Letak Akal, Nafsu dan Ruh Manusia
Menurut Islam
Kajian
tentang otak dan tingkat kecerdasan manusia selalu memunculkan argumen baru
dari para ilmuwan. Berbagai jenis buku mencoba mengupas secara detail, tetapi
tetap saja tidak ada buku yang mempunyai fakta yang kuat untuk menjelaskan
sejauh mana tingkat kecerdasan otak manusia. Bagi anda yang tertarik dengan
kajian tersebut, seperti diriku, ada baiknya anda membaca artikel di bawah.
Selain itu, Iman anda akan semakin kuat dengan memahami letak tempat Akal,
Nafsu dan Ruh. Ketiga tolak-ukur tersebut merupakan bekal bagi
anda untuk menjalani hidup dengan baik.
Letak Akal, Nafsu dan Ruh Manusia
Menurut Islam
Allah سبحانه و تعالى
sebelum menciptakan manusia, telah terlebih dahulu menciptakan AQAL dan NAFSU,
tertera dalam kitab durratun nasihin karangan Syeh Ustman bin Hasan as Syakir.
Dalam hadist qudsi di sebutkan, saat Allah سبحانه و
تعالى menciptakan Aqal, Allah سبحانه و تعالى mengajukan pertanyaan pada Aqal, Yaa ayyuhal aqli, man anta wa man ana, (Wahai
Aqal, siapakah kamu dan siapakah Aku?). Ketika menerima pertanyaan, “Siapa kamu
dan siapa Aku?” aqal menjawab “Ana A’bdun wa anta
Rabbun.” saya hambaMu Dan Engkau Tuhanku..

Di sisi lain, saat Allah سبحانه و تعالى menciptakan Nafsu, dan di ajukan pertanyaan yang sama,
nafsu menjawab, Ana ana wa anta anta (Aku ya
aku, dan kamu ya kamu), lantas Allah سبحانه
و تعالى memasukkan ke neraka
panas selama 1000 tahun. Setelah itu nafsu ditanya lagi, namun tetap gak kapok
juga dengan menjawab hal yang sama, lantas di masukkan ke neraka dingin selama
1000 tahun. Setelah itu ditanya lagi, tetap juga sama jawabannya, lalu di
masukkan ke neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu diangkat dan ditanya lagi,
baru ia menjawab Ana abdun wa Anta Robbun.
Aqal adalah makhluq suci dengan fithrah Illahi, Aqal itu
ibarat kusir yang mengendalikan nafsu.
Dimanakah letak tempat Aqal
dan Nafsu
Aqal dan nafsu itu terletak di dalam QOLBU. Qolbu dalam arti jasmani adalah Organ jantung manusia. Diterangkan dalam hadist nabi riwayat muslim, Nabi bersabda:
"Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila dia baik maka jasad tersebut akan menjadi baik, dan sebaliknya apabila dia buruk maka jasad tersebut akan menjadi buruk, Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah “Qolbu”". Hadis Riwayat Bukhori
Qolbu dalam bahasa arab artinya jantung. Menurut Imam Al-ghozali, perenungan itu dilakukan mulai dari qolbu yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui pemikiran (al-fikri) dalam otak kepala.
Firman Allah SWT أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَـٰكِن تَعْمَىالْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
afalam yasiiruu fii l-ardhi fatakuuna lahum quluubun ya’qiluuna bihaa aw aatsaanun yasma’uuna bihaa fa-innahaa laa ta’maa l-abshaaru walaakin ta’maa lquluubullatii fii shshuduur QS. Al-hajj 22:46
Artinya: maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qolbu, dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qolbu yang di dalam dada.
Di jelaskan pada ayat di atas, bahwa qulub atau qolbun itu letaknya fis shuduur, di dalam dada, dan yang ada di dada itu adalah jantung (heart), bukan hati / liver, yang berada di bawah dada, di atas perut.
Dalam alqur’an di jelaskan bahwa sesungguhnya ILMU itu letaknya di jantung qolbun fis shuduur, ilmu itu mencakup Aqal dan Nafsu.
Dalam jantung, ada syaraf-syaraf yang bersambung ke otak. Otak sendiri ada dua bagian, yaitu otak kanan yang disebut EQ, tempat syaraf emosional, seperti marah, sedih, senang, takut, dll. Disinilah yang menghubungkan dengan NAFSU yang berpusat di jantung. Yang kedua yaitu otak kiri yang menghubungkan syaraf memory, kecerdasan, berfikir, daya ingat, rasional, yang disebut IQ pusat intelegensi, di sinilah PUSAT AQAL yang berhubungan dengan syaraf di jantung.
Jantung bukan sekedar pemompa energy yang berupa darah menuju ke otak, sebab jantung adalah pusat segala energy yang ada, detakan jantung itu tidaklah bekerja otomatis, tapi di kendalikan oleh Sang Maha Pengendali. Saat manusia menforsir daya otak kiri-nya, maka jantung bereaksi, begitu juga jika perasaan cinta, benci, senang, sedih, di otak kanan bangkit, maka akan bereaksi pada jantung.
Imam ghozali berpendapat dengan dasar ayat alqur’an di atas, bahwa ILMU itu bukan di otak, tapi di dalam qolbu, penglihatan itu bukan pada mata, tapi di dalam qolbu, pendengaran itu bukan pada telinga, tapi di dalam qolbu, pembicaraan itu bukan pada mulut, tapi di jantung qolbu haqiqotun..
Otak, mata, telinga, mulut, itu hanyalah peralatan yang berupa RAGA yang dikendalikan oleh AQAL dan NAFSU yang terletak dalam JANTUNG QOLBU.
Lalu apakah Ruh itu? وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
wayas-aluunaka ‘ani rruuhi quli rruuhu min amri rabbii wamaa uutiitum mina l’ilmi illaa qaliilaa [17:85]
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. QS. al-isra 85
Aqal dan nafsu itu terletak di dalam QOLBU. Qolbu dalam arti jasmani adalah Organ jantung manusia. Diterangkan dalam hadist nabi riwayat muslim, Nabi bersabda:
"Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila dia baik maka jasad tersebut akan menjadi baik, dan sebaliknya apabila dia buruk maka jasad tersebut akan menjadi buruk, Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah “Qolbu”". Hadis Riwayat Bukhori
Qolbu dalam bahasa arab artinya jantung. Menurut Imam Al-ghozali, perenungan itu dilakukan mulai dari qolbu yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui pemikiran (al-fikri) dalam otak kepala.
Firman Allah SWT أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَـٰكِن تَعْمَىالْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
afalam yasiiruu fii l-ardhi fatakuuna lahum quluubun ya’qiluuna bihaa aw aatsaanun yasma’uuna bihaa fa-innahaa laa ta’maa l-abshaaru walaakin ta’maa lquluubullatii fii shshuduur QS. Al-hajj 22:46
Artinya: maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qolbu, dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qolbu yang di dalam dada.
Di jelaskan pada ayat di atas, bahwa qulub atau qolbun itu letaknya fis shuduur, di dalam dada, dan yang ada di dada itu adalah jantung (heart), bukan hati / liver, yang berada di bawah dada, di atas perut.
Dalam alqur’an di jelaskan bahwa sesungguhnya ILMU itu letaknya di jantung qolbun fis shuduur, ilmu itu mencakup Aqal dan Nafsu.
Dalam jantung, ada syaraf-syaraf yang bersambung ke otak. Otak sendiri ada dua bagian, yaitu otak kanan yang disebut EQ, tempat syaraf emosional, seperti marah, sedih, senang, takut, dll. Disinilah yang menghubungkan dengan NAFSU yang berpusat di jantung. Yang kedua yaitu otak kiri yang menghubungkan syaraf memory, kecerdasan, berfikir, daya ingat, rasional, yang disebut IQ pusat intelegensi, di sinilah PUSAT AQAL yang berhubungan dengan syaraf di jantung.
Jantung bukan sekedar pemompa energy yang berupa darah menuju ke otak, sebab jantung adalah pusat segala energy yang ada, detakan jantung itu tidaklah bekerja otomatis, tapi di kendalikan oleh Sang Maha Pengendali. Saat manusia menforsir daya otak kiri-nya, maka jantung bereaksi, begitu juga jika perasaan cinta, benci, senang, sedih, di otak kanan bangkit, maka akan bereaksi pada jantung.
Imam ghozali berpendapat dengan dasar ayat alqur’an di atas, bahwa ILMU itu bukan di otak, tapi di dalam qolbu, penglihatan itu bukan pada mata, tapi di dalam qolbu, pendengaran itu bukan pada telinga, tapi di dalam qolbu, pembicaraan itu bukan pada mulut, tapi di jantung qolbu haqiqotun..
Otak, mata, telinga, mulut, itu hanyalah peralatan yang berupa RAGA yang dikendalikan oleh AQAL dan NAFSU yang terletak dalam JANTUNG QOLBU.
Lalu apakah Ruh itu? وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
wayas-aluunaka ‘ani rruuhi quli rruuhu min amri rabbii wamaa uutiitum mina l’ilmi illaa qaliilaa [17:85]
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. QS. al-isra 85

Alqur’an sendiri telah menegaskan, bahwa Ruh itu adalah
urusan-Nya, Kita tidak tahu melainkan sedikit, sedikit bagi Allah سبحانه و تعالى akan pengetahuan manusia.
Ruh ibarat Energi, ruh dalam lafadz
arab, berasal dari kata “riih” رياح yang maknanya angin.
Dalam ilmu pengetahuan eksak, gerakan angin itu terjadi karena reaksi energi elektromagnetic, yang terus bergerak, energi elektromagnetic ini dalam unsur atom di sebut elektron yang kita rasakan sebagai energi aliran listrik. Dan ternyata, tiada satupun profesor di dunia yang dapat menjelaskan apakah listrik itu dengan paten, seperti halnya tiada seorang ulama’ yang dapat menjelaskan apakah ruh itu.
Yang kita tahu, hanyalah sebatas pengertian bahwa, ruh itu adalah energi yang dapat menghidupkan benda organik, sedangkan listrik itu adalah energi yang dapat menghidupkan benda anorganik.
Jadi, ruh itu bukanlah seperti di film atau gambar, yang berbentuk bayangan, atau asap, sungguh berlepas diri tentang hal itu. Begitu juga listrik, bukan lah petir yang berapi, terang, seperti dalam gambar, itu hanyalah reaksi percikan api, yang panas, sedangkan listrik sendiri tidak berwarna, tidak terlihat, juga bukan kalor atau panas.
Kesimpulanya
RAGA itu di kendalikan oleh AQAL dan
NAFSU yang terletak dalam QOLBU yang dapat hidup karena ada RUH dengan KUASA الله سبحانه و تعالى
Demikianlah artikel tentang Letak Akal, Nafsu dan Ruh Manusia Menurut Islam yang bersumber dari sini. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan anda. Akhir kata, selamat menjalankan Ibadah Puasa.
Kedudukan Akal dalam Islam
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat
mulia. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam
memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana
mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah,
dalam permasalahan apapun.Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)
Ibnu Taimiyyah t mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” (Al-Istiqamah, 2/157)
Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:
1. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalambersabda:
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)
2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. (Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35)
3. Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)
Asy-Syinqithi t mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35)
4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.
As-Safarini t berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah subhanahu wa ta’ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)
Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.
Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
Akal yang terpuji dan akal yang tercela
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah I, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.
Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim t di atas.
Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.
Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)
Ketika dalil bertentangan dengan akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.
Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)
Abul Muzhaffar As-Sam’ani t ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)
Bila akal didahulukan
Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:
1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam u, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)
2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad r. Mereka katakan:
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)
3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.
4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50)
5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.
6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8)
Ini termasuk larangan terbesar.
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)
7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.
8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]
Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar