Sekarang kita telah memasuki separo lebih bulan rojab
dimana pada akhir bulan ini kita sebagai seorang muslim telah diingatkan
kembali sebuah peristiwa besar dalam sejarah umat islam. Sebuah peristiwa
penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW yaitu
peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju
Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal
(mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir
penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW
diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT
mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani
Israil) ayat pertama:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي
بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِير
Artinya; Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan
hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat".
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan
Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita
untuk lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita
tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya
Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun
sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu,
Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah
harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta
Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal
dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap
perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan
arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya
"rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala
sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah
deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan,
mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh
Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa)
menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi).
Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di
"Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram
keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi
Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad
menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah "rasul-rasul"
Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah
perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan
mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau
hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak
kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu
Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang
betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala
keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari
penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan
diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting
bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur,
konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di
jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali
berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau
dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air
zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa?
Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau
berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang
"ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian
hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi
yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh"
(penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi
"percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana
lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya,
haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan.
Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa
"kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan
ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan
hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata
juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha
fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang
sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan,
diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran
hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi
kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik
atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا إن في
الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia
ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap
kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang
pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya
hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka
akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang
kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa
quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, Allah berfirman" قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (٩) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya: Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya,
dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan
ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa
dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum
perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak
Khamar
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap
Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat
bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang.
Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan
tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang
tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi,
Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang
ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan
selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan
kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda
kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak
yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak
senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan
memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada
pilihan-pilihan yang samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam
mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh
karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata
kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi
merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita.
Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali
fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang
Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta.
Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol
ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi
tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan
tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh
itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh
sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya. Bahkan
Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah
SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang
memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas
beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga
simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan
sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara
menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan
sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan
itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah,
seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh
pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad
dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria
tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam
Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini.
"Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui
urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin
terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat
lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia
Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan
dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat negatif.
Kelima: Kembali ke Bumi dengan
Shalat
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera
berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya.
Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan
Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan
dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab
duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu,
harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan
yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun
ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan
"dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan
ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya.
"Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak),
pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya"
dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5
waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan
suci ke atas (Mi'raj).
PESONA KELEMBUTAN
Di antara akhlak Nabi Saw. yang paling menonjol,
beliau adalah pribadi yang lemah-lembut. Kesaksian semua orang yang pernah
semasa dengan beliau, menggambarkan bahwa beliau tidak pernah berkata kasar,
tidak pernah mengumpat, dan tidak pernah berlaku bengis. Bahkan, beliau Saw.
tidak pernah marah, kecuali terhadap perbuatan yang melanggar kehormatan
agama.
Dalam ungkapan yang singkat, Dr. Yusuf al-Qardhawi mengatakan, “Barangsiapa
membaca sunnah Rasul Saw., baik dalam perkataan maupun perbuatan, maka akan
menemukan pancaran kelemahlembutan dalam berdakwah dan interaksi sehari-hari.”
Ada beberapa hikmah yang bisa kita peroleh dari perangai lemah-lembut, seperti
telah dicontohkan oleh Nabi Saw. Yaitu di antaranya: Pertama,
kelemahlembutan bisa membuat kita menjadi pribadi yang indah. Secara garis
besar, Allah Swt. mengkaruniakan dua keindahan kepada manusia: keindahan
fisik, dan keindahan kepribadian. Manusia pada umumnya mudah terpukau oleh
keindahan fisik. Namun, keindahan fisik ini akan segera kehilangan kesan bila
tingkah-laku dan kata-katanya kasar. Di sinilah, kelemahlembutan menjadi
kunci untuk mewujudkan pribadi yang indah.
Nabi Saw. bersabda:
"إن الله يعطي على الرفق ما
لا يعطي على العنف, وما لا يعطي على ما سواه".
“Sesungguhnya Allah memberi (keutamaan) kepada kelemahlembutan, yang tidak
diberikanNya kepada kekerasan, dan tidak juga diberikanNya kepada (sifat-sifat)
yang lain.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah ra.)
Dalam kesempatan lain, Nabi Saw. bersabda:
"إن الرفق لا
يكون في شيء إلا زانه, ولا ينزع من شيء إلا شانه".
“Sesungguhnya kelemahlembutan tidak melekat pada sebuah pribadi kecuali sebagai
perhiasan, dan tidak terlepas darinya kecuali sebagai keaiban.” (HR. Muslim)
Kedua, kelemahlembutan bisa membentuk orang-orang dan lingkungan di
sekitar kita. Banyak Sahabat radhiyalLahu ta’âlâ ‘anhum yang memperoleh
hidayah (masuk Islam) setelah menyaksikan pribadi Nabi Saw. yang lemah-lembut.
Salah satunya: Tsumâmah bin Atsâl ra.
Suatu hari, Tsumâmah yang masih musyrik tertangkap dalam sebuah peperangan
melawan kaum Muslimin. Ketika Nabi Saw. menjenguk para tawanan, beliau sempat
bertanya kepada Tsumâmah, “Apa yang ingin kau katakana, wahai Tsumâmah?”
Tsumâmah menjawab, “Jika kau hendak membunuhku, hai Muhammad, sesungguhnya kau
membunuh seseorang yang memiliki pengaruh kuat. Jika mau berbuat baik kepadaku,
maka kau berbuat baik kepada orang yang tahu berterima kasih. Dan jika kau
ingin harta tebusan, sebutkan saja berapa pun jumlahnya, pasti akan aku bayar.”
Namun Nabi Saw. tidak memerintahkan untuk membunuh Tsumâmah, atau meminta
tebusan darinya. Beliau Saw. malah mengingatkan para Sahabat ra. agar merawat
Tsumâmah dan tawanan lainnya dengan baik.
Demikianlah, sampai tiga kali kesempatan Nabi Saw. menanyakan hal yang sama
kepada Tsumâmah, ia terus menantang untuk dibunuh saja atau membayar tebusan
dalam jumlah yang besar.
Setelah para tawanan tersebut dirawat hingga pulih kondisi mereka, alih-alih
mereka dibunuh atau dimintai uang tebusan; Nabi Saw. dengan senyum mengembang
malah membebaskan mereka tanpa syarat dan menyuruh mereka untuk kembali kepada
keluarga masing.
Tsumâmah pun beranjak meninggalkan Nabi Saw dan para Sahabat ra. Namun tak lama
berselang, ia kembali menghadap Nabi Saw., mengikrarkan keislamannya. Lalu ia
berkata, “Sungguh, wahai Rasulullah, sebelum ini tiada orang yang paling saya
benci di dunia selain anda. Tapi sekarang anda menjadi orang yang paling saya
cintai di dunia ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, kelemahlembutan adalah pelindung hati dari noda dan penyakit
kalbu. Yang perlu disadari, ketika kita berkata kasar dan mengumpat, sebenarnya
kita tidak sedang merugikan orang lain. Tapi, terlebih lagi, kita sedang
menodai hati kita sendiri, mengotorinya dengan kekasaran, serta membuatnya
menjadi keras.
Suatu kali, Nabi Saw. tengah dudukbersama Aisyah ra. Lalu melintaslah
sekelompok orang Yahudi di hadapan beliau. Tiba-tiba mereka menyapa Nabi Saw.
dengan memelesetkan ungkapan “Assalâmu’alaikum” menjadi “Assâmu
‘alaika”—kebinasaan atasmu, hai Muhammad.
Mendengar serapah orang-orang Yahudi itu, Aisyah ra. naik pitam dan balik
memaki mereka. Namun Nabi Saw. segera menenangkan Aisyah ra. dan memintanya
agar tidak mengotori mulut dan hatinya dengan kekasaran dan kebencian. Lalu
beliau memberikan alasan:
"إن الله رفيق
ويحب الرفق في الأمر كله".
“Sesungguhnya Allah Swt. lembut, dan menyukai kelemahlembutan dalam segala
hal.” (HR. al-Bukhari)
Lemah-lembut dalam tutur kata, lemah-lembut dalam canda, serta lemah-lembut
dalam tingkah-laku ternyata merupakan salah satu keteladanan yang paling
menonjol dalam diri Rasulullah Saw. Dan saat ini, dalam keseharian kita, baik
dalam lingkup kehidupan sosial yang paling kecil hingga yang paling besar;
betapa kita menghajatkan keteladanan ini demi terus menjaga keseimbangan sosial
yang kita miliki. Toh Allah Swt. telah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu;
yaitu bagi orang-orang yang mengharap (keridhaan) Allah…” (Al-Ahzâb; 21)
Kelemahlembutan bukan indikasi ketidakberdayaan, tetapi merupakan tanda
kemampuan untuk mengendalikan diri. Sebaliknya, kekasaran bukan tanda kekuasaan,
namun tanda kerapuhan emosional dan kelemahan kepribadian.
Pada titik singgung ini, Nabi Saw. bersabda:
"إذا أحبّ الله
عبدا أعطاه الرفق. وما من أهل بيت يحرّمون الرفق إلا حرّموا الخير".
“Apabila Allah Swt. menyukai seorang hamba, maka Ia akan mengkaruniainya
kelemahlembutan. Dan barangsiapa dari keluargaku yang mengharamkan/menjauhi
kelemahlembutan, maka sesungguhnya dia telah menjauhi kebaikan.” (HR. Muslim
dan Abu Dawud)
BELAJARLAH DARI KELUARGA IBROHIM As
Kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia yang
berjumlah sekitar 2 juta orang setiap tahunnya menunaikan ibadah haji ke tanah
suci Makkah, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menunaikan ibadah haji itu
untuk kesekian kalinya, tak ada perasaan bosan apalagi kapok dalam menunaikan
ibadah haji meskipun harus berkorban dengan harta, tenaga dan menghadapi
sejumlah kesulitan. Bahkan setiap muslim yang sudah menunaikannya tetap ingin
mengulanginya lagi meskipun kewajiban haji hanya sekali dalam seumur hidup.
Kalau bukan
panggilan iman, mana mungkin seorang hamba mau meninggalkan segala urusan
duniawi dengan pengorbanan harta, waktu dan tenaga guna menunaikan ibadah haji.
Sudah lama niat ditancapkan ke dalam hati, danan dikumpulkan, lesehatanbadan
dijaga, manasik haji dihafalkan dan fatwa-fatwa serta nasehat-nasehat para
ulama dihayati dalam-dalam dengan harapan agar cita-cita menunaikan ibadah haji
tidak sia-sia dihadapan Allah swt.
Ibadah haji memberikan pelajaran yang sangat besar dan berharga kepada setiap
orang yang menunaikannya, karenanya pantas kalau haji kita sebut juga sebagai
madrasah atau sekolah yang diantara fungsinya adalah untuk membina dan menempa
orang yang berada didalamnya. Kalau kita sederhanakan, paling tidak ada tujuh
tempaan atau binaan ibadah haji bagi orang yang menunaikannya.
Pertama, ibadah haji membina kepada jamaahnya untuk selalu mengagungkan Allah
swt, ini terlihat dari ucapan Labbaik Allahumma Labbaika la syariika Labbaik
(Aku memenuhi panggilanMu ya Allah, Aku memenuhi panggilanMu yang tiada sekutu
bagiMu), ini menunjukkan bahwa hanya Allah yang pantas dijadikan Tuhan dan
diagung-agungkan dalam kehidupan ini. Pengagungan terhadap Allah tidak hanya
karena ucapan talbiyah itu, tapi seluruh jamaah haji memang harus menunaikan
ibadah yang sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh
Rasul saw dan ini berarti ibadah haji merupakan simbol dari penyerahan total
kepada Allah swt sehingga kaum muslimin dalam menunaikan ibadah haji tidak
terlalu bertanya-tanya apalagi mempersoalkan amalan-amalan yang harus
dilaksanakan seperti tawaf, sai dan sebagainya. Seorang muslim memang bisa saja
berkata: “yang penting kan essensi atau maksud ibadah haji yang harus kita
tunaikan, untuk apalagi simbol-simbol yang terdapat dalam ibadah haji itu?”.
tai baagi muslim yang sejati, dia akan menyadari bahwa ibaah haji itu merupakan
salahsatu bentuk ujian Allah kepada hamba-hambaNya apakah manusia mau loyal
atau tidak kepada Allah swt.
Kedua, ibadah haji juga membina kaum muslimin untuk membuktikan semangat
ukhuwahnya, tidak hanya dalam bentuk jiwa, tapi juga raga karena telah
dipertemukan oleh Allah dalam satu tempat, maksud dan tujuan yang sama, bacaan
yang sama hingga pakaian yang sama, tak ada perbedaan suku, ras, warna kulit,
bahasa, pangkat, kedudukan dan sebagainya, semua harus menunaikan ibadah haji
deng ketentua-ketentuan yang sama. Dari semangat ukhuwah ini, kaum muslimin
seharusnya semakin menyadari bahwa seorang haji semestinya lebih hebat semangat
ukhuwahdalam upaya menegakkan agama Allah dimuka bumi ini.
Dalam kaitan ini ibadah haji telah membangkitkan perasaan kasih sayang dengan
sesama muslim, pengendalian hawa nafsu dan semangat kebersamaan yang pada
akhirnya diharapkan bisa membangkitkan kekuatan solidaritas Umat Islam sedunia.
Binaan ketiga yang diperoleh kaum muslimin dari menunaikan ibadah haji adalah
menumbuhkan semangat berkorban tanpa pamrih, hal ini karena ibadah haji memang
harus ditunaikan dengna pengorbanan yang sangat besar, baik berupa harta, jiwa,
tenaga hingga waktu yang tersedia untuknya dlam kehidupan ini. Hasil tempaan
atau binaan dlam ibadah haji terhadpa kaum muslimin semestinya membuat kaum
muslimin tidak segan-segan untuk berkorban dengan harta dan jiwanya dan dengan
semua itu dia tidka akan menjadi manusia yang lupa atau lali dari mengingat
Allah sw, Allah berfirman :
يا أيها
الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم
الخاسرون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi (surat al-Munafiquun : 9)
keempat yang merupakan binaan atau tempaan dari ibadah
haji kepada kaum muslimin adalah memperkuat ikatan sejarah yang membawa kaum
muslimin kepad jejak sejarah Islam pertama, hal ini karena memang ibadah haji
itu juga napak tilas nabi Ibrahim, seorang nabi yang sangat gigih dalam
perjuangan menegakkan agama Allah yang juga mendapat dukungan yang luarbiasa
dari istri dan anak-anaknya. Nabi Ibarahim mendapat juluikan Bapaknya para
nabi, karena dari keturunannya lahir para nabi. Nabi Ibrahim dengan
kecintaannnya yang luar biasa kepada Allah membuat dia siap dihukum mati dengan
cara dibakar meskipun kemudian Allah menolongnya, juga dengan ikhlas
melaksanakan perintah pengorbanan anaknya Ismail, sementara Ismail juga dengan
sabar menerima ketentua itu dan Siti Hajar sang istri tercinta juga rela dengna
terhadap keputusan Allah hingga dia berhasil mengusir syetan yang berusaha
menggodanya.
Oleh karena itu dengan melaksanakan ibadah haji
seorang muslim semestinya tidak sekedar meraskan kenikmatan beribadah secara
ritual, tapi juga dapat membayangkan dan menghayati betapa berat perjuanga para
nbai dalam dakwah serta dapat juga menghayati nikmatnya perjuangan itu meskipun
dengan tantangan yang berat, dari sini diharapkan seorang haji juga dapat
membuktikan keberhasilan ibadah hajinya dengan ikut serta secara aktif dalam
dakwah guna memperbaiki kondsi akhlak manusia yang kita rasakan sekarang
terjadi kerusakan yang sangat mengkhawatirkan.
Hadirin Kaum muslimin yang dimulaiakan Allah
Kelima, ibadah hajijuga menempa kaum
muslimin untuk menjadi orang yang berani dan siap menghadapi mati, apalagi
ibadah ini merupakan simbol penyerahan total manusia kepada Allah, sehingga
ibadah haji itu latihan untuk kembali kepada Allah sebagaimana layaknya orang
yang meninggal dunia. Telah dilatih jamaah haji itu untuk menggunakan kain
kafan dengna pakaian ihram, doilatih juga untuk membayankan suasana di padang
mahsyar dengan wukuf di padang Arafah dan sebagainya, bahkan dilatih untuk melawan
syaitan yang selalu menggoda agar manusia terlalu cinta dunia dan takut pada
mati. Oleh karena itu kalau kemudia ada ornag yang sudah menunaikan ibadah haji
tapi masih saja takut kepada mati itu menunjukkkan kekurangberhasilan ibadah
haji yang dilakukannya, apalgi kalau dia masih saja tunduk pada
keinginan-keingaina syaithan.
Keenam, yang juga merupakan tempaan
dari ibadah haji adalah mendidik seorang muslim untuk selalu menjaga kehormatan
dirinya, karena seorang haji yang bmabrur tentu harus membuktikan kemabruran
hajinya itu dengan kehormatan diri sehingga dia harus jaga dirinya agar jangan
sampai melakukan hal-hal yang menodai nilai hajinya itu. Apalagi bagi seorang
muslim yang karena sudah menunaikan ibadah haji lalau dia menambah gelar haji
didepan namanya, ini memebuat dia harus lebih ahti-hati lagi agar jangan
samapai melakukan hal-hal yang bernilai maksiat, karena apa kata orang kalau
seorang haji melakukan kemaksiatan.
Tempaan ketujuh yang diperoleh dati
menunaikan ibadah haji adalah agar seorang muslim memiliki kesimbangan cinta.
Manusia memang cenderung untuk mencintai segala yang membawa kenikmatan duniawi
dan Allah sendiri tidak melarang manusia untuk mencintai dunia dan segala
isinya, hanya kecintaan kepada Allah dan Rasulnya harus diatas segala-galanya
sehingga kecintaan pada ha—hal yang sifanya duniawi seperti anak, istri, harta,
rumah, jabatan, pekerjaan dan sebagainya tidka melebihi dari kecintaan kepada
Allah dan RasulNya.
Seorang muslim memang tidka
dibenarkan mencintai selain Allah yang melebihi kecintaannya kepada Allah,
bahkan jangankan melebihi kecintaannya kepada Allah, sama saja dalam cinta
antara Allah dengnaselainnya sudah tidak dibenarkan, hal ini dikemukakan oleh
Allah swt dalam kecintaan seorang mukmin yang sejati, Allah berfirman
ومن الناس من
يتخذ من دون الله أندادا يحبونهم كحب الله والذين أشد حبا لله
“Diantara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandinga selain Allah, mereka mencintainya sebagamana
mereka mencintai Allah. Adapun ornag-orang yang beriman sangat mencintai Allah”
(Surat Al-Baqarah :165)
Hari raya Idul Adha yang kita peringati dan kita rayakan setiap tahun telah
memberikan kesan dan pelajaran yang dalam untuk kta semua, khususnya dalam
kaitan mengenang tokoh-tokoh yang terkait dengan peristiwa pengorbanan. Nabi
Ibrahim as, Siti Hajar dan Ismail as, mereka merupakan figur-figur yang memang
patut kita teladani, khususnya dalam kaitannya sebagai bapak atau suami, ibu
atau istri dana anak atau generasi muda. Allah swt sendiri memang telah
menyebutkan bahwa pada mereka itu terdapat keteladanan yang sangat tinggi.
Allah berfirman :
قد كانت لكم
أسوة حسنة فى إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقومهم إنا برؤا منكم ومما تعبدون من
دون الله.
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata
kepada kaum mereka, sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamuu dan dari apa
yang kamu sembah selain Allah” (Surat Al-Mumtahanah: 4)
Oleh karena pada generasi Ibrahim
itu terdapat keteladanan yang mengagumkan, baik dari diri nabi Ibrahim as
sendiri, Siti Hajar istrinya maupun Ismail assebagai anak yang dihasilkannya,
tentu terdapat ciri-ciri yang harus kita teladani dan kita jadikan pedoman
dalam bentuk karakter generasi muda kita sekarang dan dimasa-mas yang akan
datang.
Ada enam ciri generasi Ibrahim yang harus kita tanamkan kedalam diri kita dan
generasi muda kita pada masa kini dan mendatang manakala kita ingin memiliki
generasi Islam yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Pertama, yang merupakan ciri dari generasi Ibrahim adalah kritis dalam mencari
dan menerima kebenaran, karena itu generasi Ibrahim tidka larut dengan keadaan
zaman disekitarnya, generasi Ibrahim adalah generasi yang pandai memisahkan mana
yang hak dan mana yang batil untuk selanjutnya memilih yang hak dan
meninggalkan yang batil. Pelajaran ini nampak dari kisah Nabi Ibrahim as dalam
mencari tuhan dengan mengatakan kepada bapaknya yang bernama Azar :
أتتخذ أصناما
آلهة إنى أراك وقومك فى ضلال مبين
“Pantaskah kamu menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummmu
dalam kesesatan yagn nyata. (Al-Anam : 74)
Semula ketika Ibrahim as melihat
bintang dia menduganya sebagai tuhan dengna mengatakan: “Inilah Tuhanku”, tapi
ia tidak suka saat bintang itu tenggelam. Lalu ketika bulan nampak, ia berkata:
“Inilah Tuhanku”, tapi ia juga tidak suka ketika bulan itu terbenam, ketika
matahari terbit, ia berkata: “Inilah Tuhanku”, tapi ia tidak menuhankan
matahari karena matahari juga terbenam sampai akhirnya ia menemukan Tuhan Allah
yang hak.
Demikianlah generasi Ibrahim dengan
daya kritisnya yang tinggi untuk bersikap dan bertingkah laku, karena itu
generasi yang harus kita bina harus memiliki sikap kritis sehingga tidak mudah
diomabang ambing oleh berbagai mode.
Kedua, ciri generasi Ibrahim yang seharusnya ada pada generasi kita adalah
memiliki sikap dan perilaku yang menyatu dengan ajaran Islam sehingga ia
berlepas diri dati segala macam bentuk kekufuran. Sikap seperti ini membuat dia
tidka mungkin suka kepada segala bentuk kemaksiatan karena hal itu merupakan
cermin dari sikapnya kepada kekufuran. Surat Al-Mumtahanah ayat 4 tadi
datas mencerminkan sikpa seperti ini.
Ketiga, yang merupakan ciri generasi Ibrahim adalah memiliki kebanggaan sebagia
seorang muslim sehingga dai selalu menunjukkan identitasnya sebagai muslim
dimanapun dia berada dalam berbagai situasi dan kondisi. Sikap ini tercermin
dalam firman Allah :
فإن تولوا
فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون
“Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka: “saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang
menyerahkan diri kepada Allah” (surat Al-Imran :64)
Keempat, yang juga menjadi ciri
generasi Ibrahimm adalah memiliki ilmu yang banyak sehingga dengan ilmu itu
mereka mencapi prestasi yang tinnggi. Oleh karena itu generasi kita sekrang
juga harus memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu dan gemar pula
mengamlkan ilmu untuk kebaikan dijalan Allah swt, sifat ini terceermin dalm
firman Allah:
واذكر عبادنا
إبراهيم وإسحاق ويعقوب أولى الأيدى والأبصار
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami,
Ibrahim, Ishak dan Yakub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan
ilmu-ilmmu yang tinggi”.(surat shad :45)
Kelima, yang juga menjadi ciri
penting dari generasi Ibrahim adalah sanggup menghadapi resiko dalam perjuangan
menegakkan kebenaran, hal ini karena perjuangan dijalan Allah memang akan
berhadapan denan ssejumlah kendala dan Nabi Ibrahim as telah membuktikan
keberaniaannya menanggung resiko sampai siap dibakar sekalipun, keberanian
seperti ini memang harus kita tiru dalam kehidupan kita sekarang. Allah
menceritakan sikap berani Nabi Ibrahim dalam firmannya:
فراغ عليهم
ضربا باليمين فأقبلوا إليه يزفون قال أتعبدون ما تنحتون والله خلقكم وما تعملون
قالوا ابنوا له بنيانا فألقوه فى الجحيم.
“Lalu dihadapinya berhal-berhala itu
sambil memukulnya dengan tangannya. Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan
bergegas. Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat
itu, padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kau perbuat itu.
Mereka berkata: “Dirikanlah suatu bangunan untuk membakar Ibrahim, lalu
lemparkanlah dia kedalam api yang menyala-nyala itu”.(surat as-shafat:93-97)
Namun karena keberanian yang luar
biasa itulah, Allah swt memberikan pertolongan dengan diselamatkannya
Ibrahim dari jilatan api yang panas, apalagi Raja Namrud menunjukkan
kesombongannya, hal itu diceritakan Allah dalam firmanNya:
قالوا حرقوه
وانصروا آلهتكم إن كنتم فاعلين. لنا يا نار كونى بردا وسلاما على إبراهيم
“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan
banulan tuhan-uahn kamu jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami
berfirman: “Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatankah bagi Ibrahim
(Surat al-Anbiya: 68-69)
Ciri keenam
dari generasi Ibrahim adalah sangup dan mau berkorban demi kepentingan Islam
dan umatnya. Ini nampak sekali dari gambaran ayat diatas dimanaIbrahim as
memangg sanggup dan mau berkorban meskipun harus dengan nyawa sekalipun bagi
usaha meneegakkan ajaran Islam, bahkan ketika Allah memerintahkannnya
mengorbankan sang anak yang bernama Ismail as, diapun melakukannya dengan hati
yang mantap. Oleh karena itu generasi kita sekarang juga harus dibentuk
agar menjadi generasi yang sanggup dan mau berkorban dijalan Allah karena
memang tiada perjuangan tanpa pengorbanan.
Akhirnya menjadi jelas bagi kita bahwa demikian ideal gambaran dari generasi
Ibrahim as dan bila kita menilai generasi kita pada masa sekarang, maka terasa
betul kesenjangan yang sedemikian jauh. Namun hal ini tidak perlu kita
khawatirkan selama kita mau berusaha semaksimal mungkin mendidik generasi
sekarang dengan pendidikan yang sebaik mungkin.
Hari raya Idul Adha yang juga dikenal dengan hari raya Qurban salahsatu
hikmahnya adalah mengingatkan kepada kita bahwa ajaran Islam itu memang harus
ditegakkan dimuka bumi ini dan untuk menegakkannya Idul Adha juga mengingatkan
akan pentingnya berkorban dalam kehidupan kita sebagai muslim yang berkewajiban
menegakkan nilai-nilai Islam. Dalam konteks perjuangan dijalan Allah,
pengorbanan menjadi lebih penting lagi karena memang tidak mungkin perjuangan
bisa berjalan dengan baik tanpa pengorbanan yang harus dilakukan oleh kaum
muslimin. Pengorbanan dalam perjuangan di jalan Allah itulah yang memang telah
dicontohkan oleh para Rasul terdahulu dan Rasul saw serta para sahabatnya.
Dalam kaitan kita harus berkorban itulah ada firman Allah yang mengingatkan
kita agar jangan sampai harta dan anak membuat kita lupa dari mengingat Allah
swt. Yang menjadi persoalan kita adalah tidak semua orang bisa dengan mudah
mengorbankan apa yang mereka miliki untuk dimanfaatkan dijalan Allah, karena
itu ada 4 hal yang harus kita lakukan agar kita bisa berkorban dijalan Allah.
Pertama, merenungi dan menghitung-hitung betapa banyak nikmat yang Allah
berikan kepada kita dan bila kita telah menghitungnya, maka kitapun tidak akan
bisa menghitung keseluruhannya karena begitu banyak nikmat yang Allah berikan
kepada kita dan kita harus bersyukur atau berterimakasih kepadaNya dalam bentuk
pengabdian kepada Allah. Kita bisa melihat, bisa berjalan, bisa menghirup udara
yang segar, bisa berbicara, bisa mendengar, bisa minum dan sebagainya merupakan
diantara nikmat Allah yang harus kita syukuri dan berkorban dijalan Nya
merupakan salah satu wujud dari rasa syukur kepada Allah swt, Allah berfirman:
لن تنالوا
البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (surat al-Imran :92)
Kalau kita bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada kita, maka kenikmatan
yang Allah berikan itu akan ditambah, baik ditambah jumlahnya maupun ditambah
daya gunanya sehingga orang suka mengatakan apa yang dimilikinya membawa
keberkahan dan bila ternyata kita tidak mau membuktikan rasa syukur itu, maka
cepat atau lambat Allah akan menunjukkan siksanya yang sangat pedih.
Kedua, menghindari pembelanjaan yang sia-sia, hal ini karena bagi seorang
muslim apa yang dilakukannya harus berguna tak boleh sia-sia, termasuk dalam
soal penggunaan harta dan itupula yang membuat seorang bisa mencapai
keberuntungan, Allah berfirman:
قد أفلح
المؤمنون الذين هم فى صلاتهم خاشعون والذين عن اللغو معرضون
“Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, yaitu orang0orang yang khusu’ dalam shalatnya dan
orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna”
(Surat Al-Mu’minun :1-3)
Larangan Allah dalam soal
membelanjakan harta yang sia-sia bukan hanya agar seorang muslim termasuk orang
yang beruntung, tapi juga agar seorang muslim tidak termasuk kelompok orang
yang menjadi saudara syaitan karena hal itu termasuk pemborosan, Allah
berfirman :
ولا تبذر
تبذيرا إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara syetan dan syetan itu sangat ingka kepada Tuhannya” (Surat Al-Israa :25-26)
Ketiga, meneladani orang-orang yang
berkorban di jalan Allah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan
para sahabat serta pengikut-pengikutnya. Banyak sekali diantara mereka yang
begitu besar tingkat pengorbanannya melebihi apa yang diharuskan. Diantara
mereka misalnya pengorbanan yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq yang
membawa semua uangnya dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah bersama
Rasul saw. Abu Bakar melakukan hal itu karena dia tahu keluarganya dalam hal
ini istri dan anak-anaknya telah siap untuk tidak ditinggalkan apa-apa.
Begitu juga dengan Yasir dan Sumayyah, suami istri yang menjadi budak dan rela
mengorbankan nyawanya demi mempertahankan iman. Bilal bin Rabah juga siap
menderita dengan siksaan yang berat dari tuannya demi mempertahankan iman dan
masih banyak lagi kalau harus kita sebutkan satu persatu.
Keempat, yang harus dilakukan seorang muslim agar bisa berkorban dijalan
Allah adalah dengan menghilangkan sifat materialistis dari jiwanya masing-masing.
Hal ini karena manakala sifat ini masih melekat dalam jiwa seseorang, sangat
sulit baginya untuk bisa berkorban secara ikhlas dijalan Allah. Materialisme
membuat orang menjadi begitu cinta pada hal-hal yang bersifat duniawi,
sementara baik dan buruk, hebat dan tidak hebat seringkali diukur dengan
patokan materi, menguntungkan atau tidak secara materi, nabi Muhammad saw telah
mensinyalir dalam satu hadist yang panjang dengan istilah Wahn yaitu
hubbuddunya wakarohiyatulmaut, inta dunia dan takut mati.
Akhirnya bisa kita sadari bahwa
berjuang dijalan Allah guna menegakkan nilai-nilai Islam merupakan kewajiban
yang harus diemban oleh kaum muslimin, untuk itu diperlukan daya dukung yang
besar bagi pelaksanaan perjuangan itu, tanpa itu sangat sulit bagi kita untuk
bisa melaksanakan perjuangan, itu sebabnya dituntut adanya pengorbanan kita
semua, baik pengorbanan dari segi waktu, tenaga, pikiran, dana sampai nyawa
sekalipun.
Semoga kita termasuk kedalam
orang-orang yang memiliki semangat perjuangan bagi tegaknya nilai-nilai yang
datang dari Allah dan kita mau berkorban dengan segala yang kita milik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar