Selasa, 14 Mei 2013

Hikmah Isro'



“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”(QS. Al-Isra’: 1)
“Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 13-18)
Pada suatu malam yang dingin tanggal 27 Rajab, tepatnya 10 tahun setelah Rasulullah SAW menerima wahyu kenabian, Allah SWT. memberangkatkan hamba-Nya yang terkasih-Nya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian naik ke langit ke-7 menuju Sidratul Muntaha. Semuanya tentu tahu tentang peristiwa tersebut karena setiap tahunnya umat muslim di Indonesia memperingatinya. Tapi adakah di antara mereka yang mengetahui peristiwa tersebut kemudian memahami ‘kenapa Allah memberangkatkan seorang hamba-Nya yang bernama Muhammad SAW itu?’
Dan dalam tulisan berikut ini kita akan membahasnya secara singkat tentang hikmah di balik Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw. Kenapa kita harus membahasnya? Ada dua tujuan; Pertama, kita semua sepakat dan meyakini bahwa setiap kejadian dan peristiwa pasti ada hikmah yang terkandung tentunya bagi orang-orang yang berakal, kedua, dalam pembahasan ini diharapkan setelah membaca tulisan ini dapat meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT yang begitu besar kekuasaan-Na. Berikut hikmah yang dapat saya rangkum dari buku Sirah Nabawiyah.
1. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan yang nyata, bukan perjalanan ruhani/mimpi atau khayalan.
Sungguh tak bisa dibayangkan apabila perjalanan Isra’ Mi’raj yang Rasulullah jalankan merupakan hanya perjalanan ruhani alias hanya mimpi, karena jika hal itu yang terjadi maka perjalanan Isra’ Mi’raj tidak ada bedanya dengan wahyu-wahyu yang Rasulullah terima baik melalui bisikan Jibril maupun dari mimpi. Sehingga peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa dijadikan pembuktian keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sepulangnya Rasulullah dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj-nya, beliau mengumumkan tentang apa yang telah dialaminya semalam kepada kaumnya. Dan sebagaimana yang diceritakan oleh Rasulullah bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj tersebut sebuah perjalanan yang dilakukannya dengan jiwa dan ruhnya, maka seketika itu banyak dari kaum Quraisy yang menentang dan mencemoohnya dengan sebutan ‘gila’. Kaumnya beranggapan mana mungkin perjalanan dari Masjidil Haram yang di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di negeri Syam (Palestina) hanya dengan waktu semalaman, padahal mereka jika hendak ke negeri Syam untuk berdagang membutuhkan waktu hingga 1 bulan lamanya. Tak pelak peristiwa Isra’ Mi’raj yang menurut mereka tidak masuk akal membuat beberapa orang yang baru masuk Islam tergoyahkan keimanannya dan kembali menjadi murtad.
2. Isra’ Mi’raj adalah jamuan kemuliaan dari Allah, penghibur hati, dan pengganti dari apa yang dialami Rasulullah SAW ketika berada di Thaif yang mendapatkan penghinaan, penolakan dan pengusiran.
Sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi, Rasulullah SAW terus mengalami ujian yang sangat berat. Mulai dari embargo ekonomi hingga dikucilkan dari kehidupan sosial yang dilakukan oleh Kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib, kemudian cobaan yang sangat berat diterima oleh Rasulullah SAW adalah meninggalnya orang-orang yang terkasihinya dalam waktu yang berdekatan yaitu meninggalnya pamannya Abu Thalib bin Abdul Muthalib serta istrinya tercinta Khadijah yang selalu menemaninya dan mendukungnya dengan jiwa, raga dan hartanya dalam perjalanan dakwah Rasulullah. Lalu hingga pengusiran, penolakan dan penghinaan kepada apa yang Rasulullah dakwahkan kepada penduduk kota Thaif.
3. Isra’ bukanlah peristiwa yang sederhana. Tetapi peristiwa yang menampakkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang paling besar.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al-Isra’: 1 dan An-Najm: 13-18 bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan pembuktian dan menampakkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang paling besar. Peristiwa Isra’ Mi’raj mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang tidak bisa Allah lakukan, dan hal tersebut terkadang masih saja di antara kita yang meragukan tentang kekuasaan Allah yang sangatlah besar, sehingga membuat kita menjadi ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya.
4. Peristiwa Isra’ Mi’raj membuktikan bahwa risalah yang dibawa oleh Rasulullah adalah bersifat universal.
Perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram yang ada di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di Syam melintasi ribuan kilometer yang jauh dari Mekah tempat Rasulullah dilahirkan, hal ini Allah ingin membuktikan bahwa ajaran yang Rasulullah bawa bukan hanya untuk penduduk Mekah saja tetapi untuk seluruh wilayah yang ada di bumi ini. Setibanya Rasulullah SAW di Masjidil Aqsha, beliau memimpin shalat para Nabi dan Rasul-Rasul Allah. Hal tersebut menandakan bahwa baginda Rasulullah SAW merupakan pemimpin dan penghulu para Nabi dan Rasul yang telah Allah turunkan sebelumnya. Dan agama Islam beserta syariatnya yang Rasulullah bawa menjadi ajaran dan syariat yang berlaku untuk seluruh kaum dan umat manusia di seluruh dunia.
5. Dalam Isra’ Mi’raj diturunkannya perintah shalat wajib 5 kali dalam sehari.
Ketika Rasulullah sampai di Sidratul Muntaha dan menghadap kepada Allah, lalu Allah menurunkan syariat shalat 5 waktu kepada Rasulullah SAW dan kepada para umatnya. Dan perintah shalat yang Rasulullah terima menjadi perintah yang Rasulullah pegang erat dan Rasulullah teguhkan kepada umatnya agar jangan sampai umatnya melalaikannya, karena ibadah shalat menjadi kunci utama diterimanya amalan-amalan umatnya yang lainnya hingga sampai Rasulullah mewasiatkannya pada detik-detik meninggalnya Rasulullah saw.
Demikianlah peristiwa Isra’ Mi’raj ini Allah SWT memperjalankannya kepada baginda Rasulullah SAW, hal tersebut sesungguhnya untuk dapat diketahui oleh orang-orang yang beriman dan berakal. Semoga ini menjadi hikmah yang besar buat kita semua.
Transformasi Nilai-Nilai Filosofis Isra’ Dan Mi’raj Dalam Kehidupan
Dalam tulisan ini penulis tidak memaparkan secara spesifik sebagaimana para mufassir dalam menjelaskan ayat tentang isra’ dan mi’raj sebagaimana pada Q.S. al-Isra’[17]: 1. Melainkan pada tulisan ini lebih menitik berat pada nilai-nilai filosofis dan makna simbolik yang terkandung dalam peristiwa isra’ dan mi’raj. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, memang banyak peristiwa yang secara psikologis membuat Nabi Muhammad s.a.w. bersedih, sampai saking sedihnya sejarawan mencatat tahun tersebut sebagai ‘amm al-huzn (tahun kesedihan). Mula-mula Nabi Muhammad s.a.w. kehilangan pamannya, Abu Thalib yang selama ini membela Nabi Muhammad s.a.w. melalui pengaruh ketokohannya. Berikutnya Khadijah, istri tercintanya yang selama ini selalu mendukungnya dan menanamkan ketenangan kepada beliau, juga wafat. Hal ini menjadi gangguan kaum musyrik semakin menjadi-jadi, sehingga beliau pindah dalam berdakwah, yaitu ke Thaif. Namun di sanapun beliau ditolak. Selama berdakwah 13 tahun di Makkah, pengikutnya masih sangat terbatas. Lengkap sudah kesedihan beliau. Pada situasi itulah, Ia berdo’a dan do’anya dikabulkan, sebagai bentuk bahwa Allah selalu bersama orang-orang baik, seakan-akan Allah berfirman: “Kalau penduduk bumi menolak kehadiranmu dan menentang ajaranmu, maka tidak demikian dengan penduduk langit. Dari sini kemudian Nabi Muhammad s.a.w. di isra’kan dan dimi’rajkan. Dengan demikian, dalam isra’ dan mi’raj  ini terkandung makna rekreasi untuk menyenangkan Nabi Muhammad s.a.w.[1]
Setelah wafatnya orang-orang yang dicintainya Allah, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, dalam kitabnya fiqhu al-Sirah, menyatakan, “Adalah suratan taqdir Rasulullah bila orang-orang terkasih beliau, seperti Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, telah pergi dari kehidupan beliau. Orang-orang yang selama itu begitu tulus, jernih dan setia membela dan memberi perlindungan kepadanya.” Adapun hikmah dari kepergian orang-orang terkasih belaiu itu adalah:
Pertama, bahwa pertolongan, perlindungan, dan kemenangan semuanya hanya datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah telah berjanji untuk menolong dan melindungi Rasul-Nya dari aniaya kaum musyrik dan para musuh, baik dari kalangan manusia ada yang menlindungi Rasulullah maupun tidak Allah pasti menjaga Rasulullah dari aniaya manusia kafir maupun musyrik sehingga datang pertolongan dan kemenangan bagi Islam.
Kedua, bukanlah maksud dari perlindungan dan pertolongan manusia itu berarti tidak adanya hinaan, penistaan, atau bahkan azab yang dialami dan menimpa Rasulullah, seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّرسُوْلُ بَلِّغْ مَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Mâidah [5]: 67). Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari tindak pembunuhan, pun usaha-usaha bengis musuh Islam dalam menghalangi dakwah islamiyah.[2] Di ayat yang lain Allah berfirman,

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَ # فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السَّاجِدِيْنَ

  “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat).” (QS al-Hijr [15]: 97-98).[3]
Wafatnya orang-orang terkasih Rasulullah membuat hati beliau sedih dan berduka. Namun jika hal itu dikaitkan dengan sebab terjadinya isra’ dan mi’raj sesungguhnya sangatlah tidak sepadan dengan keagungan nilai-nilai mi’raj itu sendiri. Peristiwa isra’ dan mi’raj yang dialami Rasulullah adalah sebauh momen kehidupan terbesar yang dialami Rasulullah sepanjang hidupnya, dan hikmah isra’ dan mi’raj lebih agung dan mulia ketimbang hanya sekedar untuk menghibur dan memperjalankan Rasulullah dari kepedihan yang menimpa beliau. Dalam kondisi psikologis seperti itu, sah-sah saja jika ada para pemikir, juga para ulama yang  mengtakan bahwa perjalanan agung tersebut adalah sebagai usaha pelipur lara bagi Rasulullah. Numun hal itu bukanlah maksud utama (tujuan pokok) dari perjalanan isra’ dan mi’raj. Kesedihan yang ada hanyalah sebuah unsur dan bumbu-bumbu perjalanan yang ada dan direnungkan adalah mencari hikmah yang tersirat dua ayat al-Qur’an:

لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ

 “…Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS al-Isrâ’ [17]: 1)

لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

“Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS al-Najm [53]: 18)
Melalui ayat ini, Abu Majdi Haraki menjelaskan sebagaimana yang ia kutip dari Imam Qusyairi mengatakan, “Allah memperlihatkan kepada Muhammad ayat-ayat-Nya, lalu sifat-sifat-Nya. Kemudian dia Dia menyingkap akan hakikat Dzat-Nya.” Lebih lanjut Imam Qusyairi, “Di antara ayat-ayat Allah yang diperlihatkan kepada Muhammad s.a.w. pada malam tersebut adalah bahwa hakikat Dzat-Nya tidak menyerupai segala sesuatu pun, baik yang terkait dengan dimensi kekuasaan dan kesempurnaan, atau kemulian  dan kebesaran-Nya, berikut puja dan puji-Nya, serta keagungan Dzat-Nya. Pada malam itu, Allah ‘Azza wa Jalla juga menunjukkan kepada Muhammad akan hakikat diri-Nya, bahwa diri-Nya tidak sama dengan para hamba dan makhluk-Nya yang lain, baik dari segi kenabian, risalah, kemulian, ketinggian maqam, kebesaran diri, maupun kedudukannya di mata Allah. Adalah tanda kekuasaan Allah yang paling besar, dalam ayat di atas (QS al-Najm [53]: 18) keabadiannya (baca: Rasulullah) dalam bertemu dengan Dzatnya, yang menumbuhkan ruh ke-terutus-an dalam diri Rasullah, serta menjaga ruh ke-terutus-an itu hingga datang hari kiamat kelak.[4]  
Peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad s.a.w. merupakan peristiwa besar yang setiap tahunnya sebagian dari umat Islam memeringatinya –terlepas dari perkara bid’ah atau tradisi-. Peristiwanya sendiri terjadi pada saat Nabi Muhammad s.a.w. berusia 53 tahun, kira-kira satu tahun lima bulan menjelang hijrahnya ke Madinah. Oleh karena itu, pada sisi lain, isra’ dan mi’raj terjadi dalam rangka mempersiapkan Nabi Muhammad s.a.w untuk mengemban tugas risalah yang tidak kalah beratnya, yaitu menghadapi masyarakat Madinah yang heterogen, bukan dari segi agama tapi juga etnis. Tugas-tugas tersebut tentu saja membutuhkan sikap mental (EQ dan SQ) dan pikiran (IQ) yang lebih dalam. Hal ini tercermin dari simbolik kata-kata yang digunakan dalam isra’ dan mi’raj tersebut, seperti sidrat al-Muntahâ, masjid dan lain-lain.[5]
Makna Simbolik Isra’ dan Mi’raj
Makna simbolik ini bisa di lihat dalam penjelasan Abu Majdi Haraki, mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fath al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî ‘Abdillâh Muhmmad bin ‘Ismâ’îl al-Bukhârî, yang ditahkik oleh Muhbuddin al-Khathib,[6] dia mengatakan “Bahwa suatu ketika Rasulullah tidur di kediaman Ummu Hani[7] yang tempat tinggalnya berada di bukit Abu Thalib, dan atap rumahnya terbuka. Di sini sengaja disebut rumah, karena Rasul berdiam di dalamnya, lalu malaikat turun ke rumah tersebut, dan mengeluarkan Rasul, serta membawanya ke masjid. Ketika dibawa, Rasul dalam keadaan terlentang dan masih terlihat bekas kantuk. Kemudian Rasul dikeluarkan dari masjid, dan dibawa ke depan pintu masjid. Dari sana, Rasulullah lantas dinaikkan Buraq.” Dalam hadits mursal hasan yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dinyatakan: “Sesunggunya Jibril telah mendatanginya, lalu membawa Rasul dari rumah tersebut menuju masjid. Setelah sampai masjid Rasul lantas di naikkan Buraq.” Riwayat Ibnu Ishaq ini banyak didukung oleh para ulama’. Dinyatakan bahwa hikmah dari turunnya malaikat keatap rumah adalah isyarat yang menunjukkan surprise (baca: kejutan). Di samping itu juga menunjukkan peringatan bahwa Rasulullah akan diperjalankan kearah ketinggian. Hal ini seperti yang ditegaskan Ibnu Hajar: “Bisa jadi hikmah dari terbukanya atap rumah mengisyaratkan akan terjadi himpitan dan rasa takut dalam dada Rasulullah s.a.w. dengan isyarat itu pula, akhirnya Rasul bisa menjadi percaya diri dan menemukan kedamaian, sehingga beliau merasa aman dari bahaya yang mengancam.[8]
Dalam riwayat lain Imam Bukhari dan Muslim menguraikan,  pada suatu malam ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang berada di Hatim (dekat Ka’bah), tiba-tiba Malaikat Jibril datang membelah dada Nabi s.a.w. hati Nabi di keluarkan dan di sucikan dengan air zam-zam, kemudian kedalam hatinya di masukannya iman dan hikmah yang telah disediakannya di bejana emas. Dengan di bimbing oleh Jibril, Nabi Muhammad s.a.w. berangkat menuju Bayt al-Maqdis  dan Masjid al-Aqsha, kemudian melakukan shalat dua raka’at yang di ikuti oleh Nabi-Nabi terdahulu. Setelah selesai shalat Jibril datang menemui Nabi dengan membawa dua gelas. minuman, gelas yang satu berisi susu dan gelas yang satu lagi berisi arak, Malaikat Jibril mempersilakan Nabi Muhammad s.a.w. meminumnya, dan Nabi Muhammad memilih susu, kemudian Malaikat Jibril mengatakan: “Seandainya kamu memilih arak niscaya umatmu akan tersesat”.  Berakhirlah proses Isra disini.[9]
Waryono Abdul Ghafur juga menjelaskan, terdapat tiga instrumen, yaitu Nabi (sebagai subyek), ruang (tempat) dan waktu sebagai obyek. Dalam ayat disebutkan bahwa tempatnya adalah dua masjid ditambah sidrat al-Muntahâ, sedangkan waktunya adalah malam. Sebagaimana disebutkan dalam ayat, bahwa titik tolak perjalanan isra’ dan mi’raj Nabi adalah bagian dari masjid al-Haram, tepatnya Ka’bah (yang ketika itu masih dikelilingi oleh banyak berhala) atau menurut satu pendapat dari ummu Hani’ bin Abi Thalib. Masjid al-Haram dijadikan sebagai titik berangkat, karena dua alasan: pertama, karena Nabi adalah orang Makkah dan tinggal di sana, dan kedua, karena masjid tersebut merupakan masjid pertama (di muka bumi) yang didirikan oleh Adam yang ditemukan dan dibangun kembali oleh Ibrahim. Hal ini sebagai isyarat bahwa Makkah, tempat di mana masjid al-Haram ada, merupakan titik tolak semua ajaran para Nabi yang universal.[10]
Dari masjid al-Haram, Nabi dibawa ke Masjid al-Aqsa, yang artinya masjid terjauh dalam pandangan mitra bicara ketika, karena memang jauh, yaitu palestina. Menurut satu riwayat yang dikutip Abdul Ghafur, masjid al-Aqsa yang menjadi persinggahan Nabi dalam perjalanan isra’ dan mi’raj-nya adalah masjid spiritual, karena bangunan fisiknya belum ada, kecuali beberapa sisa bangunan yang kurang berarti, tinggal puing-puingnya saja. Sebelum menghadap Ka’bah di masjid al-Haram, masjid al-Aqsha (Bayt al-Maqdis) merupakan kiblat pertama bagi orang Islam.[11]
Masjid al-Aqsha menjadi tempat persinggahan Nabi s.a.w. sebagai petunjuk bahwa perjalanan manusia menuju Allah, hendaknya bermula dari masjid, yakni kepatuhan kepada Allah dan berakhir pula di masjid. Dengan persinggahan itu juga, Nabi melakukan napak tilas sekaligus berziarah ke makam kakeknya, Ibrahim bapak tiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam. Dari sini diketahui bahwa ketiga agama tersebut adalah serumpun dan Islam adalah kontinuitas dari agama para nabi sebelumnya dan sebagai penyempurna.  Oleh karena itu, dalam ayat masjid al-Aqsha tersebut disifati dengan diberkahi sekitarnya, yaitu tanah yang banyak melahirkan para nabi dan semula tanahnya subur, sehingga menjadi bahan rebutan dan kekerasan, hingga sekarang. Demikianlah Waryono Abdul Ghafur menguraikan dalam bukunya.[12]
Sebanarnya isra dan mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang tak bisa diungkapkan, sehingga harus diungkapkan lewat bahasa-bahasa perumpamaan, bahasa metafor. Tidak ada kata yang tepat untuk menjelaskan sebuah pengalaman ruhani. Oleh sebab itu, di dalam peristiwa ini, terdapat nilai-nilai yang harus kita teladani. Selama ini, kata isrâ secara harfiah selalu diterjemahkan dengan “perjalanan di malam hari”. Padahal, kata isrâ’ itu sendiri, kalau dirujuk ke kata dasar Arabnya bisa bermakna “sebuah pencarian.” Kata sâriyah yang satu dasar kata dengan isrâ’ berarti pencarian. Jadi isrâ’ di sini bisa berarti “proses pencarian yang akan melepaskan diri seseorang dari kegelapan hidup.” Pertanyaannya, bukankah peristiwa itu dimulai dari masjid al-Haram menuju masjid al-Aqsha? Tunggu dulu, kita harus menelusurinya secara historis. Sebenarnya tidak ada petunjuk harfiah di dalam al-Qur’an yang menerangkan bahwa masjid al-Haram yang dimaksud adalah yang ada di dalam Makkah dan Masjid al-Aqsha di situ yang berada di Yerusalem.[13]
Kata masjid berkenaan ketika ayat itu turun, belum lagi terwujud secara fisik. Masjid al-Haram yang sekarang ini ada mula-mula dibangun secara permanen oleh Khalifah Umar bin Khaththab pada tahun 638 M. Jadi, pada masa Rasulullah s.a.w. kawasan masjid al-Haram masih berupa hamparan tanah lapang terbuka di sekitar Ka’bah yang dikelilingi perkampungan penduduk. Demikian pula masjid al-Aqsha yang ada saat ini adalah masjid yang dibangun secara permanen oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Kekhalifahan Dinasti Bani Umayyah pada tahun 66 H dan selesai dibangun tahun 73 H. Pada masa Rasulullah s.a.w masih hidup, kawasan al-Aqsha masih berupa reruntuhan candi sulaiman atau Solomon Temple, belum ada bangunan masjidnya.[14]
Maka dari itu, untuk meneladani isra’ kita tak perlu pergi jauh-jauh ke Masjid al-Haram Mekkah sampai Masjid al-Aqsha di Yerusalem. Melainkan kita harus memulai sebuah perjalanan untuk keluar dari kegelapan hidup lewat penyucian diri dari segala perilaku yang haram. Inilah makna dibelahnya dada nabi untuk disucikan hatinya sebelum peristiwa isra’. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum melakukan perjalanan untuk menemui Allah hati harus disucikan terlebih dahulu dari hal-hal yang negatif. Oleh sebab itu, dalam redaksi ayat itu disebut masjid al-Haram. Lalu, kenapa dibawa ke al-Aqsha? Jawabannya, supaya beliau dapat memahami berkat Tuhan yang ada di sekelilingnya ‘barakna haulahu’.[15]
Benarkah berkat Tuhan itu ada disekeliling masjid al-Aqsha yang ada di Yerusalem? Yang selama berabad-abad hingga kini selalu diliputi terror, peperangan dan pertumpahan darah itu? Di sekelilingnya di sebelah mananya? Tentu saja, pemahaman demikian akan sangat rancu. Berkat Tuhan hanya akan dapat dipahami dengan hati dan pikiran yang jernih. Inilah makna dari tafakur. Sementara makna masjid al-Aqsha disitu secara umum adalah masjid yang terjauh. Kita tahu, secara bahasa, kata masjid itu bisa berarti “setiap lahan dan setiap jengkal tanah yang bisa digunakan untuk bersujud”. Maka, ada istilah kullu ardhin masjidun, atau setiap jengkal tanah dapat dijadikan tempat bersujud. Untuk bersujud seorang manusia harus dapat menundukkan hatinya dan ego yang ada di dalam alam pikirannya serendah-rendahnya dihadapan Allah. Sebagaimana yang telah disimbolkan lewat gerakan sujud di dalam shalat. Kepala dan hati harus benar-benar ditundukkan dihadapan-Nya.[16]
Nah, kemudian bagaimanakah kita memaknai buraq, sebuah kendaraan yang konon dinaiki Nabi s.a.w bersama Jibril dalam perjalanan malam itu? Informasi mengenai Buraq tidak kita jumpai di dalam al-Quran melainkan di dalam hadist. Sebenarnya Buraq berasal dari kata barqun yang berarti kilat cahaya. Dalam sejumlah hadits, buraq digambarkan dengan wujud kuda bersayap atau menyerupai pegassus. Hal inilah yang mengilhami khazanah mistisme di dalam Islam di kemudian hari. Kalau kita menelusuri kekayaan spiritualisme Islam, kita akan menemukan semacam idiom “burung” dan “terbang” sebagai simbol yang menunjukkan mi’raj, kenaikan jiwa manusia menuju realitas yang lebih tinggi. Terutama kaum sufi, menggambarkan sayap sebagai sebuah simbol kekuatan untuk menerbangkan jiwa manusia. Simbolik burung yang terbang ini pun kita temukan misalnya dalam uraian Ibnu Sina, al Gazhali, Suhrawardi, Khaqqani, Ruzbihan, Balqi, Rumi hingga yang cukup fenomenal mengenai dunia tasawuf mistis adalah karya Fariduddin Attar yaitu Mantihiqat al-Thair.[17]
Hikmah Isrâ’ dan Mi’raj
Urgensi perjalanan agung isrâ’ dan mi’raj adalah untuk menumbuhkembangkan kekuatan iman dalam diri Rasulullah, atau jelasnya penampakan tanda-tanda kekuasaan Allah itu adalah dimaksudkan untuk menguatkan keyakinan iman, berikut menetapkan iman dalam diri Rasulullah, sehingga keimanan dalam diri Rasulullah benar-benar berdasarkan bukti-bukti otentik, yang lahir dari penyaksian dan penampakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terbesar, meskipun dalam membaca dan melihat keimanan tersebut masing-masing umatnya berbeda satu dengan yang lain.[18]
Sebagaimana Abu Majdi Haraki mengutip pendapat Muhammad al-Ghazali menulis bahwa hikmah isrâ’ dan mi’raj ini adalah sebagai berikut, Allah ‘Azza wa Jalla memberi kesempatan kepada Rasulullah untuk melihat tanda-tanda dan kejadian sangat luar biasa, yang terjadi atas kekuasaan Allah, agar tumbuh keyakinan kepada Allah dalam qalbu mereka, serta lahir penyadaran dan penyerahan diri mereka pada Allah ‘Azza wa Jalla, dalam menghadapi tekanan orang-orang kafir Quraisy, berikut untuk menghancurkan tembok keangkuhan mereka. Realitas sejarah merekam, bahwa sebelum Musa a.s. diutus menjadi Nabi, Allah telah menampakkan kepadanya keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, dengan memerintahkan Musa a.s. melempar tongkat yang ada ditangannya, seperti yang terekam dalam firman Allah,

 قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوْسَى # فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى # قَالَ خُذْهَا وَلاَ تَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الْأُوْلَى # وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحَكَ تَخْرُجْ بَيْضَآءَ مِنْ غَيْرِ سُوْءٍ ءَايَةً أُخْرَى # لِنُرِيَكَ مِنْ ءَايَاتِنَا الْكُبْرَى

“Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.” (QS Thâhâ [20]: 19-23)
Ketika relung qalbu Musa a.s. terpenuhi rasa takjub dengan kesaksian dirinya akan kejadian yang spektakuler tersebut, tumbuhlah dalam dirinya rasa iman dan keyakinan yang kokoh kepada Allah. Saat itulah Allah berfirman kepada Musa a.s.,[19]

 اْذَهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS Thâhâ [20]: 19-23)
Lebih lanjut Muhammad al-Ghazali mengatakan, “Kita semua telah memahami bahwa buah dari isra’ dan mi’raj adalah penampakan sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah yang teragung, meskipun hal itu terjadi dua belas tahun setelah pengangkatan (penobatan) Muhammad ibn Abdullah sebagai Nabi dan Rasulullah. Apa yang terjadi pada Musa a.s. jelas berbeda dengan Muhammad s.a.w. penampakan pada Musa terjadi sebelum pengangkatan dirinya sebagai Nabi, sedangkan penampakan pada Muhammad terjadi dua belas tahun setelah pengangkatannya sebagai Nabi dan Rassulullah. Nilai yang tersirat dari perbedaan tersebut adalah penampakan yang terjadi pada Nabi dan Rasul adalah dimaksudkan untuk menaklukkan, terlebih meyakinkan umat (kaum) mereka akan kebenaran risalah dan kenabian yang di tugaskan, sebuah pembuktian untuk para musuh dan para pembangkang yang tidak mempercayai adanya risalah dan tugas kenabian dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan tugas kenabian yang disandang Rasulullah lebih dari apa yang ditugaskan kepada para nabi terdahulu. Demikianlah urgensi dari pandangan Muhammad al-Ghazali mengenai hikmah peristiwa isra’ dan mi’raj Rasulullah tersebut, yaitu memberi kesempatan kepada Rasulullah untuk menyaksikan sebagian dari kejadian-kejadian agung, berikut tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbesar, atas kehendak dan kuasa-Nya, sehingga tumbuhlah keyakinan dan keimanan yang kokoh dalam diri Rasulullah untuk menghadapi segala penistaan dan hinaan yang dilakukan para musuh dan orang-orang kafir terhadap dirinya.[20]
Musthafa Zaid dalam makalahnya yang dimuat majalah Mimbar al-Islâm, terbitan 1967 M. Memaparkan argumentasi ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan hikmah peristiwa isra’ dan mi’raj sebagai berikut, “Allah ‘Azza wa Jalla tidak berfirman dalam ayat tersebut, “Agar dia  melihat tanda-tanda kebesaran Kami,” akan tetapi Allah berfirman, “Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.”  Hal ini menunjukkan bahwa ketika Muhammad melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, bukanlah lahir dari kekuatan pribadinya, akan tetapi dia melihat berkat kuasa dan qudrah Allah‘Azza wa Jalla sebuah kekuatan yang dibentangkan Allah kepada dirinya pada perjalanan Agung tersebut. Dengan kekuatan dan qudrah-Nya itu, Muhammad s.a.w. mampu melihat sesuatu yang diperlihatkan Allah kepada dirinya dari sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya yang paling agung. Hal ini pararel dengan firman Allah dalam surah al-Najm yang membahas masalah mi’raj,

  لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

“Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS al-Najm [53]: 18).
Tanda-tanda yang dilihat Rasulullah disebut sebagai tanda-tanda paling besar yang tidak ada seorang pun selain Rasulullah mampu melihatnya, dan Rasulullah tidak akan mampu melihat ayat-ayat tersebut jika Allah tidak menghendaki dia bisa melihatnya.[21] Maha besar Allah dengan segala ciptaan-Nya hingga Dia memperjalankan Muhammad dalam isra’ dan mi’raj yang tidak mungkin dilakukan oleh setiap makhluk-Nya tanpa kehendaknya.
Terkait dengan hikmah isra’ dan mi’raj, Mutawalli al-Sya’rawi menyatakan, “Sesungguhnya nilai yang esensial dari hikmah isra’ dan mi’raj secara global mengandung tiga dimensi yaitu pertama, Allah hendak menunjukkan kepada Rasulullah sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Kedua, Untuk membuktikan akan kebesaran-Nya kepada Muhammad, agar beliau tetap kokoh melaksanakan tugas kenabiannya. Ketiga, Untuk menerima tugas yang paling mulia dalam ritus ibadah dan ubudiyah seseorang muslim yang berupa perintah shalat lima waktu, di mana merupakan media yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.[22]
Isra’ dan mi’raj merupakan perjalanan spiritual yang paling istimewa bagi Nabi Muhammad s.a.w Puncaknya terjadi di Sidrat al-Muntaha. Seorang ulama tafsir terkemuka, Muhammad As’ad menafsirkan Sidrat al-Muntaha dengan lote-tree farthest limit atau pohon lotus yang batasnya paling jauh. Pohon Lotus dalam tradisi Mesir kuno merupakan simbol kearifan, kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagiaan. Dalam Hindu, lotus atau bunga teratai merupakan simbol pemurnian. Ajaran Budha menegaskan bahwa proses mekarnya bunga teratai merupakan lambang pencapaian kesempurnaan menuju nirwana. Kuncupnya melambangkan awal usaha dan puncak mekar bunga menjadi tanda tercapainya kesempurnaan. Dengan demikian secara simbolik Sidrat al-Muntaha dapat diartikan sebagai puncak kebahagiaan dan kebijaksanaan. Dengan isra mi’raj, Nabi telah melakukan terobosan spiritual, sehingga surga dan pencerahan hidup dicapainya hanya dalam satu malam. Dimana Siddharta Gautama pernah mencapainya dalam waktu enam tahun. Dengan hati dan pikiran yang jernih, Nabi s.a.w. menyaksikan kebenaran dan kebesaran ayat-ayat Tuhan dalam satu malam. Dan, itulah yang hendak diteladankan beliau kepada umatnya.[23]
Nilai-Nilai Filosofis Isra’ dan Mi’raj dalam Kehidupan
Nilai-nilai filosofis dari peristiwa isra dan mi’raj yang dapat kita ambil adalah sebagaimana yang ditulis oleh Abu Majdi Haraki, dia mengutip tulisannya Naser Muhammad ‘Athiyah, dia menyatakan, “Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai yang terpenting dari perjalanan agung ini adalah mencakup nilai-nilai edukatif dan pembelajaran jiwa bagi diri Rasulullah Muhammad s.a.w. sehingga beliau benar-benar memiliki kesiapan mental dalam menghadapi segala bentuk penghinaan yang diterimanya dari orang-orang kafir dan musuh Islam dalam menjalankan tugas kenabiannya. Dengan pembelajran jiwa yang terkandung dalam isra’ dan mi’raj tersebut, Rasulullah bisa berdiri kokoh setegak gunung, yang tidak mampu digoyahkan oleh usaha provokasi, ancaman, cercaan, tipu daya, maupun makar dari  orang-orang kafir, sehingga Rasulullah bisa menjalankan tugas kenabiannya yang istiqomah. Adapun prihal ayat al-Qur’an surah al-Isra’[17]: 1, makna yang tersirat menurut Naser Muhammad ‘Athiyah dari ayat tersebut adalah  bahwa Muhammad s.a.w. telah melihat kekuasaan Allah, Muhammad telah melihat para malaikat-Nya, surga-Nya, neraka-Nya, para nabi-Nya para rasul-Nya, kerajaan agung-Nya, serta kebesaran dan kasih rahmat-Nya.”[24] Hal ini sesuai dengan al-Qur’an,

مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى # لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَا تِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

  “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.  Sesungguhnya Dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”(QS al-Najm [53]: 17-18)
            Dalam kitab Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah, Ahmad sya’laby mengatakan, “Nilai edukatif yang terkandung dalam isra’ dan mi’raj adalah telah dibentangkan kepada Rasulullah kesempatan yang cukup lebar untuk melihat berbagai alam yang sangat besar. Dengan begitu, Rasulullah akan memahami bahwa sebenarnya Makkah adalah sangat kecil, berikut penduduknya serta para penentangnya. Rasulullah pun menjadi lebih paham, apalah arti sebuah Makkah dibandingkan dengan meluasnya jagad raya ini? Demikian apalah arti kekuatan, kekuasaan Sang Pencipta alam, yang telah memperjalankan dirinya dalam isra’ dan mi’raj.
            Lebih lanjut Ahmad Sya’laby mengatakan bahwa nilai edukatif dari perjalanan agung ini adalah sebagai media penyaringan untuk mengetahui siapa sebenarnya pengikut Nabi s.a.w. yang setia dan kokoh imannya, demikian pula siapa yang pura-pura beriman, sedang dalam hati terpendam kemunafikan. Nabi merasa perlu mengetahui masalah ini, karena tugas kenabian setelah hijrah adalah sangat berat, penuh dengan jihad dan peperangan, serta pengorbanan yang tidak saja harta benda, tenaga, namun juga nyawa, demi menegakkan agama Islam.[25]
            Nilai-nilai filosofis berikutnya yang dapat kita ambil adalah oleh-oleh yang di bawa Nabi s.a.w. ketika mi’raj, sebagimana yang dijalaskan oleh hadits yaitu shalat. Shalat adalah satu-satunya perintah Allah yang diterima –tanpa perantara- langsung oleh Nabi. Oleh karena itu shalat menempati posisi yang paling signifikan dalam ajaran Islam. Untuk itulah, Nabi s.a.w mengajarkan kepada umatnya agar meneladaninya dalam bentuk ibadah shalat. Nabi s.a.w bersabda, as-shalâtu mi`râjul mu’minîn, bahwa “shalat itu mi’rajnya kaum beriman.” Sebelum shalat seseorang harus bersuci, tidak sekedar thaharah dengan air atau debu, tetapi lebih kepada upaya untuk takhalli, menyingkirkan hal-hal negatif yang ada di dalam diri kita. Dimulainya shalat diawali dengan takbir mengagungkan DzatNya. Di dalamnya sudah tak ada lagi waktu yang terbuang percuma karena seluruhnya berisi puji-pujian dan doa yang mengalir di sepanjang tarikan dan hembusan nafas kita. Ketika itulah seseorang melakukan kontemplasi, hijrah batin atau tahalli. Menghiasi diri dengan keterpujian asma-Nya, sehingga kebenaran Tuhan termanifestasi di dalam jiwa atau tajalli. Kemudian diakhiri dengan menebarkan salam kepada seluruh makhluk Tuhan semesta alam. Ketika mi’raj itu seorang anak manusia dituntun oleh Tuhannya secara langsung untuk menghadap kehadirat-Nya menuju sidratul muntaha, suatu tempat dimana malaikat Jibril tak sanggup menempuhnya. Maka, dalam al-Qur’an surat al-Najm [53] ayat 5, kata ‘allamahu syadîd al-Quwâ, sebenarnya memiliki arti secara umum bahwa Ia dituntun secara langsung oleh yang Maha Kuat, bukan oleh Jibril.[26]
Namun, Sidrat al-Muntaha bukanlah tempat dimana manusia bisa menjalankan misi hidupnya. Oleh sebab itu, ada proses nuzul atau turun dalam rangka membumikan nilai-nilai Islam ke dalam berbagai tindak sosial (transformasi sosial). Artinya, selain dikerjakan, shalat juga harus ditegakkan secara kontinyu dalam bentuk aksi dan realisasi nyata dalam kehidupan. Dalam bentuk amar ma’ruf nahy munkar. Menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Dan, dengan segenap amal perbuatan nyata sebagai wujud rahmat Tuhan bagi semesta alam. Ketika itulah, puncak dari Sidrat al-Muntaha diraih oleh seorang hamba.[27]
Waryono Abdul Ghafur memberikan jabaran terkait hal ini, dia mengatakan bahwa, “Dalam al-Qur’an terdapat trilogi yang integral, yang pengalaman salah satunya secara terpisah menjadikannya tidak sempurna, yaitu iman, shalat dan zakat. Tiga rangkaian itu harus menjadikan kesatuan. Iman memang bersifat pribadi, namun ia harus terbukti secara sosial. Ini artinya, tauhid sebagai inti keimanan harus mewujud nyata dalam kehidupan dengan prilaku tidak diskriminatif  dan subordinatif (tauhid), solidaritas sosial yang tinggi (zakat) dan anti terhadap kekerasaan (salam sebagai penutup shalat).[28] Itulah setidaknya yang dapat kita ambil ‘ibrah atau pelajaran dari peristiwa agung ini.
Sebagai akhir dari tulisan ini, tidaklah mungkin kami menyelesaikannya tanpa adanya kehendak dari Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana telah memperjalankan Muhammad dalam isra’ dan mi’rajnya. Akhirnya kami memohon kepada Allah dengan segala puji kepada-Nya –Dzat yang Maha Suci- atas pertolongan-Nya  kepada kami dalam menyusun tulisan ini yang kami kutip dari berbagai literature. Jika ada nilai-nilai kebenaran yang bisa diambil dari tulisan ini, maka hal itu semata-mata dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sebaliknya jika terdapat kesalahan dalam tulisan ini, maka hal itu semat-mata lahir keterbatasan dan kekurangan diri kami. Kepada-Mu ya Allah, kami memohon ampunan dari kekurangan dan kelemahan diri kami. Tasbihan wa tahmidan laka ya Allah. Ashlih Nafsaka wa al-‘Ad’u Ghairaka. Wallâhu’alam bi al-Shawwâb. []
MARÂJI
Al-Atsqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. 1407 M/1978 M. Fath al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî ‘Abdillâh Muhmmad bin ‘Ismâ’îl al-Bukhârî. ditahkik Muhbuddin al-Khathib. Dar- al-Rayyan li al-Turats. Kairo: Maktabah Salafiyah. cet. III, Jilid VII.
Al-Bûthy, Muhammad Sa’id Ramadhan. 1990 M/ 1410 H.  Fiqhu al-Sîrah. Damsyiq: Dâr al-Fikr
Al-Ghazali, Muhammad. Fiqh al-Sîrah. 1987 M. Kairo: Dar al-Rayyan  li al-Turats. cet. I
Al-Sya’rawi, Mutawalli. 1980 M. Mu’jizah al-Qur’an. Kairo: Mu’assasah Akhbar al-Yaum. jilid II.
Al-Qusyairi, Abu al-Qasyim Abdul Karim. 1980 M.  Lathâ’if al-Isyârâh:Tafsîr Shûfî al-Kâmil al-Qur’ân al-Karîm, ditahkik Ibrahim Basuni. Kairo: Hai’ah al-‘Ammah li al-Kitab. cet.II.
Ghafur, Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks. Yogyakarta: eLSAQ.
Hamzah, Amir. Buletin al-Rasikh. Jum’at, 26 Rajab 1431 H/ 9 Juli 2010. No. 510, Tahun XV/2
Haraki, Abu Majdi. 2007. Misteri Isra’ dan Mi’raj. Yogyakarta: Diva Press. cet. Ke-7
Nugroho, Hari. Buletin al-Rasikh. Jum’at, 19 Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
Sya’laby, Ahmad. 1984 M.  Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah. cet. XI. Jilid I.
Zaid, Musthafa. Mimbar al-Islam. edisi VII, 25 Rajab 1387 H,/ Oktober 1967 M. Suplemen
* Alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Lawang-Malang, Santri Pondok Pesantren UII dan saat ini sedang berjuang dan mengabdikan diri di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
[1] Waryono Abdul Ghafur. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks. (Yogyakarta: eLSAQ, 2005). hal. 276-277
[2] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, Fiqhu al-Sîrah, (Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1990 M/ 1410 H). hal. 134
[3] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, Fiqhu al-Sîrah, hal. 134
[4] Abu al-Qasyim Abdul Karim al-Qusyairi, Lathâ’if al-Isyârâh:Tafsîr Shûfî al-Kâmil al-Qur’ân al-Karîm, ditahkik Ibrahim Basuni. (Kairo: Hai’ah al-‘Ammah li al-Kitab, 1980 M), cet.II. hal. 334, dikutip Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. Ke-7. hal. 293-294
[5] Waryono Abdul Ghafur. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks. (Yogyakarta: eLSAQ, 2005). hal. 277
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî ‘Abdillâh Muhmmad bin ‘Ismâ’îl al-Bukhârî, ditahkik Muhbuddin al-Khathib, Dar- al-Rayyan li al-Turats, (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1407 M/1978 M), cet. III, Jilid VII, hal. 243-244. Dikutip oleh Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan…. hal. 82
[7] Namanya Fakhitah atau Hindun, tetapi kemudian hanya dikenal dengan nama Ummu Hani’, putri Abu Thalib yang diperjodohkan dengan Hubairah, orang berada yang juga penyair berbakat, masih sepupu Abu Thalib dari pihak ibu, dari Banu Makhzum.
[8] Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. Ke-7. hal. 82
[9] Amir Hamzah, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 26 Rajab 1431 H/ 9 Juli 2010. No. 510, Tahun XV/2
[10] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial,… hal.278
[11] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial,… hal.278
[12] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, … hal. 279
[13] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 19 Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
[14] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[15] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[16] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[17] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh.
[18] Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan …
[19] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sîrah, (Kairo: Dar al-Rayyan  li al-Turats, 1987 M), cet. I, hal. 141-142, dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan hal. 296

[20] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sîrah, hal. 141-142, dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan..  hal. 296-298
[21] Muathafa Zaid, Mimbar al-Islam, edisi VII, 25 Rajab 1387 H,/ Oktober 1967 M. Suplemen, hal. 139, dikutip dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan … hal. 298-299
[22] Mutawalli al-Sya’rawi, Mu’jizah al-Qur’an, (Kairo:Mu’assasah Akhbar al-Yaum, 1980 M), jilid II, hal.139.  lihat dalam  Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 308
[23] Lihat dalam Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks, (Yogyakarta: elSAQ, 2005), hal. 279 dan lihat pula dalam bulletin jum’at tulisan Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 19 Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
[24] Mimbar al-Islam, edisi VII, 25 Rajab 1384 H/ Oktober 1967 M. Suplemen, hal. 139, lihat dalam  Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 299
[25] Ahmad Sya’laby, Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1984 M), cet. XI, Jilid I, hal. 242, lihat dalam Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 300
[26] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[27] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[28] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, … , hal. 280





27 Rojab, dengan Pesona Kelembutan



Sekarang kita telah memasuki separo lebih bulan rojab dimana pada akhir bulan ini kita sebagai seorang muslim telah diingatkan kembali sebuah peristiwa besar dalam sejarah umat islam. Sebuah peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW yaitu peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama: 
 سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya; Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untuk lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya
Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, Allah berfirman"  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (٩) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya: Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat negatif.
Kelima: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj). 


PESONA KELEMBUTAN
Di antara akhlak Nabi Saw. yang paling menonjol, beliau adalah pribadi yang lemah-lembut. Kesaksian semua orang yang pernah semasa dengan beliau, menggambarkan bahwa beliau tidak pernah berkata kasar, tidak pernah mengumpat, dan tidak pernah berlaku bengis. Bahkan, beliau Saw. tidak pernah marah, kecuali terhadap perbuatan yang melanggar kehormatan agama. 
            Dalam ungkapan yang singkat, Dr. Yusuf al-Qardhawi mengatakan, “Barangsiapa membaca sunnah Rasul Saw., baik dalam perkataan maupun perbuatan, maka akan menemukan pancaran kelemahlembutan dalam berdakwah dan interaksi sehari-hari.”   
            Ada beberapa hikmah yang bisa kita peroleh dari perangai lemah-lembut, seperti telah dicontohkan oleh Nabi Saw. Yaitu di antaranya: Pertama, kelemahlembutan bisa membuat kita menjadi pribadi yang indah. Secara garis besar, Allah Swt. mengkaruniakan dua keindahan kepada manusia: keindahan fisik, dan keindahan kepribadian. Manusia pada umumnya mudah terpukau oleh keindahan fisik. Namun, keindahan fisik ini akan segera kehilangan kesan bila tingkah-laku dan kata-katanya  kasar. Di sinilah, kelemahlembutan menjadi kunci untuk mewujudkan pribadi yang indah.          Nabi Saw. bersabda:
"إن الله يعطي على الرفق ما لا يعطي على العنف, وما لا يعطي على ما سواه".
            “Sesungguhnya Allah memberi (keutamaan) kepada kelemahlembutan, yang tidak diberikanNya kepada kekerasan, dan tidak juga diberikanNya kepada (sifat-sifat) yang lain.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah ra.)
            Dalam kesempatan lain, Nabi Saw. bersabda:
        "إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه, ولا ينزع من شيء إلا شانه".
            “Sesungguhnya kelemahlembutan tidak melekat pada sebuah pribadi kecuali sebagai perhiasan, dan tidak terlepas darinya kecuali sebagai keaiban.” (HR. Muslim)
            Kedua, kelemahlembutan bisa membentuk orang-orang dan lingkungan di sekitar kita. Banyak Sahabat radhiyalLahu ta’âlâ ‘anhum yang memperoleh hidayah (masuk Islam) setelah menyaksikan pribadi Nabi Saw. yang lemah-lembut. Salah satunya: Tsumâmah bin Atsâl ra.
            Suatu hari, Tsumâmah yang masih musyrik tertangkap dalam sebuah peperangan melawan kaum Muslimin. Ketika Nabi Saw. menjenguk para tawanan, beliau sempat bertanya kepada Tsumâmah, “Apa yang ingin kau katakana, wahai Tsumâmah?”
            Tsumâmah menjawab, “Jika kau hendak membunuhku, hai Muhammad, sesungguhnya kau membunuh seseorang yang memiliki pengaruh kuat. Jika mau berbuat baik kepadaku, maka kau berbuat baik kepada orang yang tahu berterima kasih. Dan jika kau ingin harta tebusan, sebutkan saja berapa pun jumlahnya, pasti akan aku bayar.”
            Namun Nabi Saw. tidak memerintahkan untuk membunuh Tsumâmah, atau meminta tebusan darinya. Beliau Saw. malah mengingatkan para Sahabat ra. agar merawat Tsumâmah dan tawanan lainnya dengan baik.
            Demikianlah, sampai tiga kali kesempatan Nabi Saw. menanyakan hal yang sama kepada Tsumâmah, ia terus menantang untuk dibunuh saja atau membayar tebusan dalam jumlah yang besar.
            Setelah para tawanan tersebut dirawat hingga pulih kondisi mereka, alih-alih mereka dibunuh atau dimintai uang tebusan; Nabi Saw. dengan senyum mengembang malah membebaskan mereka tanpa syarat dan menyuruh mereka untuk kembali kepada keluarga masing.
            Tsumâmah pun beranjak meninggalkan Nabi Saw dan para Sahabat ra. Namun tak lama berselang, ia kembali menghadap Nabi Saw., mengikrarkan keislamannya. Lalu ia berkata, “Sungguh, wahai Rasulullah, sebelum ini tiada orang yang paling saya benci di dunia selain anda. Tapi sekarang anda menjadi orang yang paling saya cintai di dunia ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)
            Ketiga, kelemahlembutan adalah pelindung hati dari noda dan penyakit kalbu. Yang perlu disadari, ketika kita berkata kasar dan mengumpat, sebenarnya kita tidak sedang merugikan orang lain. Tapi, terlebih lagi, kita sedang menodai hati kita sendiri, mengotorinya dengan kekasaran, serta membuatnya menjadi keras.
            Suatu kali, Nabi Saw. tengah dudukbersama Aisyah ra. Lalu melintaslah sekelompok orang Yahudi di hadapan beliau. Tiba-tiba mereka menyapa Nabi Saw. dengan memelesetkan ungkapan “Assalâmu’alaikum” menjadi “Assâmu ‘alaika”—kebinasaan atasmu, hai Muhammad.
            Mendengar serapah orang-orang Yahudi itu, Aisyah ra. naik pitam dan balik memaki mereka. Namun Nabi Saw. segera menenangkan Aisyah ra. dan memintanya agar tidak mengotori mulut dan hatinya dengan kekasaran dan kebencian. Lalu beliau memberikan alasan:
        "إن الله رفيق ويحب الرفق في الأمر كله". 
            “Sesungguhnya Allah Swt. lembut, dan menyukai kelemahlembutan dalam segala hal.” (HR. al-Bukhari)

            Lemah-lembut dalam tutur kata, lemah-lembut dalam canda, serta lemah-lembut dalam tingkah-laku ternyata merupakan salah satu keteladanan yang paling menonjol dalam diri Rasulullah Saw. Dan saat ini, dalam keseharian kita, baik dalam lingkup kehidupan sosial yang paling kecil hingga yang paling besar; betapa kita menghajatkan keteladanan ini demi terus menjaga keseimbangan sosial yang kita miliki. Toh Allah Swt. telah berfirman:
            “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu; yaitu bagi orang-orang yang mengharap (keridhaan) Allah…” (Al-Ahzâb; 21)
            Kelemahlembutan bukan indikasi ketidakberdayaan, tetapi merupakan tanda kemampuan untuk mengendalikan diri. Sebaliknya, kekasaran bukan tanda kekuasaan, namun tanda kerapuhan emosional dan kelemahan kepribadian.
            Pada titik singgung ini, Nabi Saw. bersabda:
        "إذا أحبّ الله عبدا أعطاه الرفق. وما من أهل بيت يحرّمون الرفق إلا حرّموا الخير".
            “Apabila Allah Swt. menyukai seorang hamba, maka Ia akan mengkaruniainya kelemahlembutan. Dan barangsiapa dari keluargaku yang mengharamkan/menjauhi kelemahlembutan, maka sesungguhnya dia telah menjauhi kebaikan.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

BELAJARLAH DARI KELUARGA IBROHIM As
Kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia yang berjumlah sekitar 2 juta orang setiap tahunnya menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menunaikan ibadah haji itu untuk kesekian kalinya, tak ada perasaan bosan apalagi kapok dalam menunaikan ibadah haji meskipun harus berkorban dengan harta, tenaga dan menghadapi sejumlah kesulitan. Bahkan setiap muslim yang sudah menunaikannya tetap ingin mengulanginya lagi meskipun kewajiban haji hanya sekali dalam seumur hidup.
Kalau bukan panggilan iman, mana mungkin seorang hamba mau meninggalkan segala urusan duniawi dengan pengorbanan harta, waktu dan tenaga guna menunaikan ibadah haji. Sudah lama niat ditancapkan ke dalam hati, danan dikumpulkan, lesehatanbadan dijaga, manasik haji dihafalkan dan fatwa-fatwa serta nasehat-nasehat para ulama dihayati dalam-dalam dengan harapan agar cita-cita menunaikan ibadah haji tidak sia-sia dihadapan Allah swt.
            Ibadah haji memberikan pelajaran yang sangat besar dan berharga kepada setiap orang yang menunaikannya, karenanya pantas kalau haji kita sebut juga sebagai madrasah atau sekolah yang diantara fungsinya adalah untuk membina dan menempa orang yang berada didalamnya. Kalau kita sederhanakan, paling tidak ada tujuh tempaan atau binaan ibadah haji bagi orang yang menunaikannya.
            Pertama, ibadah haji membina kepada jamaahnya untuk selalu mengagungkan Allah swt, ini terlihat dari ucapan Labbaik Allahumma Labbaika la syariika Labbaik (Aku memenuhi panggilanMu ya Allah, Aku memenuhi panggilanMu yang tiada sekutu bagiMu), ini menunjukkan bahwa hanya Allah yang pantas dijadikan Tuhan dan diagung-agungkan dalam kehidupan ini. Pengagungan terhadap Allah tidak hanya karena ucapan talbiyah itu, tapi seluruh jamaah haji memang harus menunaikan ibadah yang sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul saw dan ini berarti ibadah haji merupakan simbol dari penyerahan total kepada Allah swt sehingga kaum muslimin dalam menunaikan ibadah haji tidak terlalu bertanya-tanya apalagi mempersoalkan  amalan-amalan yang harus dilaksanakan seperti tawaf, sai dan sebagainya. Seorang muslim memang bisa saja berkata: “yang penting kan essensi atau maksud ibadah haji yang harus kita tunaikan, untuk apalagi simbol-simbol yang terdapat dalam ibadah haji itu?”. tai baagi muslim yang sejati, dia akan menyadari bahwa ibaah haji itu merupakan salahsatu bentuk ujian Allah kepada hamba-hambaNya apakah manusia mau loyal atau tidak kepada Allah swt.
            Kedua, ibadah haji juga membina kaum muslimin untuk membuktikan semangat ukhuwahnya, tidak hanya dalam bentuk jiwa, tapi juga raga karena telah dipertemukan oleh Allah dalam satu tempat, maksud dan tujuan yang sama, bacaan yang sama hingga pakaian yang sama, tak ada perbedaan suku, ras, warna kulit, bahasa, pangkat, kedudukan dan sebagainya, semua harus menunaikan ibadah haji deng ketentua-ketentuan yang sama. Dari semangat ukhuwah ini, kaum muslimin seharusnya semakin menyadari bahwa seorang haji semestinya lebih hebat semangat ukhuwahdalam upaya menegakkan agama Allah dimuka bumi ini.
            Dalam kaitan ini ibadah haji telah membangkitkan perasaan kasih sayang dengan sesama muslim, pengendalian hawa nafsu dan semangat kebersamaan yang pada akhirnya diharapkan bisa membangkitkan kekuatan solidaritas Umat Islam sedunia.

            Binaan ketiga yang diperoleh kaum muslimin dari menunaikan ibadah haji adalah menumbuhkan semangat berkorban tanpa pamrih, hal ini karena ibadah haji memang harus ditunaikan dengna pengorbanan yang sangat besar, baik berupa harta, jiwa, tenaga hingga waktu yang tersedia untuknya dlam kehidupan ini. Hasil tempaan atau binaan dlam ibadah haji terhadpa kaum muslimin semestinya membuat kaum muslimin tidak segan-segan untuk berkorban dengan harta dan jiwanya dan dengan semua itu dia tidka akan menjadi manusia yang lupa atau lali dari mengingat Allah sw, Allah berfirman :
يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرون 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi (surat al-Munafiquun : 9)

keempat yang merupakan binaan atau tempaan dari ibadah haji kepada kaum muslimin adalah memperkuat ikatan sejarah yang membawa kaum muslimin kepad jejak sejarah Islam pertama, hal ini karena memang ibadah haji itu juga napak tilas nabi Ibrahim, seorang nabi yang sangat gigih dalam perjuangan menegakkan agama Allah yang juga mendapat dukungan yang luarbiasa dari istri dan anak-anaknya. Nabi Ibarahim mendapat juluikan Bapaknya para nabi, karena dari keturunannya lahir para nabi. Nabi Ibrahim dengan kecintaannnya yang luar biasa kepada Allah membuat dia siap dihukum mati dengan cara dibakar meskipun kemudian Allah menolongnya, juga dengan ikhlas melaksanakan perintah pengorbanan anaknya Ismail, sementara Ismail juga dengan sabar menerima ketentua itu dan Siti Hajar sang istri tercinta juga rela dengna terhadap keputusan Allah hingga dia berhasil mengusir syetan yang berusaha menggodanya.
Oleh karena itu dengan melaksanakan ibadah haji seorang muslim semestinya tidak sekedar meraskan kenikmatan beribadah secara ritual, tapi juga dapat membayangkan dan menghayati betapa berat perjuanga para nbai dalam dakwah serta dapat juga menghayati nikmatnya perjuangan itu meskipun dengan tantangan yang berat, dari sini diharapkan seorang haji juga dapat membuktikan keberhasilan ibadah hajinya dengan ikut serta secara aktif dalam dakwah guna memperbaiki kondsi akhlak manusia yang kita rasakan sekarang terjadi kerusakan yang sangat mengkhawatirkan.

Hadirin Kaum muslimin yang dimulaiakan Allah

Kelima, ibadah hajijuga menempa kaum muslimin untuk menjadi orang yang berani dan siap menghadapi mati, apalagi ibadah ini merupakan simbol penyerahan total manusia kepada Allah, sehingga ibadah haji itu latihan untuk kembali kepada Allah sebagaimana layaknya orang yang meninggal dunia. Telah dilatih jamaah haji itu untuk menggunakan kain kafan dengna pakaian ihram, doilatih juga untuk membayankan suasana di padang mahsyar dengan wukuf di padang Arafah dan sebagainya, bahkan dilatih untuk melawan syaitan yang selalu menggoda agar manusia terlalu cinta dunia dan takut pada mati. Oleh karena itu kalau kemudia ada ornag yang sudah menunaikan ibadah haji tapi masih saja takut kepada mati itu menunjukkkan kekurangberhasilan ibadah haji yang dilakukannya, apalgi kalau dia masih saja tunduk pada keinginan-keingaina syaithan.
Keenam, yang juga merupakan tempaan dari ibadah haji adalah mendidik seorang muslim untuk selalu menjaga kehormatan dirinya, karena seorang haji yang bmabrur tentu harus membuktikan kemabruran hajinya itu dengan kehormatan diri sehingga dia harus jaga dirinya agar jangan sampai melakukan hal-hal yang menodai nilai hajinya itu. Apalagi bagi seorang muslim yang karena sudah menunaikan ibadah haji lalau dia menambah gelar haji didepan namanya, ini memebuat dia harus lebih ahti-hati lagi agar jangan samapai melakukan hal-hal yang bernilai maksiat, karena apa kata orang kalau seorang haji melakukan kemaksiatan.
Tempaan ketujuh yang diperoleh dati menunaikan ibadah haji adalah agar seorang muslim memiliki kesimbangan cinta. Manusia memang cenderung untuk mencintai segala yang membawa kenikmatan duniawi dan Allah sendiri tidak melarang manusia untuk mencintai dunia dan segala isinya, hanya kecintaan kepada Allah dan Rasulnya harus diatas segala-galanya sehingga kecintaan pada ha—hal yang sifanya duniawi seperti anak, istri, harta, rumah, jabatan, pekerjaan dan sebagainya tidka melebihi dari kecintaan kepada Allah dan RasulNya.
Seorang muslim memang tidka dibenarkan mencintai selain Allah yang melebihi kecintaannya kepada Allah, bahkan jangankan melebihi kecintaannya kepada Allah, sama saja dalam cinta antara Allah dengnaselainnya sudah tidak dibenarkan, hal ini dikemukakan oleh Allah swt dalam kecintaan seorang mukmin yang sejati, Allah berfirman
ومن الناس من يتخذ من دون الله أندادا يحبونهم كحب الله والذين أشد حبا لله
“Diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandinga selain Allah, mereka mencintainya sebagamana mereka mencintai Allah. Adapun ornag-orang yang beriman sangat mencintai Allah” (Surat Al-Baqarah :165)
            Hari raya Idul Adha yang kita peringati dan kita rayakan setiap tahun telah memberikan kesan dan pelajaran yang dalam untuk kta semua, khususnya dalam kaitan mengenang tokoh-tokoh yang terkait dengan peristiwa pengorbanan. Nabi Ibrahim as, Siti Hajar dan Ismail as, mereka merupakan figur-figur yang memang patut kita teladani, khususnya dalam kaitannya sebagai bapak atau suami, ibu atau istri dana anak atau generasi muda. Allah swt sendiri memang telah menyebutkan bahwa pada mereka itu terdapat keteladanan yang sangat tinggi. Allah berfirman :
قد كانت لكم أسوة حسنة فى إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقومهم إنا برؤا منكم ومما تعبدون من دون الله.
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamuu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah” (Surat Al-Mumtahanah: 4)

Oleh karena pada generasi Ibrahim itu terdapat keteladanan yang mengagumkan, baik dari diri nabi Ibrahim as sendiri, Siti Hajar istrinya maupun Ismail assebagai anak yang dihasilkannya, tentu terdapat ciri-ciri yang harus kita teladani dan kita jadikan pedoman dalam bentuk karakter generasi muda kita sekarang dan dimasa-mas yang akan datang.

            Ada enam ciri generasi Ibrahim yang harus kita tanamkan kedalam diri kita dan generasi muda kita pada masa kini dan mendatang manakala kita ingin memiliki generasi Islam yang lebih baik dari waktu ke waktu.
            Pertama, yang merupakan ciri dari generasi Ibrahim adalah kritis dalam mencari dan menerima kebenaran, karena itu generasi Ibrahim tidka larut dengan keadaan zaman disekitarnya, generasi Ibrahim adalah generasi yang pandai memisahkan mana yang hak dan mana yang batil untuk selanjutnya memilih yang hak dan meninggalkan yang batil. Pelajaran ini nampak dari kisah Nabi Ibrahim as dalam mencari tuhan dengan mengatakan kepada bapaknya yang bernama Azar :
أتتخذ أصناما آلهة إنى أراك وقومك فى ضلال مبين
“Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummmu dalam kesesatan yagn nyata. (Al-Anam : 74)
Semula ketika Ibrahim as melihat bintang dia menduganya sebagai tuhan dengna mengatakan: “Inilah Tuhanku”, tapi ia tidak suka saat bintang itu tenggelam. Lalu ketika bulan nampak, ia berkata: “Inilah Tuhanku”, tapi ia juga tidak suka ketika bulan itu terbenam, ketika matahari terbit, ia berkata: “Inilah Tuhanku”, tapi ia tidak menuhankan matahari karena matahari juga terbenam sampai akhirnya ia menemukan Tuhan Allah yang hak.
Demikianlah generasi Ibrahim dengan daya kritisnya yang tinggi untuk bersikap dan bertingkah laku, karena itu generasi yang harus kita bina harus memiliki sikap kritis sehingga tidak mudah diomabang ambing oleh berbagai mode.

            Kedua, ciri generasi Ibrahim yang seharusnya ada pada generasi kita adalah memiliki  sikap dan perilaku yang menyatu dengan ajaran Islam sehingga ia berlepas diri dati segala macam bentuk kekufuran. Sikap seperti ini membuat dia tidka mungkin suka kepada segala bentuk kemaksiatan karena hal itu merupakan cermin dari sikapnya kepada kekufuran. Surat Al-Mumtahanah ayat  4 tadi datas mencerminkan sikpa seperti ini.
            Ketiga, yang merupakan ciri generasi Ibrahim adalah memiliki kebanggaan sebagia seorang muslim sehingga dai selalu menunjukkan identitasnya sebagai muslim dimanapun dia berada dalam berbagai situasi dan kondisi. Sikap ini tercermin dalam firman Allah :
فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون
“Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah” (surat Al-Imran :64)

Keempat, yang juga menjadi ciri generasi Ibrahimm adalah memiliki ilmu yang banyak sehingga dengan ilmu itu mereka mencapi prestasi yang tinnggi. Oleh karena itu generasi kita sekrang juga harus memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu dan gemar pula mengamlkan ilmu untuk kebaikan dijalan Allah swt, sifat ini terceermin dalm firman Allah:
واذكر عبادنا إبراهيم وإسحاق ويعقوب أولى الأيدى والأبصار
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami, Ibrahim, Ishak dan Yakub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmmu yang tinggi”.(surat shad :45)
Kelima, yang juga menjadi ciri penting dari generasi Ibrahim adalah sanggup menghadapi resiko dalam perjuangan menegakkan kebenaran, hal ini karena perjuangan dijalan Allah memang akan berhadapan denan ssejumlah kendala dan Nabi Ibrahim as  telah membuktikan keberaniaannya menanggung resiko sampai siap dibakar sekalipun, keberanian seperti ini memang harus kita tiru dalam  kehidupan kita sekarang. Allah menceritakan sikap berani Nabi Ibrahim dalam firmannya:
فراغ عليهم ضربا باليمين فأقبلوا إليه يزفون قال أتعبدون ما تنحتون والله خلقكم وما تعملون قالوا ابنوا له بنيانا فألقوه فى الجحيم.
“Lalu dihadapinya berhal-berhala itu sambil memukulnya dengan tangannya. Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu, padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kau perbuat itu. Mereka berkata: “Dirikanlah suatu bangunan untuk membakar Ibrahim, lalu lemparkanlah dia kedalam api yang menyala-nyala itu”.(surat as-shafat:93-97)
Namun karena keberanian yang luar biasa itulah, Allah swt  memberikan pertolongan dengan diselamatkannya Ibrahim dari jilatan api yang panas, apalagi Raja Namrud menunjukkan kesombongannya, hal itu diceritakan Allah dalam firmanNya:
قالوا حرقوه وانصروا آلهتكم إن كنتم فاعلين. لنا يا نار كونى بردا وسلاما على إبراهيم
“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan banulan tuhan-uahn kamu jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatankah bagi Ibrahim (Surat al-Anbiya: 68-69)
Ciri keenam dari generasi Ibrahim adalah sangup dan mau berkorban demi kepentingan Islam dan umatnya. Ini nampak sekali dari gambaran ayat diatas dimanaIbrahim as memangg sanggup dan mau berkorban meskipun harus dengan nyawa sekalipun bagi usaha meneegakkan ajaran Islam, bahkan ketika Allah memerintahkannnya mengorbankan sang anak yang bernama Ismail as, diapun melakukannya dengan hati yang mantap. Oleh karena itu generasi kita sekarang  juga harus dibentuk agar menjadi generasi yang sanggup dan mau berkorban dijalan Allah karena memang tiada perjuangan tanpa pengorbanan.
            Akhirnya menjadi jelas bagi kita bahwa demikian ideal gambaran dari generasi Ibrahim as dan bila kita menilai generasi kita pada masa sekarang, maka terasa betul kesenjangan yang sedemikian jauh. Namun hal ini tidak perlu kita khawatirkan selama kita mau berusaha semaksimal mungkin mendidik generasi sekarang dengan pendidikan yang sebaik mungkin.
            Hari raya Idul Adha yang juga dikenal dengan hari raya Qurban salahsatu hikmahnya adalah mengingatkan kepada kita bahwa ajaran Islam itu memang harus ditegakkan dimuka bumi ini dan untuk menegakkannya Idul Adha juga mengingatkan akan pentingnya berkorban dalam kehidupan kita sebagai muslim yang berkewajiban menegakkan nilai-nilai Islam. Dalam konteks perjuangan dijalan Allah, pengorbanan menjadi lebih penting lagi karena memang tidak mungkin perjuangan bisa berjalan dengan baik tanpa pengorbanan yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Pengorbanan dalam perjuangan di jalan Allah itulah yang memang telah dicontohkan oleh para Rasul terdahulu dan Rasul saw serta para sahabatnya.
            Dalam kaitan kita harus berkorban itulah ada firman Allah yang mengingatkan kita agar jangan sampai harta dan anak membuat kita lupa dari mengingat Allah swt. Yang menjadi persoalan kita adalah tidak semua orang bisa dengan mudah mengorbankan apa yang mereka miliki untuk dimanfaatkan dijalan Allah, karena itu ada 4 hal yang harus kita lakukan agar kita bisa berkorban dijalan Allah.
            Pertama, merenungi dan menghitung-hitung betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita dan bila kita telah menghitungnya, maka kitapun tidak akan bisa menghitung keseluruhannya karena begitu banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita dan kita harus bersyukur atau berterimakasih kepadaNya dalam bentuk pengabdian kepada Allah. Kita bisa melihat, bisa berjalan, bisa menghirup udara yang segar, bisa berbicara, bisa mendengar, bisa minum dan sebagainya merupakan diantara nikmat Allah yang harus kita syukuri dan berkorban dijalan Nya merupakan salah satu wujud dari rasa syukur kepada Allah swt, Allah berfirman:
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم
            “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (surat al-Imran  :92)
            Kalau kita bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada kita, maka kenikmatan yang Allah berikan itu akan ditambah, baik ditambah jumlahnya maupun ditambah daya gunanya sehingga orang suka mengatakan apa yang dimilikinya membawa keberkahan dan bila ternyata kita tidak mau membuktikan rasa syukur itu, maka cepat atau lambat Allah akan menunjukkan siksanya yang sangat pedih.
            Kedua, menghindari pembelanjaan yang sia-sia, hal ini karena bagi seorang muslim apa yang dilakukannya harus berguna tak boleh sia-sia, termasuk dalam soal penggunaan harta dan itupula yang membuat seorang bisa mencapai keberuntungan, Allah berfirman:
قد أفلح المؤمنون الذين هم فى صلاتهم خاشعون والذين عن اللغو معرضون
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang0orang yang khusu’ dalam shalatnya dan orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna” (Surat Al-Mu’minun :1-3)
Larangan Allah dalam soal membelanjakan harta yang sia-sia bukan hanya agar seorang muslim termasuk orang yang beruntung, tapi juga agar seorang muslim tidak termasuk kelompok orang yang menjadi saudara syaitan karena hal itu termasuk pemborosan, Allah berfirman :
ولا تبذر تبذيرا إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syetan dan syetan itu sangat ingka kepada Tuhannya” (Surat Al-Israa  :25-26)
Ketiga, meneladani orang-orang yang berkorban di jalan Allah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat serta pengikut-pengikutnya. Banyak sekali diantara mereka yang begitu besar tingkat pengorbanannya melebihi apa yang diharuskan. Diantara mereka misalnya pengorbanan yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq yang membawa semua uangnya dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah bersama Rasul saw. Abu Bakar melakukan hal itu karena dia tahu keluarganya dalam hal ini istri dan anak-anaknya telah siap untuk tidak  ditinggalkan apa-apa. Begitu juga dengan Yasir dan Sumayyah, suami istri yang menjadi budak dan rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan iman. Bilal bin Rabah juga siap menderita dengan siksaan yang berat dari tuannya demi mempertahankan iman dan masih banyak lagi kalau harus kita sebutkan satu persatu.
            Keempat, yang harus dilakukan seorang muslim agar bisa berkorban dijalan Allah adalah dengan menghilangkan sifat materialistis dari jiwanya masing-masing. Hal ini karena manakala sifat ini masih melekat dalam jiwa seseorang, sangat sulit baginya untuk bisa berkorban secara ikhlas dijalan Allah. Materialisme membuat orang menjadi begitu cinta pada hal-hal yang bersifat duniawi, sementara baik dan buruk, hebat dan tidak hebat seringkali diukur dengan patokan materi, menguntungkan atau tidak secara materi, nabi Muhammad saw telah mensinyalir dalam satu hadist yang panjang dengan istilah Wahn yaitu hubbuddunya wakarohiyatulmaut, inta dunia dan takut mati.
Akhirnya bisa kita sadari bahwa berjuang dijalan Allah guna menegakkan nilai-nilai Islam merupakan kewajiban yang harus diemban oleh kaum muslimin, untuk itu diperlukan daya dukung yang besar bagi pelaksanaan perjuangan itu, tanpa itu sangat sulit bagi kita untuk bisa melaksanakan perjuangan, itu sebabnya dituntut adanya pengorbanan kita semua, baik pengorbanan dari segi waktu, tenaga, pikiran, dana sampai nyawa sekalipun.
Semoga kita termasuk kedalam orang-orang yang memiliki semangat perjuangan bagi tegaknya nilai-nilai yang datang dari Allah dan kita mau berkorban dengan segala yang kita milik