PENELITIAN SANAD HADITS
Kegiatan
penelitian hadis baik dari segi sanad maupun matan adalah
bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis yang sedang diteliti, diterima atau
tidak, shahih atau dhoif. Adapun faktor-faktor yang mendorong
ulama mengadakan penelitian sanad hadis yaitu: (1). Hadis sebagai sumber ajaran
agama islam (2). Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi (3). Munculnya
pemalsuan hadis (4). Proses penghimpunan (tadwin) hadis.[1]
A.
Pengertian Sanad
Sanad diartikan sebagai jalan yang dapat
menghubungkan hadis kepada nabi Muhammad saw. Dalam ilmu hadis sanad ini
merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dhoif-nya hadist,
andaikan salah seorang dalam sanad-sanad tersebut ada yang fasik atau
yang tertuduh pernah dusta, maka hadis tersebut dikatakan dhaif, hingga
tak dapat dijadikan hujjah untuk menentukan suatu hukum
Sanad memberi gambaran keaslian suatu
riwayat. Sebuah hadist dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah
penutur bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan sanad-nya ini disebut
thabaqah, signifikansi jumlah sanad dan penutur ini akan mempengaruhi
derajat hadis tersebut, jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadis terkait
dengan sanadnya adalah:
- Keutuhan sanad-nya
- Jumlahnya
- Perawi akhirnya
Bisa ditarik
kesimpulan bahwa sanad merupakan rantai penutur/perowi hadis. Sanad
terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadist tersebut
dalam bukunya (kitab al-hadits) hingga ke Rosulullah.
Arti Isnad
Sesudah Nabi
Muhammad saw wafat, para sahabat juga menyiarkan apa yang mereka dengar atau
yang mereka lihat dari Nabi saw, mereka menyiarkan kepada generasi yang hidup
pada masa mereka, yaitu generasi Tabi’in. kemudian generasi ini juga
menyiarkan apa yang mereka dengar dari generasi Sahabat, kepada generasi
selanjutnya yaitu Atba’ Taabi’in (para pengikut Tabi’in). dan
begitulah seterusnya, para Atba’ Tabi’in menyiarkan apa yang mereka
dengar dari Tabi’in kepada generasi sesudah mereka, sampai keada
generasi belakangan
Sistem
penyampaian berita dengan menyebut nara sumbernya seperti itu disebut isnad,
yang secara kebahasaan artinya menyandarkan. Sementara narasumber berita ini
disebut rawi (periwayat), karena ia meriwayatkan berita itu dari orang
lain kepada orang lain pula. Dari narasumber yang pertama – dalam hal ini
adalah Nabi saw sendiri–sampai nara sumber terakhir akan terbentuk silsilah
atau jalur periwayatan yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan sanad
Usaha
seorang ahli hadis dalam menerangkan suatu hadis yang diikutinya dengan
penjelasan kepada siapa hadis itu disandarkan, maka ini disebut meng-isnad-kan
hadis. Hadis yang telah disandarkan oleh si-musnid (orang yang meng-isnad-kan)
disebut dengan hadis musnad
B. Melakukan
Al-I’tibar
Sebelum
dilakukannya al-I’tibar terlebih dahulu dilakukan kegiatan takhrij[2] hadis sebagai langkah awal penelitian
untuk hadis yang akan diteliti, maka seluruh sanad hadis dicatat dan
dihimpun untuk kemudian dilakukan kegiatan i’tibar.
Pengertian Takhrij
Tahrij dalam bahasa memiliki beberapa arti,
yaitu al-istinbath artinya mengeluarkan, al-tadrib artinya
melatih atau pembiasaan dan al-tarjih artinya menghadap. Sedangkan
menurut istilah adalah takhrij dalam hubungannya dengan kegiatan
penelitian hadis lebih lanjut, yaitu takhrij berarti penelusuran atau pencarian
hadis pada berbagai kitab-kitab koleksi hadis sebagai sumber asli dari hadis
yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap
matan dan matarantai sanad yang bersangkutan.
- Arti dan kegunaan Al-I’tibar
Kata al-i’tibar
merupakan masdar dari kata اعتبر (i’tabaro). Menurut bahasa, arti al-i’tabaro
adalah”peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui
sesuatunya yang sejenis”.
Menurut
istilah ilmu hadis, Al-I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad
yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad-nya
tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad
yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah
tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud
Dengan
dilakukannya al-i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad
hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.
Jadi, kegunaan al-i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad
hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat
yang berstatus mutabi’ atau syahid (dalam istilah ilmu hadis
biasa diberi kata jamak dengan syawahid) ialah periwayat yang berstatus
pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat nabi. Melalui al-i’tibar
akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti memiliki mutabi’
dan syahid ataukah tidak.[3]
- Pembuatan skema sanad
Dengan
demikian, untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-I’tibar,
diperlukan pembuatan skema seluruh matarantai sanad hadis yang akan
diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat
perhatian, yakni:
1)
Jalur seluruh sanad, artinya dalam melukiskan semua jalur sanad,
garis-garisnya harus jelas, sehingga dapat dibedakan antara jalur matarantai sanad
satu dengan yang lain.
2)
Nama-nama periwayat untuk seluruh matarantai sanad, artinya nama-nama
perawi yang akan dicantumkan itu, harus lengkap, meliputi seluruh nama, mulai
dari perawi pertama (yaitu sahabat yang menerima langsung dari Nabi) sampai
pada mutakharrijnya (seperti Bukhari, Muslim dan lainnya)
3)
Metode periwayat hadis yang digunakan oleh masing-masing periwayat, sebab
metode yang dipergunakan oleh masing-masing beragam, sehingga pencantuman
kode-kode periwayatan hadis dalam skema harus dilakukan secara cermat dan
hati-hati, sebab metode yang dipergunakan oleh para perawi itu bermacam-macam.
Contoh
:
…………من رأى منكم منكرا
Dalam
melakukan penelitian hadis ini, yang harus dilakukan lebih dahulu adalah
melacaknya dari berbagai macam kitab koleksi para kolektor hadis, diantaranya
adalah pada kitab-kitab sbb:
1)
Shahih Muslim, Juz: 1 hal 69
حدثنا أبو بكر بن ابى شيبة حدثنا وكيع عن سفيان.خ-
وحدثنا محمد بن المثنى. حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة كلاهما عن قيس بن مسلم عن
طارق بن شهاب وهذا حديث أبى بكر. فقال: أول من بدأ بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة
مروان. فقام إليه رجل. فقال: الصلاة قبل الخطبة. فقال: قد ترك ماهنالك. فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى ما
عليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من راى منكم منكرا فليغيره بيده
فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضهف الإيمان (أخرجه مسلم)
2)
Sunan al-Turmudzi, Juz: III, hal: 317-318
حدثنا بندار أخبرنا عبد الرحمن بن مهدى أخبرنا سفيان عن
قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال: أول من قدم الخطبة قبل الصلاة مروان. فقال
لمروان: خالفت السنة. فقال: يافلان ترك ما هنالك فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى
عليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول: من راى منكرا فلينكره بيده ومن لم يستطع فبلسانه ومن لم يستطع فبقلبه وذلك
أضعف الإيمان. هذا حديث صحيح (أخرجه الترمذى)
3)
Sunan Abi Dawud, Juz: I, hal: 123
حدسنا محمد بن العلاء, اثنا أبو معويه ثنا الاعمش عن
عسماعيل ابن جاء عن أبي سعيد الحدري و عن قيس بن مسلم عن طا رق ابن شهاب. عن ابن
سعيد الحدري قال : اخرج مروان المنبر فى يوم عيد فبدأ بالخطبة قبل الصلاة. فقام
رجل فقال, يا مروان خالفت السنة اخرجت المنبر فى يوم عيد و لم يكن يخرج فيه وبدأت
بالخطبة قيل الصلاة, فقال ابو سعيد الحدري : من هذا ؟ قالوا فلان ابن فلان, فقال
أماهذا فقد قض ما عليه سمعت رسول الله صل الله عليه و سلم يقول, من رأى منكرا
فستطاع ان يغيره بيده فليغيره بيده فان لم يستطيع فبلسنه, فان لم يستطيع فبقلبه و
ذلك اضعف الايمان. ( سنن أبي داود)
حدسنا محمد بن العلاء وصناد بن السرى قال ثنا أبو معاويه
عن الأعمش عن اسمعيل بن رجاء عن أبي سعيد و عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب عن أبي
سعيد الحدرى , قال سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم يقول ( من رأى منكرا فاستطاع
أن يغيره بيده فليغيره بيده )
وقطع هناد بقيه الحديس ( وفاه ابن العلاء)
فان لم يستطيع فبلسانه, فان لم يستطيع (بلسانه) فبقلبه,
ذلك أضعف الايمان
( سنن أبي داود : 123)
4)
Sunan Al-Nasa’I, Juz:VIII, hal:111-112
اخبرنا اسحق بن منصور و عمرو بن علي عن عبدالرحمن قال
حدثنا سفيان عن الأعمش عن أبى عمارعن عمرو بن شرحبيل عن رجل من أصحاب النبى صل
الله عليه و سلم قال. قال رسول الله صل الله عليه وسلم ملئ عمار ايمانا الي مشاشه. أخبرنا محمد بنى بشا ر قال حدثنا عبد
الرحمن قال حدثنا سفيان عن قيش بن مسلم عن طارق شهاب . قال أبوسهيد سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال من رأى منكرا فليغيره بيده فان لم يستطيع فبلسانه فان لم
يستطيع فبقلبه و ذلك اضعف الايمان. ( سنن النساءى)
حدسنا عبد الحميد بن محمد . قال حدثان مخلد قال حدسنا
مالك بن مغول عن قيش بن مسلم عن طارق بن شهابز. قال. قال أبو سعيد الخدرى سمعت
رسولله صل الله عليه وسلم يقول من رأى منكرا فيغيره بيده فقد برئ و لم يستطيع ان
يغير بيده فغيره بلسانه فقد برئ ومن لم يستطيع ان يغير بلسانه فغيره بلسانه فقد
برئ و ذلك اضعف الايمان. ( سنن النساءى)
5)
Sunan Ibnu Majah, Juz: I, hal: 406 dan Juz:II, hal:1330
حدثنا ابوكريب ثنا ابو معاوية عن الأعمش عن اسماعيل بن
رجاء عن أبيه عن ابى سعيد وعن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب عن ابى سعيد قال: أخرج
مروان المنبر يوم العيد فبدأ بالخطبة قبل الصلاة فقام رجل فقال: يامروان! خالفت
السنة أخرجت المنبر يوم عيد ولم يكن يخرج به وبدأت بالخطبة قبل الصلاة ولم يكن
يبدأبها فقال أبو سعيد: أما فقد قضى ما عليه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول : من راى منكرا فاستطاع أن يغيره بيده فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن
لم يستطع بلسانه فبقلبه وذلك أضعف الإيمان (سنن ابن ماجه)
6)
Musnad Ahmad, Juz: III, hal:10, 20, 49, 52, 53 dan 92
Adapun
contoh skemanya untuk perawi shahih muslim adalah sebagai berikut:
Nama
periwayat
|
Urutan
sebagai
periwayat
|
Urutan
sebagai sanad
|
|
Periwayat
I
Periwayat
II
Periwayat
III
Periwayat
IV
Periwayat
IV
Periwayat
V
Periwayat
V
Periwayat
VI
Periwayat
VI
Periwayat
VII
|
Sanad VI
Sanad V
Sanad IV
Sanad III
Sanad III
Sanad II
Sanad II
Sanad I
Sanad I
Mukharrijul
Hadits
|
Dengan
memperhatikan skema gambar tersebut akan mudah dilakukan kegiatan al-I’tibar.
Posisi masing-masing periwayat dan lambang-lambang periwayatan yang digunakan
mudah dikenali dengan baik, sehingga dapat diketahui bahwa perawi yang
berstatus syahid tidak ada, karena dalam kenyataanya Abu Sa’id merupakan
satu-satunya sahabat Nabi saw yang meriwayatkan hadis yang sedang diteliti.
Akan tetapi
untuk muttabi’, harus melihat pada masalah jika yang akan diteliti itu sanad
dari al-turmudzi, maka Ahmad bin Hanbal merupakan muttabi’ bagi bundar.
Bundar dalam hal ini sebagai sanad pertama bagi al-turmudzi, lalu pada sanad
ke-II, ke-III dan ke-V bagi sanad al-turmudzi, masing-masing memiliki muttabi’
yaitu waki’ al-a’masy sebagai muttabi’-nya sufyan. Sedang raja’ sebagai muttabi’-nya
thariq bin syihab.
Jadi muttabi’
bagi sanad al-turmudzi itu datang dari sanad al-Nasa’I, Ahmad bin
Hanbal, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah.[4]
C. Meneliti
Pribadi Periwayat dan Metode Periwayatannya
- Kaedah keshahihan sanad sebagai acuan
Untuk
meneliti hadis, diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah kaedah kesahihan
hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir.
Benih-benih kaedah kesahihan hadis telah muncul pada zaman Nabi dan zaman
sahabat Nabi, Imam Syafi’i, Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain-lain
Salah
seorang ulama hadis yang berhasil menyusun rumusan kaedah kesahihan hadis tersebut
adalah Abu ‘Amr ‘Usman bin Abdir-Rahman bin al-salah asy-syahrazuri, yang biasa
disebut Ibnus-Salah, adapun rumusannya adalah: Hadis shahih yaitu hadis
yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh
periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, (didalam hadis
itu tidak terdapat kejanggalan (syuzuz ) dan cacat (dhaif)
Berangkat
dari definisi tersebut dapatlah dikemukakan bahwa unsur-unsur kaedah keshahihan
hadis adalah sebagai berikut:
1)
Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrij-nya
sampai kepada Nabi
2)
Seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat adil dan dabit
3)
Hadis tersebut harus terhindar dari kejanggalan dan cacat
- Segi-segi pribadi periwayat yang diteliti
Ulama hadis
sependapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat
hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakanya dapat
diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah
keadilan dan ke-dabit-annya. Keadilan berhubungan dengan kualitas
pribadi, sedangkan ke-dabit-annya berhubungan dengan kapasitas intelektual.
Apabila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat tersebut
dinyatakan sebagai bersifat siqah, istilah siqah merupakan
gabungan dari sifat adil dan dabit.
- Kualitas pribadi periwayat
Kualitas
pribadi periwayat harus adil (adl) menurut bahasa ialah: pertengahan,
lurus, atau condong kepada kebenaran. Adapun kriteria adil menurut beberapa
ulama ada empat butir sifat adil itu ialah: (1).Beragama islam (2).Mukallaf
yakni balig dan berakal sehat (3).Melaksanakan ketentuan agama yakni
teguh dalam beragama tidak berbuat dosa besar, bi’ah, dan maksiat.
(4).Memelihara muru’ah yakni kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan
diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan kebiasaan.
- Kapasitas intelektual periwayat
Intelektual
periwayat harus memenuhi syarat keshahihan sanad hadis disebut
sebagai periwayat yang dhabit. Arti harfiah dhabit ada beberapa
macam, yakni dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang hafal
dengan sempurna. Ulama hadis memberikan rumusan sebagai berikut: 1.Periwayat
yang bersifat dabit (tam dabt) adalah periwayat yang (a)hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya dan (b)mampu meyampaikan dengan baik hadis yang
dihafalnya itu kepada orang lain 2.Periwayat yang bersifat dabit (dabit
plus) ialah periwayat yang selain disebutkan dibutir pertama diatas, juga
dia mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya itu.
Pada
umumnya, ulama membagi tata cara penerimaan riwayat hadis kepada delapan macam
:
a)
Al-sama’ min lafzh al-syaykh: penerimaan hadis dengan cara mendengar
langsung lafal hadis dari guru hadis
b)
Al-qira’ah ‘ala al-syaykh: periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada
guru hadis dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain
yang membacakannya dan dia mendengarkan.
c)
Al-jazah: guru hadis memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan
hadis yang ada padanya baik dengan lisan atau tertulis.
d)
Al-munawalah: cara ini ada dua macam yakni (a) al-munawalah
bersamaan dengan ijazah (b) al-munawalah yang tidak bersamaan dengan
ijazah yaitu pemberian kitab hadis oleh guru hadis kepada muridnya sambil
berucap:”ini hadis yang telah saya dengar” atau “ini hadis yang telah saya
riwayatkan” dan guru hadis tadi tidak menyatakan agar hadisnya itu
diruwayatkan.
e)
Al-mukatabah: seorang guru hadis menuliskan hadis yang diriwayatkannya
untuk diberikan kepada orang tertentu
f)
Al-I’lam: guru hadis memberitahukan kepada muridnya, hadis atau kitab
hadis yang telah diterimanya dari periwayatnya.
g)
Al-washiyyah: seorang periwayat hadis mewasiatkan kitab hadis yang
diriwayatkannya kepada orang lain.
h)
Al-wijadah: seseorang dengan tidak melalui cara al-sama; atau
ijazah mendapati hadis yang ditulis oleh perwayatnya.
Untuk
memperjelas penggunaan kata-kata atau pernyataan dalam periwayatan hadis yang
termuat dalam sanad, berikut ini dikemukakan Ikhtisar I[5]
3.Kitab-kitab
yang diperlukan
Sebelum
seseorang melakukan penelitian hadis, terlebih dahulu dia harus mengetahui dan
memahami dengan baik berbagai istilah, kaedah dan pembagian cabang ilmu hadis.
Adapun kitab-kitab yang diperlukan untuk kepentingan itu cukup banyak. Untuk
melakukan penelitian sanad hadis, terlebih dahulu harus dilakukan
kegiatan al-I’tibar. Dengan demikian, kitab-kitab yang membahas takhrijul
hadits dan kitab-kitab hadis yang ditunjuknya perlu dipelajari dengan baik
juga. Arah kegiatan penelitian sanad hadis tertuju kepada pribadi para
periwayat hadis dan metode periwayatan hadis yang mereka gunakan. Dengan
demikian kita-kitab rijal hadis yakni kitab-kitab yang membahas
biografi, kualitas pribadi, dan lain-lain berkenaan dengan para periwayat
hadis, sangat diperlukan.[6]
4.Menyimpulkan
hasil penelitian sanad
Langkah
berikutnya dalam penelitian sanad hadis ialah mengemukakan kesimpulan
hasil penelitian. Kegiatan menyimpulkan itu merupakan kegiatan akhir bagi
kegiatan penelitian sanad hadis.
Hasil
penelitian pada akhirnya harus berisi natijah (konklusi). Dalam
mengemukakan natijah harus disertai argument-argumen yang jelas. Semua
argument dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah
dikemukakan. Isi natijah untuk hadis yang dilihat dari segi jumlah
periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berstatus mutawatir
dan bila tidak demikian, maka hadis tersebut berstatus ahad.
Untuk hasil
penelitian hadis ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa
hadis yang bersangkutan berkualitas sahih, atau hasan, atau dha’if
sesuai dengan apa yang telah diteliti.
Daftar
pustaka
H.Ridlwan
Nasir, MA.Dr.Prof “ Ulumul Hadis dan Musthalah Hadis” jombang 2008
M.Syuhudi
Ismail Dr “Metodologi Penelitian Hadis Nabi” Jakarta, bulan bintang 1992
M.Syuhudi
Ismail Dr ”Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah kritis dan tinjauan dengan
pendekatan ilmu sejarah” Jakarta, bulan bintang, 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar