A.
Gejala-gejala Kemunduran
M. M Sharif,
sebagaimana di kutip oleh Zuhairini, menjelaskan bahwa gejala kemunduran
pendidikan Islam mulai tampak setelah abad ke-13 M. Yang ditandai dengan terus
melemahnya pemikiran Islam sampai abad ke-18 M. Secara kuantitas, pendidikan
Islam menunjukkan perkembangan yang baik. Madrasah telah diperkenalkan dan
didirikan di beberapa wilayah Islam. Keterlibatan langsung penguasa terhadap
pendidikan, memacu makin berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan.
Penguasa
Dinasti Ayyubiyah, Mamluk, Usmani dan sebagainya terus memperbanyak bangunan
madrasah-madrasah. Kontrol negara yang kuat terhadap sistem madrasah, membuat
masyarakat Islam mengarahkan kegiatan pendidikan formal di madrasah-madrasah.
Bahkan dari segi pengorganisasian, sistem madrasah mencapai puncak
perkembangannya pada masa kerajaan Usmani, dimana sistem tersebut dilembagakan
secara sistematis, dipelihara, dan ditunjang oleh pejabat “Syaikh al-Islam”
dengan kecakapan dan efisiensi administrasi yang tinggi.
M. M Sharif
dalam bukunya Muslim Thought, mengungkapkan bahwa gejala kemunduran pendidikan
dan kebudayaan Islam tersebut sebagai berikut : ”.....telah kita saksikan bahwa
pikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu
yang terletak di antara abad ke VIII dan abad ke XIII M ... kemudian kita
memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada Eropa, sebagai
satu perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan
pembangkitan Eropa (renaissence)”.
Selanjutnya
M. M Sharif dalam bukunya Muslim Thought menggungkapkan bahwa, yang
mengakibatkan melemahnya pikiran Islam yang menjadikan kemunduran pendidikan
Islam tersebut, antara lain sebagai berikut :
1. Telah
berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sufistis) yang dimasukkan oleh
Al-Ghazali dalam alam Islami di Timur, dengan filsafat Islamnya menuju ke arah
bidang rohaniah hingga menghilang ia ke dalam mega alam tasawuf. Berkelebihan
pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang bercorak
rasionalistis) ke dunia Islam di Barat, dengan filsafatnya menuju ke arah yang
bertentangan dengan Al-Ghazali yakni menuju ke jurang materialisme. Al-Ghazali
mendapat sukses di Timur, hingga pendapat-pendapatnya merupakan satu aliran
yang terpenting, Ibnu Rusyd mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya
menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran Barat.
2. Umat
Islam, terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melainkan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Kalau
pada mulanya para pejabat pemerintahan sangat memerhatikan perkembangan ilmu
pengetahuan, dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu
pengetahuan, maka pada masa menurun dan melemahnya kehidupan umat Islam, para
ilmu pengetahuan pada umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan,
sehingga melupakan ilmu pengetahuan.
3.
Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari
luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya
kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Sementara
itu obor pikiran Islam berpindah tangan ke tangan Masehi, yang mereka ini telah
mengikuti jejak kaum muslimin yang menggunakan hasil buah pikiran yang mereka
capai dari pikiran Islam itu.
Ketidakmampuan
intelektual tersebut, merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah
tertutup dan ajaran yang menyatakan bahwa dunia adalah penjara bagi kaum
muslimin sudah populer di tengah-tengah masyarakat Islam. Terjadilah kebekuan
intelektual secara total.
Dalam hal
ini Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam, menjelaskan tentang gejala-gejala
kemunduran intelektual Islam adalah sebagai berikut :
Penutupan
pintu ijtihad (yakni, pemikiran yang orisinal dan bebas) selama abad ke-4 H/10
Mdan 5 H/11 M telah membawa kepada kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu
intelektual. Ilmu-ilmu intelektual, yakni teologi dan pemikiran keagamaan,
sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang
disengaja dari intelektualisme sekuler dan juga pengucilannya dari
bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.
Sufisme
telah berkembang dari sebuah pencarian yang mengisolasikan individu kaum
asketik menjadi sebuah gerakan keagamaan. Dengan memadukan penahanan diri (zuhud)
kaum asketik, dengan perkembangan spiritual yang mengarah kepada kesatuan
Tuhan, sufisme manjadi tersebar luas di dalam konsep metafisika dan filsufis
tentang keberadaan Tuhan, dan sebuah doktrin pemujaan dan sifat kemukjizatan
seorang wali. Pada saat yang sama sufisme mulai mengembangkan benih-benih
organisasi sosial dan juga mengembangkan sebuah misi kemasyarakatan.
B.
Faktor-Faktor Penyebab Kemunduran
Kehancuran
dan kemunduran-kemunduran yang dialami oleh umat Islam, terutama dalam bidang
kehidupan intelektual dan material ini, dan beralihnya secara drastis
pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke Eropa, menimbulkan rasa lemah dari
dan putus asa di kalangan masyarakat kaum muslim. Ini telah menyebabkan mereka
lalu mencari pegangan dan sandaran hidup yang bisa mengarahkan kehidupan
mereka. Aliran tradisionalisme dalam Islam mendapat tempat di hati masyarakat
secara meluas, dengan mengembalikan segala sesuatunya yang telah dikehendaki
oleh Tuhan.
Sebab-sebab
kemacetan pemikiran dan kemunduran umat Islam adalah lenyapnya metode berpikir
rasional, yang pernah dikembangkan oleh Mu’tazilah. Pemikiran Mu’tazilah, yang
telah menimbulkan peristiwa “mihnah”, telah mengundang antipati umat Islam
bukan saja terhadap aliran Mu’tazilah, tetapi juga terhadap metode berfikir
rasional. Sejak saat itu, masyarakat tidak mau mendalami ilmu-ilmu sains dan
filosofis. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya berfikir
masyarakat Muslim sampai akhirnya pola berfikir mereka didominasi oleh
superstisi, tahayyul, dan kejumudan.
Lembaga-lembaga
pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk ilmu
pengetahuan. Rasionalisme pun kehilangan peranannya, dalam arti semakin
dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional,
daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis,
penelitian, dan ijtihad tidak lagi dikembangkan. Akibatnya, tidak ada lagi
ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelektualisme yang mengagumkan.
Mereka lebih senang mengikuti pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dari pada
berusaha melakukan penemuan-penemuan baru. Keterpesonaan terhadap buah pikiran
masa lampau, membuat umat Islam merasa cukup dengan apa yang sudah ada. Mereka
tidak mau berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan-gagasan keagamaan
yang cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau
ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan pembaca
untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-kalimat secara semantik;
atau menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-ucapan para ulama lain.
Dalam bidang
fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taklid buta di kalangan umat. Dengan
sikap hidup yang fatalistis tersebut, kehidupan mereka sangat statis, tidak ada
problem-problem baru dalam bidang fikih. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab
fikih lama dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah baku, mantap dan benar, dan
harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.
Kehidupan
sufi berkembang dengan pesat. Keadaan frustasi yang merata di kalangan umat,
menyebabkan orang kembali kepada Tuhan (bukan hanya sekedar dalam sikap hidup
yang fatalistis), dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan Tuhan, sebagaimana
yang diajarkan oleh para ahli sufi. Madrasah-madrasah yang ada dan yang
berkembang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang
menjadi zawiat-zawiat untuk mengadakan riyadah di bawah bimbingan dan otoritas
dari guru-guru sufi, yang selanjutnya dikembangkan untuk menuntun para murid
yang dikenal selanjutnya dengan istilah tariqat.
Keadaan yang
demikian, sebagaimana dilukiskan oleh FazlurRahman :
Di
madrasah-madrasah yang bergabung pada khalaqoh-khalaqoh dan Zawiat-zawiat sufi,
karya-karya sufi dimasukkan ke dalam kurikulum yang formal, kurikulum akademis
terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang sufi.
Kemunduran
pendidikan Islam pada masa-masa ini, terletak pada merosotnya mutu pendidikan
dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tampak jelas dalam sangat
sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah
yang ada, di samping itu juga telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum dan terbatasnya ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni
tinggal terdiri dari : Tafsir Al-Qur’an, hadist, fiqh (termasuk Ushul fiqh dan
Prinsip-prinsip hukum), dan Ilmu Kalama tau Teologi Islam. Bahkan di
madrasah-madrasah tertentu Ilmu Kalam pun dicurigai, dan di madrasah yang
diurus oleh kaum sufi yang memang tersebar luas di negara-negara Islam pada masa
itu ditambah dengan pendidikan sufi.
Materi
pelajarannya sangat sederhana, yang ternyata dari jumlah total buku-buku yang
harus dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan tingkat tertinggi sekalipun)
sangat sedikit. Kemudian waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan studi pun
relatif singkat. Akibat lanjutnya adalah kurang mendalamnya materi pelajaran
yang mereka terima, sehingga kemerosotan dan kemunduran ilmu pengetahuan para
pelajarnya pun dapat dibayangkan.
Oleh karena
itu, perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat dikatakan macet total.
Tidak ada buku-buku baru yang dihasilkan, pelajaran hanya memberikan
komentar-komentar dari buku-buku dan bahkan komentar dari komentar. Dalam hal
ini Fazlur Rahman, menjelaskan sebagai berikut :
Kebiasaan
menulis komentar-komentar yang sistematis, pada mulanya, selalu disertai dengan
penulisan karya-karya asli. Pada abad ke-6 H/12 M, misalnya Fakhrudin al-Razi
menulis sebuah komentar atas Ibnu Sina, tetapi juga mengarang beberapa karya
yang independen. Tetapi dikemudian hari berkembanglah kebiasaan untuk menulis
komentar atas komentar, hingga karya yang asli yang menjadi subyek komentar
tersebut hampir sama sekali terlupakan. Karya-karya tertentu mengenai teologi
dogmatis tertimbun dalam lebih dari setengah lusin lapisan komentar.
Komentar-komentar yang kemudian bahkan merosot menjadi catatan-catatan pinggir
saja, dan biasanya menyangkut perbedaan-perbedaan pendapat yang superficial dan
perbedaan-perbedaan verbal saja. Ini semua bersama dengan ringkasan-ringkasan
yang singkat membentuk kurikulum madrasah.
Kebekuan
intelektual dalam kehidupan kaum muslimin yang diwarnai dengan berkembangnya
berbagai macam aliran sufi yang karena terlalu toleran terhadap ajaran mistik
yang berasal dari agama lain (Hindu, Budha, maupun Neoplatonisme), telah
memunculkan berbagai macam tariqat yang menyimpang jauh dari ajaran Islam.
Tariqat-tariqat tersebut dalam perkembangannya dan dalam penerimaan masyarakat
menjadi semacam agama populer (populer religion).
C.
Usaha-usaha pemurnian agama Islam
Adipati
terhadap Mu’tazilah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap kurikulum.
Jatuhnya paham Mu’tazilah mengangkat posisi kaum konvervatif menjadi kuat.
Untuk mengembalikan paham Ahlusunnah sekaligus memperkokohkannya, ulama-ulama
melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan. Karena
ulama dianggap sebagai kaum terpelajar dan memiliki otoritas keagamaan dan
masalah Hukum Islam. Ulama-ulama ini menganut paham konservatif dan fundamental
bahwa wahyu merupakan inti segala macam pengetahuan. Oleh karena itu, mereka
hanya mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan di lembaga pendidikan Islam.
Kondisi
demikian diperburuk lagi oleh jatuhnya Kerajaan Abbasiyah oleh serangan
orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke-13 M, ketika kota
Bagdad sebagai pusat ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali. Sekitar 800.000
penduduk Bagdad dibunuh. Perpustakaan dihancurkan, ribuan rumah penduduk
diratakan. Dalam peristiwa tersebut, umat Islam kehilangan lembaga-lembaga
pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi
pendidikan Islam. Musnahnya beribu-ribu buku, baik buku-buku tentang keagamaan
maupun ilmu-ilmu sains dan filsafat, mempengaruhi perkembangan intelektualisme
Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat
dalam Islam. Ini salah satunya yang mempersulit umat Islam untuk mengembalikan
kekayaan intelektual yang berharga seperti pada masa kejayaan semula.
Oleh karena
itu, upaya pembaruan pendidikan Islam yang telah dilakukan para tokoh-tokoh,
sesungguhnya lebih ditujukan kepada sasran pendidikan yang tentu disesuikan
dengan ide pembaruan mereka. Misalnya, di Turki Usmani dengan pembaruanya
Sultan Ahmad III, upaya pembaruan lebih banyak ditujukan pada: Pertama, pada
pola pemikiran dan sikap yang tadinya anti Barat keproses kerja sama yang lebih
intens dengan cara pengiriman duta-duta pelajar ke Eropa. Kedua, pendirian
sekolah-sekolah modern, seperti sekolah teknik militer, dan Ketiga, pembentukan
percetakan buku, hal ini dilakukan sebagai upaya mempermudah access informasi
dari Barat.
Upaya
pembaruan yang dilakukan Sultan Mahmud II lebih ditujukan pada :
1. Mencoba
memasukan ilmu-ilmu umum ke sekolah-sekolah Islam (Madrasah).
2.
Mendirikan sekolah pengetahuan umum dan model sekolah Barat. Kelihatanya
pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan Sultan Mahmud lebih mengarah pada
perombakan model pendidikan yang menyangkut perubahan kurikilum dan metodologi.
Sama seperti
halnya di Turki Usmani Muhammad Ali Pasya tokoh pembaharu mesir mencoba
melakukan upaya pembaruan pendidikan Islam dengan cara mendirikan model sekolah
Barat, seperti sekolah kedokteran, sekolah sastra, dan lain sebagainya. Bahkan
guru-guru yang didatangkan untuk mengajar pun banyak yang didatangkan dari
Eropa ini artinya, upaya pembaruan yang telah dilakukan Ali Pasya lebih banyak
pada persoalan pembenahan model sistem pendidikan Islam termasuk di dalamnya
persoalan kurikulum.
Dengan
demikian, upaya pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan beberapa tokoh diatas
sesungguhnya lebih banyak melakukan pembenahan sistem pendidikan Islam yang
meliputi; perubahan model pengajaran, kurikulim pengajaran termasuk materi, dan
juga sarana prasarana pendidikan Islam.
KESIMPULAN
Kemunduran
pendidikan Islam sesungguhnya hanya karena akibat dari faktor-faktor kehancuran
kekuasaan Islam (sosial, politik dan keagamaan) sebagaimana yang telah dibahas
diatas, bahwa dengan jatuhnya pusat-pusat kekuasaan Islam menandai runtuhnya
sendi-sendi pendidikan Islam dan kebudayaan Islam. Disamping itu juga sepanjang
sejarahnya sejak awal dalam pemikiran Islam terlihat dua pola yang saling
berlomba mengembangkan diri, dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan
pola pendidikan umat Islam, yakni pola pemikiran yang bersifat tradisional,
yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola
pemikiran sufistis (pendidikan sufi), yang sangat memperhatikan aspek
batiniyah. Sedangkan pola pemikiran yang rasional yang mementingkan akal
pikiran, menimbulkan pola pendidikan empiris rasional, yang sangat
memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.
Pada masa
jayanya pendidikan Islam, kedua pola tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai
dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pemikiran rasional diambil
alih pengembangannhya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan
pola berfikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola pemikiran sufistik,
sehingga mengabaikan dan tidak menghasilkan perkembangan budaya Islam yang
bersifat material. Dari aspek inilah pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami
kemunduran setidak-tidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam mengalami
kemandekan.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini,
dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 2008.
Nizar,
Samsul. Sejarah Pendidikan Islam (menelusuri jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta : Prenada Media, 2007.
Asrohah,
Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Wacana Ilmu, 1999
Suwito.
Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Prenada Media, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar