“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”(QS. Al-Isra’: 1)
“Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 13-18)
Pada suatu malam yang dingin tanggal 27 Rajab, tepatnya 10 tahun setelah Rasulullah SAW menerima wahyu kenabian, Allah SWT. memberangkatkan hamba-Nya yang terkasih-Nya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian naik ke langit ke-7 menuju Sidratul Muntaha. Semuanya tentu tahu tentang peristiwa tersebut karena setiap tahunnya umat muslim di Indonesia memperingatinya. Tapi adakah di antara mereka yang mengetahui peristiwa tersebut kemudian memahami ‘kenapa Allah memberangkatkan seorang hamba-Nya yang bernama Muhammad SAW itu?’
Dan dalam tulisan berikut ini kita akan membahasnya secara singkat tentang hikmah di balik Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw. Kenapa kita harus membahasnya? Ada dua tujuan; Pertama, kita semua sepakat dan meyakini bahwa setiap kejadian dan peristiwa pasti ada hikmah yang terkandung tentunya bagi orang-orang yang berakal, kedua, dalam pembahasan ini diharapkan setelah membaca tulisan ini dapat meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT yang begitu besar kekuasaan-Na. Berikut hikmah yang dapat saya rangkum dari buku Sirah Nabawiyah.
1. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan yang nyata, bukan perjalanan ruhani/mimpi atau khayalan.
Sungguh tak bisa dibayangkan apabila perjalanan Isra’ Mi’raj yang Rasulullah jalankan merupakan hanya perjalanan ruhani alias hanya mimpi, karena jika hal itu yang terjadi maka perjalanan Isra’ Mi’raj tidak ada bedanya dengan wahyu-wahyu yang Rasulullah terima baik melalui bisikan Jibril maupun dari mimpi. Sehingga peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa dijadikan pembuktian keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sepulangnya Rasulullah dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj-nya, beliau mengumumkan tentang apa yang telah dialaminya semalam kepada kaumnya. Dan sebagaimana yang diceritakan oleh Rasulullah bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj tersebut sebuah perjalanan yang dilakukannya dengan jiwa dan ruhnya, maka seketika itu banyak dari kaum Quraisy yang menentang dan mencemoohnya dengan sebutan ‘gila’. Kaumnya beranggapan mana mungkin perjalanan dari Masjidil Haram yang di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di negeri Syam (Palestina) hanya dengan waktu semalaman, padahal mereka jika hendak ke negeri Syam untuk berdagang membutuhkan waktu hingga 1 bulan lamanya. Tak pelak peristiwa Isra’ Mi’raj yang menurut mereka tidak masuk akal membuat beberapa orang yang baru masuk Islam tergoyahkan keimanannya dan kembali menjadi murtad.
2. Isra’ Mi’raj adalah jamuan kemuliaan dari Allah, penghibur hati, dan pengganti dari apa yang dialami Rasulullah SAW ketika berada di Thaif yang mendapatkan penghinaan, penolakan dan pengusiran.
Sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi, Rasulullah SAW terus mengalami ujian yang sangat berat. Mulai dari embargo ekonomi hingga dikucilkan dari kehidupan sosial yang dilakukan oleh Kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib, kemudian cobaan yang sangat berat diterima oleh Rasulullah SAW adalah meninggalnya orang-orang yang terkasihinya dalam waktu yang berdekatan yaitu meninggalnya pamannya Abu Thalib bin Abdul Muthalib serta istrinya tercinta Khadijah yang selalu menemaninya dan mendukungnya dengan jiwa, raga dan hartanya dalam perjalanan dakwah Rasulullah. Lalu hingga pengusiran, penolakan dan penghinaan kepada apa yang Rasulullah dakwahkan kepada penduduk kota Thaif.
3. Isra’ bukanlah peristiwa yang sederhana. Tetapi peristiwa yang menampakkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang paling besar.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al-Isra’: 1 dan An-Najm: 13-18 bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan pembuktian dan menampakkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang paling besar. Peristiwa Isra’ Mi’raj mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang tidak bisa Allah lakukan, dan hal tersebut terkadang masih saja di antara kita yang meragukan tentang kekuasaan Allah yang sangatlah besar, sehingga membuat kita menjadi ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya.
4. Peristiwa Isra’ Mi’raj membuktikan bahwa risalah yang dibawa oleh Rasulullah adalah bersifat universal.
Perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram yang ada di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di Syam melintasi ribuan kilometer yang jauh dari Mekah tempat Rasulullah dilahirkan, hal ini Allah ingin membuktikan bahwa ajaran yang Rasulullah bawa bukan hanya untuk penduduk Mekah saja tetapi untuk seluruh wilayah yang ada di bumi ini. Setibanya Rasulullah SAW di Masjidil Aqsha, beliau memimpin shalat para Nabi dan Rasul-Rasul Allah. Hal tersebut menandakan bahwa baginda Rasulullah SAW merupakan pemimpin dan penghulu para Nabi dan Rasul yang telah Allah turunkan sebelumnya. Dan agama Islam beserta syariatnya yang Rasulullah bawa menjadi ajaran dan syariat yang berlaku untuk seluruh kaum dan umat manusia di seluruh dunia.
5. Dalam Isra’ Mi’raj diturunkannya perintah shalat wajib 5 kali dalam sehari.
Ketika Rasulullah sampai di Sidratul Muntaha dan menghadap kepada Allah, lalu Allah menurunkan syariat shalat 5 waktu kepada Rasulullah SAW dan kepada para umatnya. Dan perintah shalat yang Rasulullah terima menjadi perintah yang Rasulullah pegang erat dan Rasulullah teguhkan kepada umatnya agar jangan sampai umatnya melalaikannya, karena ibadah shalat menjadi kunci utama diterimanya amalan-amalan umatnya yang lainnya hingga sampai Rasulullah mewasiatkannya pada detik-detik meninggalnya Rasulullah saw.
Demikianlah peristiwa Isra’ Mi’raj ini Allah SWT memperjalankannya kepada baginda Rasulullah SAW, hal tersebut sesungguhnya untuk dapat diketahui oleh orang-orang yang beriman dan berakal. Semoga ini menjadi hikmah yang besar buat kita semua.
Transformasi Nilai-Nilai
Filosofis Isra’ Dan Mi’raj Dalam Kehidupan
Dalam tulisan ini penulis tidak memaparkan secara
spesifik sebagaimana para mufassir dalam menjelaskan ayat tentang isra’ dan
mi’raj sebagaimana pada Q.S. al-Isra’[17]: 1. Melainkan pada tulisan ini lebih
menitik berat pada nilai-nilai filosofis dan makna simbolik yang terkandung
dalam peristiwa isra’ dan mi’raj. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, memang
banyak peristiwa yang secara psikologis membuat Nabi Muhammad s.a.w. bersedih,
sampai saking sedihnya sejarawan mencatat tahun tersebut sebagai ‘amm
al-huzn (tahun kesedihan). Mula-mula Nabi Muhammad s.a.w. kehilangan
pamannya, Abu Thalib yang selama ini membela Nabi Muhammad s.a.w. melalui
pengaruh ketokohannya. Berikutnya Khadijah, istri tercintanya yang selama ini
selalu mendukungnya dan menanamkan ketenangan kepada beliau, juga wafat. Hal
ini menjadi gangguan kaum musyrik semakin menjadi-jadi, sehingga beliau pindah
dalam berdakwah, yaitu ke Thaif. Namun di sanapun beliau ditolak. Selama
berdakwah 13 tahun di Makkah, pengikutnya masih sangat terbatas. Lengkap sudah
kesedihan beliau. Pada situasi itulah, Ia berdo’a dan do’anya dikabulkan,
sebagai bentuk bahwa Allah selalu bersama orang-orang baik, seakan-akan Allah
berfirman: “Kalau penduduk bumi menolak kehadiranmu dan menentang ajaranmu,
maka tidak demikian dengan penduduk langit. Dari sini kemudian Nabi Muhammad
s.a.w. di isra’kan dan dimi’rajkan. Dengan demikian, dalam isra’ dan
mi’raj ini terkandung makna rekreasi untuk menyenangkan Nabi Muhammad
s.a.w.[1]
Setelah wafatnya orang-orang yang dicintainya
Allah, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, dalam kitabnya fiqhu al-Sirah,
menyatakan, “Adalah suratan taqdir Rasulullah bila orang-orang terkasih beliau,
seperti Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, telah pergi dari kehidupan
beliau. Orang-orang yang selama itu begitu tulus, jernih dan setia membela dan
memberi perlindungan kepadanya.” Adapun hikmah dari kepergian orang-orang
terkasih belaiu itu adalah:
Pertama, bahwa pertolongan,
perlindungan, dan kemenangan semuanya hanya datang dari Allah ‘Azza wa
Jalla. Allah telah berjanji untuk menolong dan melindungi Rasul-Nya dari
aniaya kaum musyrik dan para musuh, baik dari kalangan manusia ada yang
menlindungi Rasulullah maupun tidak Allah pasti menjaga Rasulullah dari aniaya
manusia kafir maupun musyrik sehingga datang pertolongan dan kemenangan bagi
Islam.
Kedua,
bukanlah maksud
dari perlindungan dan pertolongan manusia itu berarti tidak
adanya hinaan,
penistaan, atau bahkan azab yang dialami dan menimpa Rasulullah, seperti
yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّرسُوْلُ بَلِّغْ مَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ
“Hai
rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Mâidah [5]:
67). Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari tindak pembunuhan, pun
usaha-usaha bengis musuh Islam dalam menghalangi dakwah islamiyah.[2] Di ayat yang lain Allah berfirman,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَ # فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السَّاجِدِيْنَ
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui,
bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang
bersujud (shalat).” (QS al-Hijr [15]: 97-98).[3]
Wafatnya orang-orang terkasih Rasulullah membuat
hati beliau sedih dan berduka. Namun jika hal itu dikaitkan dengan sebab
terjadinya isra’ dan mi’raj sesungguhnya sangatlah tidak sepadan dengan
keagungan nilai-nilai mi’raj itu sendiri. Peristiwa isra’ dan mi’raj yang
dialami Rasulullah adalah sebauh momen kehidupan terbesar yang dialami
Rasulullah sepanjang hidupnya, dan hikmah isra’ dan mi’raj lebih agung dan
mulia ketimbang hanya sekedar untuk menghibur dan memperjalankan Rasulullah
dari kepedihan yang menimpa beliau. Dalam kondisi psikologis seperti itu,
sah-sah saja jika ada para pemikir, juga para ulama yang mengtakan bahwa
perjalanan agung tersebut adalah sebagai usaha pelipur lara bagi Rasulullah.
Numun hal itu bukanlah maksud utama (tujuan pokok) dari perjalanan isra’ dan
mi’raj. Kesedihan yang ada hanyalah sebuah unsur dan bumbu-bumbu perjalanan
yang ada dan direnungkan adalah mencari hikmah yang tersirat dua ayat
al-Qur’an:
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ
“…Agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS al-Isrâ’ [17]: 1)
لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS al-Najm [53]: 18)
Melalui ayat ini, Abu Majdi Haraki menjelaskan
sebagaimana yang ia kutip dari Imam Qusyairi mengatakan, “Allah memperlihatkan
kepada Muhammad ayat-ayat-Nya, lalu sifat-sifat-Nya. Kemudian dia Dia
menyingkap akan hakikat Dzat-Nya.” Lebih lanjut Imam Qusyairi, “Di antara
ayat-ayat Allah yang diperlihatkan kepada Muhammad s.a.w. pada malam tersebut
adalah bahwa hakikat Dzat-Nya tidak menyerupai segala sesuatu pun, baik yang
terkait dengan dimensi kekuasaan dan kesempurnaan, atau kemulian dan
kebesaran-Nya, berikut puja dan puji-Nya, serta keagungan Dzat-Nya. Pada malam
itu, Allah ‘Azza wa Jalla juga menunjukkan kepada Muhammad akan
hakikat diri-Nya, bahwa diri-Nya tidak sama dengan para hamba dan makhluk-Nya
yang lain, baik dari segi kenabian, risalah, kemulian, ketinggian maqam,
kebesaran diri, maupun kedudukannya di mata Allah. Adalah tanda kekuasaan Allah
yang paling besar, dalam ayat di atas (QS al-Najm [53]: 18) keabadiannya (baca:
Rasulullah) dalam bertemu dengan Dzatnya, yang menumbuhkan ruh ke-terutus-an
dalam diri Rasullah, serta menjaga ruh ke-terutus-an itu hingga datang hari
kiamat kelak.[4]
Peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad s.a.w.
merupakan peristiwa besar yang setiap tahunnya sebagian dari umat Islam
memeringatinya –terlepas dari perkara bid’ah atau tradisi-. Peristiwanya
sendiri terjadi pada saat Nabi Muhammad s.a.w. berusia 53 tahun, kira-kira satu
tahun lima bulan menjelang hijrahnya ke Madinah. Oleh karena itu, pada sisi
lain, isra’ dan mi’raj terjadi dalam rangka mempersiapkan Nabi Muhammad s.a.w
untuk mengemban tugas risalah yang tidak kalah beratnya, yaitu menghadapi
masyarakat Madinah yang heterogen, bukan dari segi agama tapi juga etnis.
Tugas-tugas tersebut tentu saja membutuhkan sikap mental (EQ dan SQ) dan
pikiran (IQ) yang lebih dalam. Hal ini tercermin dari simbolik kata-kata yang
digunakan dalam isra’ dan mi’raj tersebut, seperti sidrat al-Muntahâ, masjid
dan lain-lain.[5]
Makna Simbolik Isra’ dan Mi’raj
Makna simbolik ini bisa di lihat dalam penjelasan
Abu Majdi Haraki, mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fath
al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî ‘Abdillâh Muhmmad bin
‘Ismâ’îl al-Bukhârî, yang ditahkik oleh Muhbuddin al-Khathib,[6] dia mengatakan “Bahwa suatu ketika Rasulullah tidur di
kediaman Ummu Hani[7] yang tempat tinggalnya berada di bukit Abu Thalib, dan atap
rumahnya terbuka. Di sini sengaja disebut rumah, karena Rasul berdiam di
dalamnya, lalu malaikat turun ke rumah tersebut, dan mengeluarkan Rasul, serta
membawanya ke masjid. Ketika dibawa, Rasul dalam keadaan terlentang dan masih
terlihat bekas kantuk. Kemudian Rasul dikeluarkan dari masjid, dan dibawa ke depan
pintu masjid. Dari sana, Rasulullah lantas dinaikkan Buraq.” Dalam
hadits mursal hasan yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dinyatakan: “Sesunggunya
Jibril telah mendatanginya, lalu membawa Rasul dari rumah tersebut menuju
masjid. Setelah sampai masjid Rasul lantas di naikkan Buraq.” Riwayat
Ibnu Ishaq ini banyak didukung oleh para ulama’. Dinyatakan bahwa hikmah dari
turunnya malaikat keatap rumah adalah isyarat yang menunjukkan surprise (baca:
kejutan). Di samping itu juga menunjukkan peringatan bahwa Rasulullah akan
diperjalankan kearah ketinggian. Hal ini seperti yang ditegaskan Ibnu Hajar:
“Bisa jadi hikmah dari terbukanya atap rumah mengisyaratkan akan terjadi
himpitan dan rasa takut dalam dada Rasulullah s.a.w. dengan isyarat itu pula,
akhirnya Rasul bisa menjadi percaya diri dan menemukan kedamaian, sehingga
beliau merasa aman dari bahaya yang mengancam.[8]
Dalam riwayat lain Imam Bukhari dan Muslim
menguraikan, pada suatu malam ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang berada
di Hatim (dekat Ka’bah), tiba-tiba Malaikat Jibril datang membelah dada Nabi
s.a.w. hati Nabi di keluarkan dan di sucikan dengan air zam-zam, kemudian
kedalam hatinya di masukannya iman dan hikmah yang telah disediakannya di
bejana emas. Dengan di bimbing oleh Jibril, Nabi Muhammad s.a.w. berangkat
menuju Bayt al-Maqdis dan Masjid al-Aqsha, kemudian melakukan shalat dua
raka’at yang di ikuti oleh Nabi-Nabi terdahulu. Setelah selesai shalat Jibril
datang menemui Nabi dengan membawa dua gelas. minuman, gelas yang satu berisi
susu dan gelas yang satu lagi berisi arak, Malaikat Jibril mempersilakan Nabi
Muhammad s.a.w. meminumnya, dan Nabi Muhammad memilih susu, kemudian Malaikat
Jibril mengatakan: “Seandainya kamu memilih arak niscaya umatmu akan
tersesat”. Berakhirlah proses Isra disini.[9]
Waryono Abdul Ghafur juga menjelaskan, terdapat
tiga instrumen, yaitu Nabi (sebagai subyek), ruang (tempat) dan waktu sebagai
obyek. Dalam ayat disebutkan bahwa tempatnya adalah dua masjid ditambah sidrat
al-Muntahâ, sedangkan waktunya adalah malam. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
bahwa titik tolak perjalanan isra’ dan mi’raj Nabi adalah bagian dari masjid
al-Haram, tepatnya Ka’bah (yang ketika itu masih dikelilingi oleh banyak
berhala) atau menurut satu pendapat dari ummu Hani’ bin Abi Thalib. Masjid
al-Haram dijadikan sebagai titik berangkat, karena dua alasan: pertama,
karena Nabi adalah orang Makkah dan tinggal di sana, dan kedua, karena
masjid tersebut merupakan masjid pertama (di muka bumi) yang didirikan oleh
Adam yang ditemukan dan dibangun kembali oleh Ibrahim. Hal ini sebagai isyarat
bahwa Makkah, tempat di mana masjid al-Haram ada, merupakan titik tolak semua
ajaran para Nabi yang universal.[10]
Dari masjid al-Haram, Nabi dibawa ke Masjid
al-Aqsa, yang artinya masjid terjauh dalam pandangan mitra bicara ketika,
karena memang jauh, yaitu palestina. Menurut satu riwayat yang dikutip Abdul
Ghafur, masjid al-Aqsa yang menjadi persinggahan Nabi dalam perjalanan isra’
dan mi’raj-nya adalah masjid spiritual, karena bangunan fisiknya belum ada,
kecuali beberapa sisa bangunan yang kurang berarti, tinggal puing-puingnya
saja. Sebelum menghadap Ka’bah di masjid al-Haram, masjid al-Aqsha (Bayt
al-Maqdis) merupakan kiblat pertama bagi orang Islam.[11]
Masjid al-Aqsha menjadi tempat persinggahan Nabi
s.a.w. sebagai petunjuk bahwa perjalanan manusia menuju Allah, hendaknya
bermula dari masjid, yakni kepatuhan kepada Allah dan berakhir pula di masjid.
Dengan persinggahan itu juga, Nabi melakukan napak tilas sekaligus berziarah ke
makam kakeknya, Ibrahim bapak tiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam. Dari sini
diketahui bahwa ketiga agama tersebut adalah serumpun dan Islam adalah
kontinuitas dari agama para nabi sebelumnya dan sebagai penyempurna. Oleh
karena itu, dalam ayat masjid al-Aqsha tersebut disifati dengan diberkahi
sekitarnya, yaitu tanah yang banyak melahirkan para nabi dan semula tanahnya
subur, sehingga menjadi bahan rebutan dan kekerasan, hingga sekarang.
Demikianlah Waryono Abdul Ghafur menguraikan dalam bukunya.[12]
Sebanarnya isra dan mi’raj merupakan sebuah
perjalanan spiritual yang tak bisa diungkapkan, sehingga harus diungkapkan
lewat bahasa-bahasa perumpamaan, bahasa metafor. Tidak ada kata yang tepat
untuk menjelaskan sebuah pengalaman ruhani. Oleh sebab itu, di dalam peristiwa
ini, terdapat nilai-nilai yang harus kita teladani. Selama ini, kata isrâ
secara harfiah selalu diterjemahkan dengan “perjalanan di malam hari”.
Padahal, kata isrâ’ itu sendiri, kalau dirujuk ke kata dasar Arabnya
bisa bermakna “sebuah pencarian.” Kata sâriyah yang satu dasar kata
dengan isrâ’ berarti pencarian. Jadi isrâ’ di sini bisa berarti
“proses pencarian yang akan melepaskan diri seseorang dari kegelapan hidup.”
Pertanyaannya, bukankah peristiwa itu dimulai dari masjid al-Haram menuju
masjid al-Aqsha? Tunggu dulu, kita harus menelusurinya secara historis.
Sebenarnya tidak ada petunjuk harfiah di dalam al-Qur’an yang menerangkan bahwa
masjid al-Haram yang dimaksud adalah yang ada di dalam Makkah dan Masjid
al-Aqsha di situ yang berada di Yerusalem.[13]
Kata masjid berkenaan ketika ayat itu turun,
belum lagi terwujud secara fisik. Masjid al-Haram yang sekarang ini ada
mula-mula dibangun secara permanen oleh Khalifah Umar bin Khaththab pada tahun
638 M. Jadi, pada masa Rasulullah s.a.w. kawasan masjid al-Haram masih berupa
hamparan tanah lapang terbuka di sekitar Ka’bah yang dikelilingi perkampungan
penduduk. Demikian pula masjid al-Aqsha yang ada saat ini adalah masjid yang
dibangun secara permanen oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Kekhalifahan
Dinasti Bani Umayyah pada tahun 66 H dan selesai dibangun tahun 73 H. Pada masa
Rasulullah s.a.w masih hidup, kawasan al-Aqsha masih berupa reruntuhan candi
sulaiman atau Solomon Temple, belum ada bangunan masjidnya.[14]
Maka dari itu, untuk meneladani isra’ kita tak
perlu pergi jauh-jauh ke Masjid al-Haram Mekkah sampai Masjid al-Aqsha di
Yerusalem. Melainkan kita harus memulai sebuah perjalanan untuk keluar dari
kegelapan hidup lewat penyucian diri dari segala perilaku yang haram. Inilah
makna dibelahnya dada nabi untuk disucikan hatinya sebelum peristiwa isra’. Hal
ini menunjukkan bahwa sebelum melakukan perjalanan untuk menemui Allah hati
harus disucikan terlebih dahulu dari hal-hal yang negatif. Oleh sebab itu,
dalam redaksi ayat itu disebut masjid al-Haram. Lalu, kenapa dibawa ke
al-Aqsha? Jawabannya, supaya beliau dapat memahami berkat Tuhan yang ada di
sekelilingnya ‘barakna haulahu’.[15]
Benarkah berkat Tuhan itu ada disekeliling masjid
al-Aqsha yang ada di Yerusalem? Yang selama berabad-abad hingga kini selalu
diliputi terror, peperangan dan pertumpahan darah itu? Di sekelilingnya di
sebelah mananya? Tentu saja, pemahaman demikian akan sangat rancu. Berkat Tuhan
hanya akan dapat dipahami dengan hati dan pikiran yang jernih. Inilah makna
dari tafakur. Sementara makna masjid al-Aqsha disitu secara umum adalah masjid
yang terjauh. Kita tahu, secara bahasa, kata masjid itu bisa berarti “setiap
lahan dan setiap jengkal tanah yang bisa digunakan untuk bersujud”. Maka, ada
istilah kullu ardhin masjidun, atau setiap jengkal tanah dapat
dijadikan tempat bersujud. Untuk bersujud seorang manusia harus dapat
menundukkan hatinya dan ego yang ada di dalam alam pikirannya serendah-rendahnya
dihadapan Allah. Sebagaimana yang telah disimbolkan lewat gerakan sujud di
dalam shalat. Kepala dan hati harus benar-benar ditundukkan dihadapan-Nya.[16]
Nah, kemudian bagaimanakah kita memaknai buraq,
sebuah kendaraan yang konon dinaiki Nabi s.a.w bersama Jibril dalam perjalanan
malam itu? Informasi mengenai Buraq tidak kita jumpai di dalam al-Quran
melainkan di dalam hadist. Sebenarnya Buraq berasal dari kata barqun
yang berarti kilat cahaya. Dalam sejumlah hadits, buraq digambarkan
dengan wujud kuda bersayap atau menyerupai pegassus. Hal inilah yang mengilhami
khazanah mistisme di dalam Islam di kemudian hari. Kalau kita menelusuri
kekayaan spiritualisme Islam, kita akan menemukan semacam idiom “burung” dan
“terbang” sebagai simbol yang menunjukkan mi’raj, kenaikan jiwa
manusia menuju realitas yang lebih tinggi. Terutama kaum sufi, menggambarkan
sayap sebagai sebuah simbol kekuatan untuk menerbangkan jiwa manusia. Simbolik
burung yang terbang ini pun kita temukan misalnya dalam uraian Ibnu Sina, al
Gazhali, Suhrawardi, Khaqqani, Ruzbihan, Balqi, Rumi hingga yang cukup
fenomenal mengenai dunia tasawuf mistis adalah karya Fariduddin Attar yaitu Mantihiqat
al-Thair.[17]
Hikmah Isrâ’ dan Mi’raj
Urgensi perjalanan agung isrâ’ dan mi’raj adalah
untuk menumbuhkembangkan kekuatan iman dalam diri Rasulullah, atau jelasnya
penampakan tanda-tanda kekuasaan Allah itu adalah dimaksudkan untuk menguatkan
keyakinan iman, berikut menetapkan iman dalam diri Rasulullah, sehingga
keimanan dalam diri Rasulullah benar-benar berdasarkan bukti-bukti otentik,
yang lahir dari penyaksian dan penampakan sebagian dari tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang terbesar, meskipun dalam membaca dan melihat keimanan
tersebut masing-masing umatnya berbeda satu dengan yang lain.[18]
Sebagaimana Abu Majdi Haraki mengutip pendapat
Muhammad al-Ghazali menulis bahwa hikmah isrâ’ dan mi’raj ini adalah sebagai
berikut, Allah ‘Azza wa Jalla memberi kesempatan kepada Rasulullah
untuk melihat tanda-tanda dan kejadian sangat luar biasa, yang terjadi atas
kekuasaan Allah, agar tumbuh keyakinan kepada Allah dalam qalbu mereka, serta
lahir penyadaran dan penyerahan diri mereka pada Allah ‘Azza wa Jalla,
dalam menghadapi tekanan orang-orang kafir Quraisy, berikut untuk menghancurkan
tembok keangkuhan mereka. Realitas sejarah merekam, bahwa sebelum Musa a.s.
diutus menjadi Nabi, Allah telah menampakkan kepadanya keajaiban-keajaiban
kekuasaan-Nya, dengan memerintahkan Musa a.s. melempar tongkat yang ada
ditangannya, seperti yang terekam dalam firman Allah,
قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوْسَى # فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى # قَالَ خُذْهَا وَلاَ تَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الْأُوْلَى # وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحَكَ تَخْرُجْ بَيْضَآءَ مِنْ غَيْرِ سُوْءٍ ءَايَةً أُخْرَى # لِنُرِيَكَ مِنْ ءَايَاتِنَا الْكُبْرَى
“Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai
Musa!. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor
ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan
takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula dan kepitkanlah
tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat,
sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian
dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.” (QS Thâhâ [20]: 19-23)
Ketika relung qalbu Musa a.s. terpenuhi rasa
takjub dengan kesaksian dirinya akan kejadian yang spektakuler tersebut,
tumbuhlah dalam dirinya rasa iman dan keyakinan yang kokoh kepada Allah. Saat
itulah Allah berfirman kepada Musa a.s.,[19]
اْذَهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia
telah melampaui batas.” (QS Thâhâ [20]: 19-23)
Lebih lanjut Muhammad al-Ghazali mengatakan,
“Kita semua telah memahami bahwa buah dari isra’ dan mi’raj adalah penampakan
sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah yang teragung, meskipun hal itu terjadi
dua belas tahun setelah pengangkatan (penobatan) Muhammad ibn Abdullah sebagai
Nabi dan Rasulullah. Apa yang terjadi pada Musa a.s. jelas berbeda dengan
Muhammad s.a.w. penampakan pada Musa terjadi sebelum pengangkatan dirinya
sebagai Nabi, sedangkan penampakan pada Muhammad terjadi dua belas tahun
setelah pengangkatannya sebagai Nabi dan Rassulullah. Nilai yang tersirat dari
perbedaan tersebut adalah penampakan yang terjadi pada Nabi dan Rasul adalah
dimaksudkan untuk menaklukkan, terlebih meyakinkan umat (kaum) mereka akan
kebenaran risalah dan kenabian yang di tugaskan, sebuah pembuktian untuk para
musuh dan para pembangkang yang tidak mempercayai adanya risalah dan tugas
kenabian dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan tugas kenabian yang
disandang Rasulullah lebih dari apa yang ditugaskan kepada para nabi terdahulu.
Demikianlah urgensi dari pandangan Muhammad al-Ghazali mengenai hikmah
peristiwa isra’ dan mi’raj Rasulullah tersebut, yaitu memberi kesempatan kepada
Rasulullah untuk menyaksikan sebagian dari kejadian-kejadian agung, berikut
tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbesar, atas kehendak dan kuasa-Nya,
sehingga tumbuhlah keyakinan dan keimanan yang kokoh dalam diri Rasulullah
untuk menghadapi segala penistaan dan hinaan yang dilakukan para musuh dan
orang-orang kafir terhadap dirinya.[20]
Musthafa Zaid dalam makalahnya yang dimuat
majalah Mimbar al-Islâm, terbitan 1967 M. Memaparkan argumentasi
ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan hikmah peristiwa isra’ dan mi’raj
sebagai berikut, “Allah ‘Azza wa Jalla tidak berfirman dalam ayat
tersebut, “Agar dia melihat tanda-tanda kebesaran Kami,” akan
tetapi Allah berfirman, “Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda kebesaran Kami.” Hal ini menunjukkan bahwa ketika
Muhammad melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, bukanlah lahir dari kekuatan
pribadinya, akan tetapi dia melihat berkat kuasa dan qudrah Allah‘Azza
wa Jalla sebuah kekuatan yang dibentangkan Allah kepada dirinya pada
perjalanan Agung tersebut. Dengan kekuatan dan qudrah-Nya itu,
Muhammad s.a.w. mampu melihat sesuatu yang diperlihatkan Allah kepada dirinya
dari sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya yang paling agung. Hal ini pararel
dengan firman Allah dalam surah al-Najm yang membahas masalah mi’raj,
لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS al-Najm [53]:
18).
Tanda-tanda yang dilihat Rasulullah disebut sebagai
tanda-tanda paling besar yang tidak ada seorang pun selain Rasulullah mampu
melihatnya, dan Rasulullah tidak akan mampu melihat ayat-ayat tersebut jika
Allah tidak menghendaki dia bisa melihatnya.[21] Maha besar Allah dengan segala ciptaan-Nya hingga Dia
memperjalankan Muhammad dalam isra’ dan mi’raj yang tidak mungkin dilakukan
oleh setiap makhluk-Nya tanpa kehendaknya.
Terkait dengan hikmah isra’ dan mi’raj, Mutawalli
al-Sya’rawi menyatakan, “Sesungguhnya nilai yang esensial dari hikmah isra’ dan
mi’raj secara global mengandung tiga dimensi yaitu pertama, Allah
hendak menunjukkan kepada Rasulullah sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang
paling besar. Kedua, Untuk membuktikan akan kebesaran-Nya kepada
Muhammad, agar beliau tetap kokoh melaksanakan tugas kenabiannya. Ketiga,
Untuk menerima tugas yang paling mulia dalam ritus ibadah dan ubudiyah
seseorang muslim yang berupa perintah shalat lima waktu, di mana merupakan
media yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.[22]
Isra’ dan mi’raj merupakan perjalanan spiritual
yang paling istimewa bagi Nabi Muhammad s.a.w Puncaknya terjadi di Sidrat
al-Muntaha. Seorang ulama tafsir terkemuka, Muhammad As’ad menafsirkan Sidrat
al-Muntaha dengan lote-tree farthest limit atau pohon lotus yang
batasnya paling jauh. Pohon Lotus dalam tradisi Mesir kuno merupakan simbol
kearifan, kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagiaan. Dalam Hindu, lotus
atau bunga teratai merupakan simbol pemurnian. Ajaran Budha menegaskan bahwa
proses mekarnya bunga teratai merupakan lambang pencapaian kesempurnaan menuju
nirwana. Kuncupnya melambangkan awal usaha dan puncak mekar bunga menjadi tanda
tercapainya kesempurnaan. Dengan demikian secara simbolik Sidrat al-Muntaha
dapat diartikan sebagai puncak kebahagiaan dan kebijaksanaan. Dengan isra
mi’raj, Nabi telah melakukan terobosan spiritual, sehingga surga dan pencerahan
hidup dicapainya hanya dalam satu malam. Dimana Siddharta Gautama pernah
mencapainya dalam waktu enam tahun. Dengan hati dan pikiran yang jernih, Nabi
s.a.w. menyaksikan kebenaran dan kebesaran ayat-ayat Tuhan dalam satu malam.
Dan, itulah yang hendak diteladankan beliau kepada umatnya.[23]
Nilai-Nilai Filosofis Isra’ dan Mi’raj
dalam Kehidupan
Nilai-nilai filosofis dari peristiwa isra dan
mi’raj yang dapat kita ambil adalah sebagaimana yang ditulis oleh Abu Majdi
Haraki, dia mengutip tulisannya Naser Muhammad ‘Athiyah, dia menyatakan, “Tidak
bisa dipungkiri bahwa nilai yang terpenting dari perjalanan agung ini adalah
mencakup nilai-nilai edukatif dan pembelajaran jiwa bagi diri Rasulullah
Muhammad s.a.w. sehingga beliau benar-benar memiliki kesiapan mental dalam
menghadapi segala bentuk penghinaan yang diterimanya dari orang-orang kafir dan
musuh Islam dalam menjalankan tugas kenabiannya. Dengan pembelajran jiwa yang
terkandung dalam isra’ dan mi’raj tersebut, Rasulullah bisa berdiri kokoh
setegak gunung, yang tidak mampu digoyahkan oleh usaha provokasi, ancaman,
cercaan, tipu daya, maupun makar dari orang-orang kafir, sehingga
Rasulullah bisa menjalankan tugas kenabiannya yang istiqomah. Adapun prihal
ayat al-Qur’an surah al-Isra’[17]: 1, makna yang tersirat menurut Naser
Muhammad ‘Athiyah dari ayat tersebut adalah bahwa Muhammad s.a.w. telah
melihat kekuasaan Allah, Muhammad telah melihat para malaikat-Nya, surga-Nya,
neraka-Nya, para nabi-Nya para rasul-Nya, kerajaan agung-Nya, serta kebesaran dan
kasih rahmat-Nya.”[24] Hal ini sesuai dengan al-Qur’an,
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى # لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَا تِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya Dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang
paling besar.”(QS al-Najm [53]: 17-18)
Dalam kitab Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah,
Ahmad sya’laby mengatakan, “Nilai edukatif yang terkandung dalam isra’ dan
mi’raj adalah telah dibentangkan kepada Rasulullah kesempatan yang cukup lebar
untuk melihat berbagai alam yang sangat besar. Dengan begitu, Rasulullah akan
memahami bahwa sebenarnya Makkah adalah sangat kecil, berikut penduduknya serta
para penentangnya. Rasulullah pun menjadi lebih paham, apalah arti sebuah Makkah
dibandingkan dengan meluasnya jagad raya ini? Demikian apalah arti kekuatan,
kekuasaan Sang Pencipta alam, yang telah memperjalankan dirinya dalam isra’ dan
mi’raj.
Lebih lanjut Ahmad Sya’laby mengatakan bahwa nilai edukatif dari perjalanan
agung ini adalah sebagai media penyaringan untuk mengetahui siapa sebenarnya
pengikut Nabi s.a.w. yang setia dan kokoh imannya, demikian pula siapa yang
pura-pura beriman, sedang dalam hati terpendam kemunafikan. Nabi merasa perlu
mengetahui masalah ini, karena tugas kenabian setelah hijrah adalah sangat
berat, penuh dengan jihad dan peperangan, serta pengorbanan yang tidak saja
harta benda, tenaga, namun juga nyawa, demi menegakkan agama Islam.[25]
Nilai-nilai filosofis berikutnya yang dapat kita ambil adalah oleh-oleh yang di
bawa Nabi s.a.w. ketika mi’raj, sebagimana yang dijalaskan oleh hadits yaitu
shalat. Shalat adalah satu-satunya perintah Allah yang diterima –tanpa
perantara- langsung oleh Nabi. Oleh karena itu shalat menempati posisi yang
paling signifikan dalam ajaran Islam. Untuk itulah, Nabi s.a.w mengajarkan
kepada umatnya agar meneladaninya dalam bentuk ibadah shalat. Nabi s.a.w
bersabda, as-shalâtu mi`râjul mu’minîn, bahwa “shalat itu mi’rajnya
kaum beriman.” Sebelum shalat seseorang harus bersuci, tidak sekedar
thaharah dengan air atau debu, tetapi lebih kepada upaya untuk takhalli,
menyingkirkan hal-hal negatif yang ada di dalam diri kita. Dimulainya shalat
diawali dengan takbir mengagungkan DzatNya. Di dalamnya sudah tak ada lagi
waktu yang terbuang percuma karena seluruhnya berisi puji-pujian dan doa yang
mengalir di sepanjang tarikan dan hembusan nafas kita. Ketika itulah seseorang
melakukan kontemplasi, hijrah batin atau tahalli. Menghiasi diri
dengan keterpujian asma-Nya, sehingga kebenaran Tuhan termanifestasi di dalam
jiwa atau tajalli. Kemudian diakhiri dengan menebarkan salam kepada seluruh
makhluk Tuhan semesta alam. Ketika mi’raj itu seorang anak manusia dituntun
oleh Tuhannya secara langsung untuk menghadap kehadirat-Nya menuju sidratul
muntaha, suatu tempat dimana malaikat Jibril tak sanggup menempuhnya. Maka,
dalam al-Qur’an surat al-Najm [53] ayat 5, kata ‘allamahu syadîd
al-Quwâ, sebenarnya memiliki arti secara umum bahwa Ia dituntun secara
langsung oleh yang Maha Kuat, bukan oleh Jibril.[26]
Namun, Sidrat al-Muntaha bukanlah tempat dimana
manusia bisa menjalankan misi hidupnya. Oleh sebab itu, ada proses nuzul
atau turun dalam rangka membumikan nilai-nilai Islam ke dalam berbagai tindak
sosial (transformasi sosial). Artinya, selain dikerjakan, shalat juga harus
ditegakkan secara kontinyu dalam bentuk aksi dan realisasi nyata dalam
kehidupan. Dalam bentuk amar ma’ruf nahy munkar. Menyantuni anak yatim dan
fakir miskin. Dan, dengan segenap amal perbuatan nyata sebagai wujud rahmat
Tuhan bagi semesta alam. Ketika itulah, puncak dari Sidrat al-Muntaha diraih
oleh seorang hamba.[27]
Waryono Abdul Ghafur memberikan jabaran terkait
hal ini, dia mengatakan bahwa, “Dalam al-Qur’an terdapat trilogi yang integral,
yang pengalaman salah satunya secara terpisah menjadikannya tidak sempurna,
yaitu iman, shalat dan zakat. Tiga rangkaian itu harus menjadikan kesatuan.
Iman memang bersifat pribadi, namun ia harus terbukti secara sosial. Ini
artinya, tauhid sebagai inti keimanan harus mewujud nyata dalam kehidupan
dengan prilaku tidak diskriminatif dan subordinatif (tauhid), solidaritas
sosial yang tinggi (zakat) dan anti terhadap kekerasaan (salam sebagai penutup
shalat).[28] Itulah setidaknya yang dapat kita ambil ‘ibrah atau pelajaran
dari peristiwa agung ini.
Sebagai akhir dari tulisan ini, tidaklah mungkin
kami menyelesaikannya tanpa adanya kehendak dari Allah ‘Azza wa Jalla
sebagaimana telah memperjalankan Muhammad dalam isra’ dan mi’rajnya. Akhirnya
kami memohon kepada Allah dengan segala puji kepada-Nya –Dzat yang Maha Suci-
atas pertolongan-Nya kepada kami dalam menyusun tulisan ini yang kami
kutip dari berbagai literature. Jika ada nilai-nilai kebenaran yang
bisa diambil dari tulisan ini, maka hal itu semata-mata dari Allah ‘Azza wa
Jalla. Sebaliknya jika terdapat kesalahan dalam tulisan ini, maka hal itu
semat-mata lahir keterbatasan dan kekurangan diri kami. Kepada-Mu ya Allah,
kami memohon ampunan dari kekurangan dan kelemahan diri kami. Tasbihan
wa tahmidan laka ya Allah. Ashlih Nafsaka wa al-‘Ad’u Ghairaka.
Wallâhu’alam bi al-Shawwâb. []
MARÂJI
Al-Atsqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. 1407
M/1978 M. Fath al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî
‘Abdillâh Muhmmad bin ‘Ismâ’îl al-Bukhârî. ditahkik Muhbuddin al-Khathib.
Dar- al-Rayyan li al-Turats. Kairo: Maktabah Salafiyah. cet. III, Jilid VII.
Al-Bûthy, Muhammad Sa’id Ramadhan. 1990 M/ 1410
H. Fiqhu al-Sîrah. Damsyiq: Dâr al-Fikr
Al-Ghazali, Muhammad. Fiqh al-Sîrah.
1987 M. Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats. cet. I
Al-Sya’rawi, Mutawalli. 1980 M. Mu’jizah
al-Qur’an. Kairo: Mu’assasah Akhbar al-Yaum. jilid II.
Al-Qusyairi, Abu al-Qasyim Abdul Karim. 1980 M.
Lathâ’if al-Isyârâh:Tafsîr Shûfî al-Kâmil al-Qur’ân al-Karîm,
ditahkik Ibrahim Basuni. Kairo: Hai’ah al-‘Ammah li al-Kitab. cet.II.
Ghafur, Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial,
Mendialogkan Teks dan Konteks. Yogyakarta: eLSAQ.
Hamzah, Amir. Buletin al-Rasikh. Jum’at, 26 Rajab
1431 H/ 9 Juli 2010. No. 510, Tahun XV/2
Haraki, Abu Majdi. 2007. Misteri Isra’ dan
Mi’raj. Yogyakarta: Diva Press. cet. Ke-7
Nugroho, Hari. Buletin al-Rasikh. Jum’at, 19
Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
Sya’laby, Ahmad. 1984 M. Mauû’ah
al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah. Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyah. cet. XI. Jilid I.
Zaid, Musthafa. Mimbar al-Islam. edisi
VII, 25 Rajab 1387 H,/ Oktober 1967 M. Suplemen
* Alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Lawang-Malang, Santri
Pondok Pesantren UII dan saat ini sedang berjuang dan mengabdikan diri di
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.[1] Waryono Abdul Ghafur. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks. (Yogyakarta: eLSAQ, 2005). hal. 276-277
[2] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, Fiqhu al-Sîrah, (Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1990 M/ 1410 H). hal. 134
[3] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, Fiqhu al-Sîrah, hal. 134
[4] Abu al-Qasyim Abdul Karim al-Qusyairi, Lathâ’if al-Isyârâh:Tafsîr Shûfî al-Kâmil al-Qur’ân al-Karîm, ditahkik Ibrahim Basuni. (Kairo: Hai’ah al-‘Ammah li al-Kitab, 1980 M), cet.II. hal. 334, dikutip Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. Ke-7. hal. 293-294
[5] Waryono Abdul Ghafur. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks. (Yogyakarta: eLSAQ, 2005). hal. 277
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî ‘Abdillâh Muhmmad bin ‘Ismâ’îl al-Bukhârî, ditahkik Muhbuddin al-Khathib, Dar- al-Rayyan li al-Turats, (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1407 M/1978 M), cet. III, Jilid VII, hal. 243-244. Dikutip oleh Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan…. hal. 82
[7] Namanya Fakhitah atau Hindun, tetapi kemudian hanya dikenal dengan nama Ummu Hani’, putri Abu Thalib yang diperjodohkan dengan Hubairah, orang berada yang juga penyair berbakat, masih sepupu Abu Thalib dari pihak ibu, dari Banu Makhzum.
[8] Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. Ke-7. hal. 82
[9] Amir Hamzah, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 26 Rajab 1431 H/ 9 Juli 2010. No. 510, Tahun XV/2
[10] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial,… hal.278
[11] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial,… hal.278
[12] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, … hal. 279
[13] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 19 Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
[14] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[15] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[16] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[17] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh.
[18] Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan …
[19] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sîrah, (Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1987 M), cet. I, hal. 141-142, dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan hal. 296
[20] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sîrah, hal. 141-142, dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan.. hal. 296-298
[21] Muathafa Zaid, Mimbar al-Islam, edisi VII, 25 Rajab 1387 H,/ Oktober 1967 M. Suplemen, hal. 139, dikutip dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan … hal. 298-299
[22] Mutawalli al-Sya’rawi, Mu’jizah al-Qur’an, (Kairo:Mu’assasah Akhbar al-Yaum, 1980 M), jilid II, hal.139. lihat dalam Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 308
[23] Lihat dalam Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks, (Yogyakarta: elSAQ, 2005), hal. 279 dan lihat pula dalam bulletin jum’at tulisan Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 19 Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
[24] Mimbar al-Islam, edisi VII, 25 Rajab 1384 H/ Oktober 1967 M. Suplemen, hal. 139, lihat dalam Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 299
[25] Ahmad Sya’laby, Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1984 M), cet. XI, Jilid I, hal. 242, lihat dalam Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 300
[26] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[27] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[28] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, … , hal. 280
Tidak ada komentar:
Posting Komentar