ALIRAN PEMIKIRAN MODERN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP STUDI ISLAM:
Oleh: Cecep Taufikurrohman
Pendahuluan
Bagi masyarakat Eropa, abad ke 15 Masehi adalah titik
kulminasi yang menghantarkan mereka kepada kemajuan serta berlepas diri dari
abad kegelapan (the dark age). Sebelum memasuki abad 15, masyarakat
Eropa mengalami berbagai guncangan sejarah, dimana peradaban mereka sangat
tertinggal dari anak benua lain, terutama jika dibandingkan dengan peradaban
Islam yang saat itu sedang berada di titik kejayaannya.
Perubahan nasib masyarakat Eropa tersebut dimulai
dengan terjadinya revolusi industri di Inggris dan Parncis, dimana geliat ilmu
pengetahuan semakin mulai terlihat, yang ditandai dengan ditemukannya berbagai
teknologi terapan yang menjadi cikal bakal kemajuan Eropa dan masyarakat dunia
pada umumnya. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak yang menghitung perubahan
di Eropa tersebut sebagai titik mula dimulainya abad modern.
Setahap demi setahap, kemajuan ilmu pengetahuan di
Eropa tidak dapat dibendung dan sangat deras, karena selain memanfaatkan
warisan keilmuan tradisi Yunani, Eropa juga belajar banyak dari peradaban Islam
yang baru saja runtuh dan telah banyak menymbangkan perkembangan luar biasa
dalam ilmu-ilmu eksakta.
Kemajuan di Eropa tersebut diiringi dengan semakin
maraknya gerakan anti-agama (baca: Gereja). Setidaknya ada dua faktor yang
telah menyebabkan masyarakat Eropa menjauhi agama: pertama, akibat
trauma kemunduran yang sebelumnya dialami masyarakat Eropa, dimana gereja
sangat mendominasi seluruh sisi kehidupan masyarakat. Kedua,
perkembangan ilmu-ilmu empiris yang sangat pesat, telah banyak mementahkan
doktrin-doktrin gereja yang banyak mengandung unsur irasionalitas.
Satu hal yang harus diingat, bahwa masa peralihan yang
dialami masyarakat Eropa dari the dark age menuju kepada peradaban
modern, ditopang oleh berbagai pemikiran yang berkembang saat itu, terutama
filsafat dan ilmu-ilmu eksakta, seperti terjadinya Aufklarung di Jerman.
Minimal ada empat faktor yang telah mengantarkan Eropa mencapai renaissance:
- Penerjemahan buku-buku hasil karya kaum Muslimin ke dalam bahasa Latin. Hal ini berlangsung antara abad 13 dan 14 Masehi. Pengaruh pemikiran Arab inilah yang telah memberi amunisi besar bagi masyarakat Barat untuk melanjutkan berbagai inovasi dan penemuan ilmiah ilmuwan Arab-Muslim.
- Ketika Turki berhasil menaklukkan Konsatntinovel pada tahun 1452 M, banyak ilmuwan Yunani yang hijrah ke Italia dan bekerjasama dengan komunitas yang sudah lama berusaha menghidupkan tradisi filsafat Platonis.
- Mulai banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu pengetahuan secara independen dan jauh dari tekanan gereja.[1]
Selain itu, kebangkitan Eropa tersebut mulai dirintis
semenjak 12 Masehi dan berlanjut hingga abad 15 sampai 16 Masehi yang ditandai
dengan:
- Kebangkitan dalam dunia sastra. Kebangkitan ini telah dirintis di Itali yang tercermin dalam tokoh-tokoh satra Itali yang di antaranya adalah Dante (1265-1321).
- Studi dalam bidang-bidang humaniora yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Eropa. Saat itulah, kebangkitan Eropa mulai merembes hingga masuk ke sebelah utara yang meliputi Jerman, Pancis dan Belanda.
- Gerakan reformasi agama yang dipimpin oleh Martin Luter, seorang pendeta di Jerman. Reformasi ini merembes ke wilayah-wilayah lain di Eropa, dan berhasil menanamkan sikap kritis terhadap gereja.
- Berkembangnya ilmu-ilmu alam melalui eksperimen yang di antaranya dilakukan oleh Copernicus (1473-15-43).[2]
Inilah awal mula kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa
yang mengantarkan mereka ke gerbang kemajuan.
Perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan serta
filsafat di Eropa, mengikuti perkembangan gaya hidup dan ideologi
masyarakatnya. Dari sinilah kita akan menemukan lahirnya berbagai aliran
pemikiran (baca: filsafat), yang pada beberapa abad kemudian banyak mepengaruhi
masyarakat Timur; dan di antaranya adalah umat Islam.
Peta Aliran Pemikiarn Modern
Pada dasarnya kita tidak dapat menggeneralisir peta
pemikiaran yang berkembang di era modern, maka—minimal—kita hanya dapat
melakukan pemetaan terhadap perkembangan pemikiran tersebut. Oleh sebab itu,
secara garis besar, peta pemikiran Barat Modern dapat diklasifikasi ke dalam
beberapa kategori: filsafat; agama, politik, ekonomi dan ilmu sosial.
Agar pembahasan tidak terlalu melebar, disini penulis
hanya akan mencoba memetakan pemikiran modern yang sangat berpengaruh dan
sering bersentuhan dengan pemikiran keagamaan dalam Islam.
Dengan tidak bermaksud menyederhanakan perkembangan
pemikiran filsafat modern, pada dasarnya perkembangan pemikiran politik,
ekonomi dan ilmu sosial di Barat, sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat.
Filsafatlah yang melahirkan berbagai metode ilmu pengetahuan, hingga ia
melahirkan teori-teori terapan dalam ilmu-ilmu eksakta yang saat ini berkembang
pesat di Barat.
a. Sejarah Pemikiran Filsafat Barat
Modern
Menurut para penulis sejarah filsafat, sejarah filsafat
dapat dibagi kepada tiga fase: zaman klasik, zaman pertengahan dan zaman
modern. Hanya saja, kita tidak akan menemukan kata sepakat untuk membatasi tiap
fase. Untuk sekedar memberikan gambaran perkembangan filsafat pada tiga fase
tersebut, tidak ada salahnya jika di sini penulis menggunakan kaca mata
sebagian penulis sejarah filsafat yang mengatakan bahwa sejarah zaman modern
filsafat Barat dimulai semenjak Renaissane pada akhir abad 15 atau awal abad 16
M sampai hari ini. Adapun zaman pertengahan adalah semenjak runtuhnya kekuasaan
Romawi Barat pada tahun 476 M hingga datangnya masa kebangkitan dan terjadinya
Renaissance. Adapun zaman klasik terjadi sebelum itu, termasuk era Yunani.
Idealnya, untuk dapat memahami peta pemikiran modern
tersebut, kita harus memulainya dari tiga fase sejarah pemikiran filsafat yang
telah membentuk sejarah peradaban dan kemajuan Barat. Hanya saja karena
beberapa keterbatasan, penulis tidak akan mengemukakannya terlalu jauh.
Secara umum, kelahiran filsafat Barat modern dimulai
oleh Roger Bacon dan Rene Descartes yang terkenal dengan Cogito ergu Sum-nya.
Kemunculan Descartes menandai berakhirnya hegemoni filsafat Skolastik yang
sangat kuat dipengaruhi gereja.
Setelah kemunculan Descartes, pada awal abad 17
Masehi, muncul para filosof rasionalis yang banyak mengambil teori “pengetahuan
fitri’ dari Descartes. Di antara mereka adalah: Spinoza, Leibniz dan Wolf.
Tidak jauh dari kemunculan mereka, pada abad yang sama muncullah kaum empiris
yang dikomandani oleh John Lock, George Barkeley dan David Hume. Saat itu juga,
lahir para filosof materialis yang untuk pertama kalinya disempurnakan oleh
Thomas Hobes. Beberapa tahun kemudian diikuti oleh kemunculan Immanuel Kant
yang mencoba melakukan kritik ulang terhadap ilmu dan filsafat yang mulai
berkembang pesat di zamannya. Setelah itu, pada abad 18 dan 19 M, di Barat
banyak bermunculan aliran-aliran filsafat lainnya, terutama di Inggris, Parncis
dan jerman, seperti idealisme, positivisme, empirisisme, materialisme dan lain
sebagainya.[3]
b. Pemikiran Barat Kontemporer dan
Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Menurut hemat penulis, dari sekian banyak aliran
pemikiran filsafat modern di Barat, di antaranya ada yang berkaitan secara
langsung dengan pemikiran dan studi keislaman. Selain itu, di antara persoalan
besar yang dihadapi masyarakat Barat adalah “pertikaian” antara filsafat dengan
agama. Dalam konteks ini, kita akan menemukan dua arus besar yang menjadi main
stream pemikiran sejarah filsafat Barat modern. Hanya saja dua arus besar
tersebut antara satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Dua arus tersebut
adalah arus yang senantiasa menjauhkan filsafat dari doktrin-doktrin agama,
terutama masalah metafisika. Arus ini di antaranya dipimpin oleh Hobes dan Hume
serta para filosof alam lainnya. Arus lainnya adalah mereka yang senantiasa
berupaya memadukan doktrin agama dengan filsafat, bahkan mereka mencoba mencapai
kebenaran agama melalui pintu metafisika. Arus ini di antaranya dipimpin oleh
Leibniz, Barkeley, Ficthe dan Hegel dll.
Arus pertama yang senantiasa berupaya menjauhkan agama
dari filsafat, melahirkan berbagai aliran pemikiran yang pada akhirnya membesarkan
paradigma materialistik dan atheistik. Adapun yang kedua, mereka inilah yang
mempertahankan eksistensi agama dalam pemikiran filsafat Barat.
Oleh sebab itu, berbagai aliran pemikiran yang saat
ini dihadapi oleh kaum Muslimin (terutama di Timur), banyak dimunculkan dari
aliran-aliran filsafat Barat. Di antara aliran tersebut adalah: Empirisisme,
positivisme dan materialisme yang banyak melahirkan pemikiran atheis.
Pada awalnya, pemikiran dalam filsafat
Barat—sebagaimana filsafat pada umumnya—berangkat dari upaya mencari hakikat
kebenaran yang sejati. Ia mulai mempertanyakan realitas dunia dan segala
fenomena yang ada di dalamnya. Ia juga mulai mempertanyakan makna “tahu” dan
“pengetahuan” bagi manusia. Dari manakah manusia dapat mengetahui? Apa saja yang
dapat diketahui?; dan bagaimanakah cara mengetahui? Inilah wilayah
epistemologis yang sering diperdebatkan oleh para filosof. Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas, menentukan paradigma berfikir serta bentuk
aliran filsafat. Ia bisa dinilai empirisis, positivis, materialis, atheis
ataupun theis.
Saat ini, hasil kreativitas masyarakat Barat dalam
mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian di antaranya
menjadi persoalan bagi masyarakat dunia, terutama kaum beragama (baca: Islam). Hal
ini disebabkan bahwa liberalisasi pemikiran yang dilahirkan di Barat, telah
menjadikan segala sesuatu sebagai hal yang “boleh”, selama ia dapat
diverifikasi dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Persoalannya muncul ketika
ia merembet masuk ke dalam wilayah metafisika. Karena segala sesuatu yang
bersifat metafisik tidak diverifikasi oleh indra, maka sebagian pemikir Barat
menegasikan keberadaan Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. Selain itu, kita juga
sering menemukan pengembangan ilmu pengetahuan tanpa batasan etika, sehingga
ketika teknologi kloning ditemukan, maka ia menjadi persoalan tersendiri bagi
kaum Muslimin.
Selain itu, kelahiran berbagai pemikiran filsafat di
Barat, sangat dilatarbelakangi oleh kondisi sosial politik masyarakat yang
dihadapinya. Oleh sebab itu, penolakan sebagian besar ilmuwan dan filosof Barat
kepada hal-hal yang berbau agama, bukan berarti mereka menolak kehadiran
seluruh agama. Saat itu, agama yang mereka tolak adalah agama yang tidak
memberikan kesempatan untuk ilmu; dan agama yang ajarannya selalu bertentangan
dengan penemuan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, penolakan Karl Marx terhadap
agama (baca: Kristen) adalah karena ia sangat kecewa dengan gereja yang saat
itu memberikan lahan subur untuk tumbuhnya kapitalisme di Eropa. Saat itu agama
hanya dijadikan sebagai alat penghibur masyarakat dan tidak memberikan solusi
yang adil bagi kaum ploretar.[4]
Saat ini, metode-metode filsafat bukan hanya digunakan
untuk pengembangan ilmu-ilmu eksakta, tetapi ia juga digunakan sebagai pisau
analisis untuk mengkaji berbagai cabang keilmuan lainnya, termasuk berbagai
studi tentang agama. Inilah yang dilakukan oleh para orientalis dalam setiap
kajian mereka tentang masyarakat timur, baik yang berkenaan dengan budaya
maupun agama. Satu hal yang cukup berbahaya serta menodai objektivitas ilmu
adalah ketika studi yang dikembangkan ini tidak hanya bertujuan untuk berkhidmah
pada ilmu, tetapi telah disusupi kepentingan politik seperti imperialisme dan
kolonialisme. Oleh sebab itu, seluruh cabang ilmu pengetahua yang berhasil
mereka kembangkan, digunakan untuk mempelajari masyarakat Timur, tetapi bukan
untuk mensejahterakan mereka. Ia digunakan untuk mencaplok mereka, baik dengan
kekuatan militer maupun ideologi.
Akibat dari upaya-paya tersebut, masyarakat Barat
bukan hanya menjual produk-produk iptek, tetapi juga mereka “mendakwahkan”
kultur (bahkan agama) yang mereka peluk. Akibatnya, masyarakat Timur bukan
hanya mengkonsumsi produk teknologi, tetapi juga harus menelan pil pait kultur
Barat yang bertentangan dnegan kultur Timur, bahkan merasa bangga mengikuti
Barat secara membabi buta.
Di antara pemikiran Barat yang saat ini dicangkokkan
ke dalam pemikiran keagamaan (baca: Islam) adalah liberalisasi pemikiran,
teologi inklusivisme, pluralisme, sekularisme, materialisme, Marxisme,
kapitalisme dan lain sebagainya.[5]
Pada dasarnya, ketika buah pemikiran Barat modern
tersebut dibawa ke dalam Islam, ia dapat menjadi unsur positif yang sangat
bermanfaat untuk pengembangan studi Islam, tetapi pada waktu yang bersamaan ia
juga dapat menjadi penyakit berbahaya. Terdapat banyak hal positif yang dapat
kita ambil dari metode pemikiran Barat modern, tetapi juga terdapat duri
yang—jika kita ingin—selamat, maka duri tersebut harus kita singkirkan dan
setelah durinya tersingkir, kita bisa menikmati dagingnya tanpa was-was
tertusuk duri.
Dengan kata lain, mengingat metode-metode tersebut
lahir di Barat yang memiliki kultur dan pandangan hidup yang berbeda dengan
Islam, maka Islam harus dijadikan sebagai “sabun” pembersih duri agar produk
pemikiran Barat tersebut steril. Yang jadi persoalan kita adalah ketika produk
Barat kita ekspor dan kita telan mentah-mentah tanpa melihat kondisi kita
sebagai masyarakat Timur Muslim, padahal saat masyarakat Eropa mengambil metode
pengembangan ilmu dari Islam, mereka juga tidak menelannya mentah-mentah.
Oleh sebab itu, jika kita sudah mensterilkan metode
Barat dari warna Barat, maka hasil studi mereka tentang agama dan masyarakat
dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya khazanah Islam. Hal seperti
inilah yang telah dilakukan oleh beberapa orientalis yang objektif ketika
mereka mengkaji Islam. Mereka dapat menghasilkan karya tentang Islam, padahal
umat Islam sendiri belum mencapai kesana. Selain itu, tidak akan ada pertentangan
lagi antara studi Islam hasil kajian orientalis dengan hasil umat Islam. Yang
akan bermasalah adalah ketika hasil kajian orientalis didompleng oleh
kepentingan Kristenisasi atau kolonialiasi. Oleh sebab itu, ketika di Barat
berbicara tentang kebebasan, maka kita dapat menerapkan kebebasan Barat dengan
ukuran al-Quran. Demikian pula ketika kita melihat isu-isu HAM, demokratisasi,
pluralisasi dan lain sebagainya.
Jika hal ini berhasil kita lakukan, maka suatu saat
kita tidak akan curiga dengan hasil kajian orientalis tentang Islam. Demikian
pula para pendakwah pemikiran Barat tidak akan direpotkan oleh resistensi
masyarakat Islam.
Wallahu ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar