahwa ayat di atas dimuali dengan printah bertaqwa dan
diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa l;andasan
berpikir serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah
ketaqwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah ketaqwaan.
Hari esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas pengertiannya pada
hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk juga hari esok menurut
pengertian dimensi waktu yang kita alami. Kata ghad dalam ayat dia atas
yang diterjemahkan dengan esok. Ditemukan dalam al-qur`an sebanyak lima kali;
tiga diantaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari esok duaniawi, dan
dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.
Hadirin
jama`ah jum`at rahimakumullah
Allah swt
memerintahkan umat manusia untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk
hal-hal yang mendatangkan manfaat untuk kehidupan di dunia ini maupun untuk
kehidupan akhirat kelak., di antara sekian banyak ayat al-qur`an antara sebagai
berikut:
1.
Dalam surah
Alam Nashrah ayat 7 Allah berfirman:
فاذا فرغت فانصب
Maka apabila kamu telah selesai
(mengerjakan suatu pekerjaan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (pekerjaan)
yang lain
2. Dalam surah
al-Jumu`ah ayat 10 Allah berfirman
فاذا قضيت الصلوة فاتشروا فالرض
وابتغوا من فضل الله* واذكر الله كثيرا* لعلكم تفلحون*
Apabila telah melaksanakan shlat
(jum`at), bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu
ingatlah Allah supaya kamu beruntung.
3.
Rasulullah SAW menunjukkan bahwa waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan
diatur sedemikian rupa untuk berbagai kepentingan hidup di dunia dan di akhirat
kelak, sebagaimana hadisnya yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban dan Hakim dalam
Kitab Sahihnya.
على العاقل ما لم يكن مغلوبا على عقله
ان يكون له ساعة يناجى فيها ربه – وساعة يحاسب فيها نفقته – وساعة يفكرفيها فى صنع
الله – وساعة يخلوا فيها لحاجة فى المطعم والمشرب
Bagi yang berakal selama akalnya
belum dikalahkan oleh nafsunya, berkewajiban mengatur waktunya. Ada waktu yang
digunakan untuk bermunajat kepada Tuhannya, ada juga untuk muhasabah (menilai
diri sendiri). Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar
dan berpikir), dan ada pula yang digunakan untuk dirinya dan keluarganya guna
memenuhi kebutuhan makan dan minum.
Mukadimah
dakwatuna.com
- Miris
melihat respon umat Islam terhadap malam pergantian tahun. Mereka begitu gegap
gempita larut dalam histeria yang tidak jelas apa maksud dan tujuannya. Mereka
sudah merencanakan berbagai acara jauh sebelum datangnya malam tahun baru.
Di jalan-jalan, mal, terminal, taman kota, dan pusat rekreasi, mereka
berkumpul, bernyanyi, menari, ikhtilath laki-laki dan perempuan, anak-anak,
muda, tua, lalu meniup terompet sepuasnya. Semuanya serba tidak jelas. Tidak
ada nilai apa pun di dalamnya kecuali hura-hura, tidak ada makna apa pun di
dalamnya kecuali kesia-siaan. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing,
lelah, lalu meninggalkan shalat subuh karena bangun kesiangan. Lebih
parah lagi, dan ini bukan mustahil, bisa jadi ada yang menyambutnya dengan
pesta minuman keras, narkoba, dan seks.
Inilah dia
zaman ghurbah (keterasingan) Islam. Umat ini lebih dekat
dengan budaya yang bukan berasal dari agamanya. Bukan lahir dari rahim sejarah
pahlawannya. Bukan pula tercatat dalam kitab suci dan petunjuk
rasulNya. Mereka mengikutinya tanpa saringan sedikit pun, bahkan lebih dari
itu, mereka bangga dengannya, merasa modern, dan mengikuti zaman. Padahal
bagi seorang mukmin, tidak ada hari istimewa kecuali yang diistimewakan Allah
dan RasulNya. Tidak ada hari agung kecuali yang memang diagungkan oleh syariat
yang mulia. Tidak ada hari spesial kecuali yang di dalamnya diisi dengan
amal-amal kebajikan. Ada pun tahun baru, dia bukan apa-apa. Tidak ada nash,
tidak pula pandangan ulama, yang menyebutnya sebagai hari istimewa. Begitu
pula Valentine, Thanksgiving, April Mop, Halloween, dan semisalnya,
yang merupakan budaya kaum kuffar.
Allah Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تُطِيعُواْ
فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
كَافِرِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang
diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir
sesudah kamu beriman.” (QS. Ali ‘Imran (3): 100)
Dari Abu
Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ
وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Kalian akan
benar-benar mengikuti orang-orang sebelum masa kalian, sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai mereka melewati lubang dhabb (biawak
gurun, pen) kalian pun akan mengikutinya.” Kami berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau bersabda: “Siapa
lagi?” (HR. Bukhari No. 3456, 7320, Muslim No. 2669, Ibnu Hibban No. 6703,
Al Bazzar No. 8411, Al Hakim No. 106, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al
Kabir No. 5943, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No.
38531, dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam No.
675)
Di sisi
lain, Islam telah memiliki banyak hari istimewa bagi umatnya yang seharusnya
membuat mereka bahagia dan bangga, yang selayaknya mereka nantikan
kedatangannya karena di dalamnya memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki
hari-hari lainnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua…
Berikut ini
adalah hari-hari istimewa yang ada dalam Islam, dan cukuplah kita dengan
hari-hari istimewa milik kita sendiri.
1. Hari
Senin dan Kamis
Apa saja
keistimewaannya?
- Hari
diperiksanya amal manusia
Dari Abu
Hurairah Radhilallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ
مَرَّتَيْنِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ
Diperiksa
amal-amal manusia pada setiap Jumat (baca: setiap pekan) sebanyak dua kali;
hari senin dan hari kamis. (HR. Muslim No. 2565)
- Hari
dianjurkannya puasa
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ
فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Amal-amal
manusia diperiksa setiap hari Senin dan Kamis, maka saya suka ketika amal saya
diperiksa saat saya sedang berpuasa. (HR. At Tirmidzi No. 747, katanya: hasan
gharib. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahih
wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 747)
- Hari
dibukanya pintu-pintu surga dan diampunkannya hamba
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ
وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا
إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا
هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا
هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
“Pintu-pintu
Surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, maka saat itu akan diampuni semua
hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, kecuali seseorang
yang antara dirinya dan saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan:
‘Tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai,
tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai,
tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai.” (HR.
Muslim No. 2565, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 411, Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6626)
- Senin
adalah hari lahir, hari wafat, dan hari diutusnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan menerima wahyu pertama
Dari Abu
Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ
يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
Nabi ditanya
tentang hari senin. Beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku
diutus menjadi rasul, atau diturunkan kepadaku (wahyu).” (HR. Muslim No.
1162)
Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa dia ditanya:
أَيِّ يَوْمٍ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ
Hari apakah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat? Beliau
menjawab: “Hari senin.”(HR. Bukhari No. 1387)
- Kamis
adalah hari yang nabi sukai untuk bepergian
Dari Ka’ab
bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا أراد أن يسافر
لم يسافر الا يوم الخميس
Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika hendak safar, Beliau tidak
bersafar melainkan pada hari kamis.(HR. Ahmad No. 27178. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No.
27178)
- Kamis
adalah hari disebarkannya Ad Dawwab (hewan)
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ
Allah
membanyakkan Ad Dawwab di bumi pada hari Kamis.(HR. Muslim No.
2789)
2. Hari
Jumat
Apa saja
keistimewaannya?
- Dijelaskan
dalam riwayat berikut lima keutamaannya:
عَنْ أَبِي لُبَابَةَ بْنِ عَبْدِ الْمُنْذِرِ
قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ سَيِّدُ الْأَيَّامِ وَأَعْظَمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَهُوَ أَعْظَمُ
عِنْدَ اللَّهِ مِنْ يَوْمِ الْأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ فِيهِ خَمْسُ خِلَالٍ
خَلَقَ اللَّهُ فِيهِ آدَمَ وَأَهْبَطَ اللَّهُ فِيهِ آدَمَ إِلَى الْأَرْضِ
وَفِيهِ تَوَفَّى اللَّهُ آدَمَ وَفِيهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا
الْعَبْدُ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ حَرَامًا وَفِيهِ تَقُومُ
السَّاعَةُ مَا مِنْ مَلَكٍ مُقَرَّبٍ وَلَا سَمَاءٍ وَلَا أَرْضٍ وَلَا رِيَاحٍ
وَلَا جِبَالٍ وَلَا بَحْرٍ إِلَّا وَهُنَّ يُشْفِقْنَ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
Dari Abu
Lubabah bin Abdil Mundzir, dia berkata: Bersabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya hari Jumat adalah Sayyidul Ayyam (pimpinan
hari-hari), keagungannya ada pada sisi Allah, dan dia lebih agung di sisi Allah
dibanding hari Idul Adha dan Idul Fitri. Padanya ada lima hal istimewa: pada
hari itu Allah menciptakan Adam, pada hari itu Allah menurunkan Adam ke bumi,
pada hari itu Allah mewafatkan Adam, pada hari itu ada waktu yang tidaklah
seorang hamba berdoa kepada Allah melainkan akan dikabulkan selama tidak
meminta yang haram, dan pada hari itu terjadinya kiamat. Tidaklah
malaikat muqarrabin, langit, bumi, angin, gunung, dan lautan, melainkan mereka
ketakutan pada hari Jumat.”(HR. Ibnu Majah No. 1083. Ahmad No. 15547,
Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 4511, Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman No. 2973, Ibnu Abi Syaibah dalam Al
Mushannaf No. 817, Al Bazzar No. 3738. Dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahihul Jami’ No. 2279)
- Dianjurkan
membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat:
عن ابي سعيد الخدري ان النبي صلى الله عليه وسلم قال
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ
مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
Dari Abu
Said Al Khudri bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat, maka
dia akan disinari oleh cahaya sejauh di antara dua
Jumat.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al
Kubra No. 5792, Al Hakim dalam Al Mustadrak No.
3392, katanya: shahih. Dishahihkan pula oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ No. 6470)
- Dibebaskan
dari fitnah kubur bagi yang wafat pada malam Jumat dan hari Jumat
Dari
Abdullah bin Amr, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ
لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
Tidaklah
seorang muslim yang wafat pada hari Jumat atau malam Jumat, melainkan Allah
akan melindunginya dari fitnah kubur. (HR. At Tirmidzi No. 1073, Ahmad No. 6582, Ath
Thahawi dalam Syarh Musykilul Aatsar No. 277)
Syaikh Al
Albani Rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Dikeluarkan
oleh Ahmad (6582-6646) melalui dua jalan dari Abdullah bin Amr, dan oleh At
Tirmidzi melalui salah satu dari dua jalur, dan hadits ini memiliki syawahid (beberapa
penguat) dari jalur Anas, Jabir bin Abdullah, dan selain keduanya. Maka, hadits
ini dengan kumpulan semua jalurnya adalah hasanatau shahih.” (Lihat Ahkamul
Jazaiz, Hal. 35)
Selain
disebutnya Senin, Kamis, dan Jumat, disebutkan pula oleh Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa semua hari yang tujuh memiliki peristiwanya
sendiri.
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِيَدِي فَقَالَ خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ التُّرْبَةَ يَوْمَ
السَّبْتِ وَخَلَقَ فِيهَا الْجِبَالَ يَوْمَ الْأَحَدِ وَخَلَقَ الشَّجَرَ يَوْمَ
الِاثْنَيْنِ وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وَخَلَقَ النُّورَ
يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَخَلَقَ
آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَام بَعْدَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فِي آخِرِ
الْخَلْقِ فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ
إِلَى اللَّيْلِ
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memegang tangku lalu bersabda: “Allah ‘Azza
wa Jalla menciptakan tanah pada hari Sabtu, dan menciptakan padanya
gunung-gunung pada hari Ahad, menciptakan pepohonan pada hari Senin,
menciptakan sesuatu yang dibenci pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari
Rabu, menyebarkan hewan melata pada hari Kamis, menciptakan Adam ‘Alaihissalam setelah
Ashar pada hari Jumat, di akhir penciptaan pada akhir waktu-waktu Jumat antara
Ashar menuju malam. (HR. Muslim No. 2789)
3. Hari
‘Asyura (9 dan 10 Muharram)
Berikut ini
keistimewaannya:
- Hari
diselamatkannya Nabi Musa ‘Alaihissalam dan Bani Israel dari
kejaran Fir’aun dan tentaranya
Dari Ibnu
Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فرأى اليهود تصوم
عاشوراء.
فقال: ” ما هذا؟ ” قالوا: يوم صالح، نجى الله فيه موسى
وبني السرائيل من عدوهم، فصامه موسى فقال صلى الله عليه وسلم: ” أنا أحق بموسى
منكم ” فصامه، وأمر بصيامه
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi
berpuasa ‘Asyura. Beliau bertanya: “Apa ini?” mereka menjawab: “Ini hari baik,
Allah telah menyelamatkan pada hari ini Musa dan Bani Israel dari musuh mereka,
maka Musa pun berpuasa.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Saya lebih berhak terhadap Musa dibanding kalian.” Maka, beliau pun berpuasa
dan memerintahkan untuk berpuasa (‘Asyura).”(HR. Muttafaq ‘Alaih)
- Hari
dianjurkannya berpuasa
Dari Abu
Qatadah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى
اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Dan
berpuasa ‘Asyura, sesungguhnya saya menduga atas Allah bahwa dihapuskannya dosa
setahun sebelumnya.” (HR. Abu Daud No. 2425, Ibnu Majah No. 1738. Syaikh
Al Albani mengatakan shahih dalam Al Irwa, 4/111, katanya: diriwayatkan
oleh Jamaah kecuali Al Bukhari dan At Tirmidzi. Shahihul
Jami’ No. 3806)
Berkata Al
Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil
yang ada tentang puasa ‘Asyura:
وعلى هذا فصيام عاشوراء على ثلاث مراتب : أدناها أن يصام
وحده ، وفوقه أن يصام التاسع معه ، وفوقه أن يصام التاسع والحادي عشر والله أعلم .
“Oleh karena
itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan: 1. Paling rendah yakni berpuasa
sehari saja (tanggal 10). 2. Puasa hari ke-9 dan ke-10. 3. Paling
tinggi puasa hari ke-9, 10, dan ke-11. Wallahu A’lam” (Fathul
Bari, 6/280. Lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/450)
4. Ayyamul
Bidh (tanggal
13,14,15 tiap bulan Hijriyah)
Ayyamul
bidh artinya
hari-hari yang putih terang, karena saat itu hari di waktu bulan
sedang purnama. Ini juga hari-hari istimewa dalam Islam.
- Saat
itu dianjurkan bagi kita untuk berpuasa
Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى
وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Kekasihku
(Nabi) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku tiga
hal: berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat dua rakaat ketika Dhuha, dan
shalat witir sebelum tidur.(HR. Bukhari No. 1981, Muslim No. 721. Lafaz ini
adalah milik Bukhari)
Kapankah
tiga hari itu? Dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ الْبِيضَ ثَلَاثَ
عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk berpuasa dalam satu
bulannya sebanyak tiga hari, ayyamul bidh: tanggal 13, 14, dan
15.(HR. An Nasa’i No. 2422, 2423, lihat juga dalam As Sunan Al Kubranya
An Nasa’i No. 2730, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3848,
Ibnu Hibban No. 943, lihat Mawarid Azh Zham’an. Dihasankan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No.673)
- Nilai
puasanya sama seperti puasa Ad Dahr (sepanjang tahun)
Dari Jarir
bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda:
صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ
الدَّهْرِ وَأَيَّامُ الْبِيضِ صَبِيحَةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ
وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Berpuasa
tiga hari setiap bulannya, adalah puasa sepanjang tahun, dan hari ayyamul bidh
yang terang benderang itu adalah pada hari 13, 14, dan 15. (HR. An Nasa’i No. 2420.
Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam At Ta’liq Ar Raghib, 2/84)
5. Hari Idul
Fitri (1 Syawwal) dan Idul Adha (10 Dzulhijah)
Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika hari Id:
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Sesungguhnya
setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya
kita.” (HR. Bukhari No. 952, Muslim No. 892)
Dari Anas
bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ
سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ
أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Dahulu
orang jahiliyah memiliki dua hari untuk mereka bermain-main pada tiap
tahunnya.” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang
ke Madinah, dia bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang kalian bisa
bermain-main saat itu. Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik
dari keduanya, yakni hari Fithri dan hari Adha.” (HR. An
Nasa’i No. 1556, lihat juga As Sunan Al Kubra No. 1755)
Al Hafizh
Ibnu Hajar mengatakan hadits ini sanadnya shahih. (Fathul
Bari, 3/371). Syaikh Al Albani juga menshahihkannya. (Ash
Shahihah No.2021)
Dua hari
raya inilah hari bagi umat Islam untuk bersenang-senang dan bermain,
sebagaimana yang nabi alternatifkan dalam hadits Anas bin Malik di atas.
6. Enam hari
di Bulan Syawwal
Pada enam
hari di bulan Syawwal kita dianjurkan untuk berpuasa setelah kita menunaikan
puasa Ramadhan. Keutamaannya adalah senilai dengan puasa setahun penuh.
Dari Abu
Ayyub Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ
شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang
siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian menyusulnya dengan berpuasa enam hari di
bulan Syawal, maka seakan dia berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim
No. 1164, At Tirmidzi No. 759, Abu Daud No. 2433, Ibnu Majah
No. 1716, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2866, Al
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8214, dan As Sunan
As Shaghir No. 1119, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No.
3908, 3909, 3914, 3915, Abdu bin Humaid dalam Musnadnya No. 228,
Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 1945, Al
Baghawi dalam Syarhus SunnahNo. 1780)
Kapankah
enam hari Syawwal itu? Imam At Tirmidzi Rahimahullah menceritakan:
وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُبَارَكِ أَنْ تَكُونَ سِتَّةَ
أَيَّامٍ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ
قَالَ إِنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُتَفَرِّقًا فَهُوَ جَائِزٌ
Imam Ibnul
Mubarak memilih berpuasa enam hari itu di awal bulan. Diriwayatkan dari Ibnul
Mubarak bahwa dia berkata: “Berpuasa enam hari bulan Syawal secara
terpisah-pisah boleh saja.” (Lihat Sunan At Tirmidzi komentar
hadits No. 759)
Syaikh
Sayyid Sabiq -Rahimahullah rahmatan waasi’ah- berkata:
وعند أحمد: أنها تؤدى متتابعة وغير متتابعه، ولا فضل
لاحدهما على الاخر. وعند الحنفية، والشافعية، الافضل صومها متتابعة، عقب
العيد.
Menurut Imam
Ahmad: bahwa itu bisa dilakukan secara berturut-turut dan tidak berturut-turut,
dan tidak ada keutamaan yang satu atas yang lainnya. Menurut Hanafiyah dan
Syafi’iyah adalah lebih utama secara berturut-turut, setelah hari raya. (Fiqhus
Sunnah, 1/450)
Syaikh
‘Athiyah Shaqr Rahimahullah mengatakan:
وهذا الفضل لمن يصومها فى شوال ، سواء أكان الصيام فى
أوله أم فى وسطه أم فى آخره ، وسواء أكانت الأيام متصلة أم متفرقة ، وإن كان
الأفضل أن تكون من أول الشهر وأن تكون متصلة . وهى تفوت بفوات شوال .
Keutamaan
ini adalah bagi yang berpuasanya di bulan Syawal, sama saja apakah di awalnya,
di tengah, atau di akhirnya, dan sama pula apakah dengan hari yang berturut
atau dipisah-pisah. Hanya saja lebih utama di awal bulan dan secara bersambung.
Anjurannya berakhir jika sudah selesai bulan Syawal. (Fatawa
Darul Ifta Al Mishriyah, 9/261)
7. Sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijah
Disebutkan
dalam Al Quran:
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)
Demi fajar, dan
malam yang sepuluh. (QS.
Al Fajr (89): 1-2)
Imam Ibnu
Katsir Rahimahullah menjelaskan maknanya:
والليالي العشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن
عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغير واحد من السلف والخلف.
(Dan demi
malam yang sepuluh): maksudnya adalah sepuluh hari pada Dzulhijjah.
Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubeir, Mujahid, dan lebih dari satu
kalangan salaf dan khalaf. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar
Ath Thayyibah)
Ada juga
yang mengatakan maksudnya adalah sepuluh hari awal Muharram, ada juga ulama
yang memaknai sepuluh hari awal Ramadhan. Namun yang benar adalah pendapat yang
pertama. (Ibid) yakni sepuluh awal bulan Dzulhijjah.
Keutamaannya
pun juga disebutkan dalam As Sunnah, bahwa ibadah saat itu senilai dengan mati
syahid. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ
قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ
بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
“Tidak ada
amal yang lebih afdhal dibanding amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya:
“Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak pula oleh jihad, kecuali seseorang
yang keluar untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan
sesuatu apa pun (mati syahid).”(HR. Bukhari No. 969)
Imam Ibnu
Katsir mengatakan maksud dari “pada hari-hari ini” adalah sepuluh hari
Dzulhijjah. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Lihat Syaikh Sayyid
Ath Thanthawi, Al Wasith, 1/4497. Mawqi’ At Tafasir)
8. Hari
‘Arafah (9 Dzulhijah), Hari penyembelihan qurban – Idul Adha (10 Dzulhijah),
dan hari-hari taysrik (11,12,13 Dzulhijah)
Hari-hari
ini dengan tegas oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut
sebagai ‘iduna (hari raya kita).
Dari ‘Uqbah
bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ
التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari
‘Arafah, hari penyembelihan qurban, hari-hari tasyriq, adalah hari raya kita
para pemeluk Islam, itu adalah hari-hari makan dan minum. (HR. At Tirmidzi
No. 773, katanya: hasan shahih, Ad Darimi No. 1764, Syaikh Husein
Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al Hakim dalam Al
Mustadrak No. 1586, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim,
tetapi mereka tidak meriwayatkannya.”)
9. Tanggal
17 Ramadhan
Pada tanggal
ini ada dua peristiwa istimewa yang terjadi sebagaimana disebutkan dalam Al
Quran, yakni perang Badar (disebut dengan yaumul furqaan dan yaumut
taqal jam’an – hari bertemunya dua pasukan) dan turunnya Al Quran,
disebut dengan wa maa anzalnaa ‘ala ‘abdinaa (dan apa yang
Kami turunkan kepada hamba Kami).
Allah
Ta’ala berfirman
و اعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ
فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آَمَنْتُمْ بِاللَّهِ
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى
الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ketahuilah,
Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka
Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan
kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan,
Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. Al Anfal (8): 41)
Imam Ibnu
Jarir Rahimahullah meriwayatkan demikian:
قال الحسن بن علي بن أبي طالب رضي الله عنه: كانت ليلة
“الفرقان يوم التقى الجمعان”، لسبع عشرة من شهر رمضان.
“Berkata Al
Hasan bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu: Adalah ‘malam Al
Furqan hari di mana bertemunya dua pasukan’ terjadi pada 17
Ramadhan.” (Jami’ Al Bayan, 13/562. Muasasah Ar Risalah)
10. Lailatul
Qadar
Malam ini
terjadi pada sepuluh malam terakhir, kemungkinannya pada malam-malam ganjil
sebagaimana telah diketahui bersama. Keistimewaan malam ini diterangkan
dalam Al Quran:
{ إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا
أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ (3) تَنزلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ
أَمْرٍ (4) سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5) }
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu
Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya
untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit
fajar.” (QS. Al Qadr (97): 1-5)
Ada banyak
keutamaan Lailatul Qadar, di sini kami sebutkan dua saja:
Pertama, malam turunnya Al Quran. Lalu
bagaimana dengan 17 Ramadhan? Bukankah juga waktu diturunkannya Al Quran? Dan
bukankah keduanya merupakan waktu yang berbeda?
Maka untuk
mentaufiq (kompromi) antara dua keterangan ini (Lailatul Qadar dan
17 Ramadhan), sebagian ulama mengatakan Al Quran diturunkan dua kali tahap.
Tahap pertama diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke Baitul
Izzah di langit dunia pada Lailatul Qadar secara
langsung, tahap selanjutnya, diturunkan dari langit dunia ke kehidupan
manusia secara bertahap selama hampir 23 tahun, yang diawali pada 17 Ramadhan
di Gua Hira. Inilah pendapat Ibnu Abbas. Dengan demikian antara dua
ayat ini tidak ada pertentangan sama sekali, justru saling mendukung. Inilah
pendapat yang benar.
Berkata Imam Ibnu Jarir tentang
surat Al Qadar ayat 1:
إنا أنزلنا هذا القرآن جملة واحدة إلى السماء الدنيا في
ليلة القَدْر
“Sesungguhnya
Kami menurunkan Al Quran ini secara satu kesatuan menuju langit dunia pada
Lailatul Qadar.”
Beliau
mengutip dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
نزل القرآن كله مرة واحدة في ليلة القدر في رمضان إلى
السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شيئًا أنزله منه حتى جمعه.
“Seluruh Al
Quran diturunkan sekali turun pada Lailatul Qadar pada bulan
Ramadhan menuju langit dunia, jika Allah hendak ‘berbicara’ sesuatu di bumi Dia
menurunkannya sampai semuanya (lengkap).”
Beliau juga
mengatakan:
نزل القرآن في ليلة من السماء العليا إلى السماء الدنيا
جملة واحدة، ثم فُرِّق في السنين، وتلا ابن عباس هذه الآية:( فَلا أُقْسِمُ
بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ ) قال: نزل متفرّقا.
“Allah
menurunkan Al Quran pada malam (Al Qadar) dari langit paling tinggi menuju
langit dunia dalam satu kesatuan, lalu membaginya dalam waktu bertahun-tahun.”
Lalu, Ibnu Abbas membaca ayat: “Maka aku bersumpah dengan masa
turunnya bagian-bagian Al-Quran.” Artinya: Al Quran turun secara
terbagi-bagi.
Asy
Sya’bi Rahiallahu ‘Anhu mengatakan:
نزل أول القرآن في ليلة القدر.
“Allah
menurunkan Al Quran pertama kali pada Lailatul Qadar.”
Dari Asy
Sya’bi juga:
بلغنا أن القرآن نزل جملة واحدة إلى السماء الدنيا
“Telah
sampai kepada kami bahwa Al Quran diturunkan dalam satu kesatuan ke langit
dunia.“ (lihat semua
dalam Jami’ Al Bayan, 24/531-532)
Kedua, nilai Lailatul Qadar lebih
baik dari seribu bulan.
Imam Mujahid Rahimahullah berkata
tentang ayat tersebut:
عملها وصيامها وقيامها خير من ألف شهر.
“Amal pada
malam itu, puasanya, dan qiyamul lailnya, lebih baik (nilainya) dari seribu
bulan.”
Imam Mujahid
juga menjelaskan:
كان في بني إسرائيل رجل يقوم الليل حتى يصبح، ثم يجاهد
العدوّ بالنهار حتى يُمْسِيَ، ففعل ذلك ألف شهر، فأنزل الله هذه الآية:( لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ
أَلْفِ شَهْرٍ ) قيام تلك الليلة خير من عمل ذلك الرجل.
“Dahulu pada
Bani Israil ada seorang laki-laki yang shalat malam hingga pagi hari, kemudian
dia pergi jihad melawan musuh pada siang harinya hingga sore, dan dia melakukan
itu hingga seribu tahun. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini: (Lailatul
Qadar lebih baik daripada seribu bulan), qiyamul lail pada malam itu lebih
baik dibanding amal laki-laki tersebut.” (Ibid)
Sementara
Amru bin Qais Al Mala’i Rahimahullah berkata:
عملٌ فيها خير من عمل ألف شهر.
“Amal pada
malam itu (nilainya) lebih baik dari amal seribu bulan.” (Imam Abu Ja’far
bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Quran, 24/
533)
Demikian.
Sebenarnya masih banyak waktu-waktu istimewa dalam Islam yang belum kami bahas
seperti peristiwa Isra Mi’raj dan hari kelahiran Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Insya Allah jika ada kesempatan akan kami bahas secara
khusus.
Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi Ajma’in.
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar